MENGENALKAN DAMPAK EKSTERNALITAS DALAM KEGIATAN PENYULUHAN PERIKANAN
www.pusluh.kkp.go.id
Sumber daya perikanan yang
umumnya hidup dan berkembangbiak di alam (danau/waduk, sungai dan laut) kerap
kali tidak terhindarikan dari dampak negatif ataupun dampak positif dari
kegiatan usaha disekitarnya. Sumber daya perikanan yang ada di alam juga
merupakan aset milik bersama (commont proverty) yang tidak jelas pengelolaannya
jika tidak dikelola secara bersama. Sebagai contoh sungai memiliki arti penting
bagi kehidupan manusia dan beragam spesies ikan dan biota lainnya.
Bagi manusia, sungai
berpotensi menjadi sumber mata pencaharian.
Sebahagian penduduk menggunakan sungai untuk
mencari ikan dan budi daya ikan keramba.
Sungai yang bersih juga menopang kehidupan
beragam spesies ikan dan biota lainnya. Keadaan spesies
ini menjadi penopang sumber mata pencaharian penduduk.
Sayangnya, banyak sekali sungai yang tercemar
oleh limbah cair dan padat yang bersumber
dari kegiatan produksi pabrik, rumah tangga dan dari usaha perikanan itu
sendiri. Karena itu, sungai tidak hanya memiliki jasa ekonomi bagi manusia,
lebih dari itu sungai memiliki nilai jasa lingkungan yang besar. Ilustrasinya
tidak begitu rumit. Ketika sungai sudah tercemar oleh limbah cair dan
padat, maka kegiatan ekonomi bisa sirna,
karena spesies ikan dan tumbuhan tidak lagi
mampu untuk hidup. Untuk menjaga nilai
ekonomi dan jasa
lingkungan sungai diperlukan
pengendalian dalam pengelolaannya.
Bagaimanapun, sungai
merupakan barang publik. Tidak ada seorangpun yang memiliki hak pemanfaatan
khusus terhadap sungai. Keberadaan barang publik
merupakan salah satu alasan mendasar terbukanya intervensi
pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Karena itu,
eksternalitas negatif dari pemanfaatan sungai pasti
terjadi. Dalam hal inilah kegiatan penyuluhan perikanan sangat diperlukan guna
memberikan pemahaman kepada semua pihak yang melakukan kegiatan diseputaran
danau/waduk, sungai dan laut supaya pengelolaan akan dampak eksternalitas
dipertimbangkan sedini mungkin.
Eksternalitas adalah suatu efek
samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak
yang menguntungkan maupun yang merugikan. Eksternalitas pada dasarnya timbul
karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang
berwawasan lingkungan dalam menjalankan usaha atau kegiatannya. Dalam pandangan
ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih
dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi.
Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar,
kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau
pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor
ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini
tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Pemerintah yang dalam hal ini
penyuluh perikanan dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau
mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Bentuk regulasi
dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam. Adakalanya
Enviromental Protection Agency (EPA) langsung menetapakan batasan polusi yang
diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian
teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik.
Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para
pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis kegiatan
(usaha), dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri
yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya,
informasi seperti ini sulit di dapatkan. Disinilah peran penyuluh perikanan
harus senantiasa up date informasi terkini khusunya terkait dengan alternatif
teknologi yang ekonomis namun ramah lingkungan.
Selain menerapkan regulasi, untuk
mengatasi eksternalitas, pemerintah melalui penyuluh perikanan juga dapat
menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang
dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial. Para ekonom
umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk
mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi
masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik
kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai.
EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua
pilihan solusi baginya, yakni: :
§ Regulasi: EPA mewajibkan semua
pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun.
§ Pajak Pigovian : EPA mengenakan
pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap
pabrik. Pajak tersebut kemudian dapat diguankan untuk mengelola limbah tersebut
sehingga perairan tidak tecemar.
Sekarang, mari kita andaikan EPA
(Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan
menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan
setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun,
hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang
satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA
untuk mengajukan suatu usulan.
Satu keuntungan dari
berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin
berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari
sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut
mirip dengan mendasari teorema Coase. Ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa
solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu
adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau
merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada
diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber
daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi,
maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan
meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.
Beberapa pelaku usaha terkadang
juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengatasinya. Motif utama mereka memang untuk memenuhi
kepentingannya sendiri, namun dalam melakukan suatu tindakan, mereka juga
sekaligus mengatasi eksternalitas. Sebagai contoh, kita lihat saja apa yang
akan dilakukan oleh seorang pembudidaya ikan dan seorang pengusaha pembuat tahu
yang hidup berdekatan. Ampas tahu yang merupakan limbah dari proses pembuatan
tahu kemudian dijadikan bahan baku pakan oleh si pembudidaya ikan, ampas tahu
kemudian bisa langsung diberikan pada ikan dengan tambahan sedikit ikan asin,
atau dapat juga diolah lebih dulu menjadi tepung dengan mengeringkannya dalam
oven atau dijemur lalu digiling. Ia menguntungkan si pembudidaya ikan. Si
pembuat tahu juga untung karena ia tidak perlu mengolah limbah tahu.
Eksternalitas ini dapat
diinternalisasikan dengan cara penggabungan kedua usaha. Dalam kenyataannya,
niat untuk mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan
penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis
usaha sekaligus.
Kontributor :
Markus Sembiring,S.Pi.,M.I.L
Penyuluh Perikanan Muda
Dinas Perikanan dan Kelautan Kab.Langkat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar