A. Latar Belakang
Menurut The State of Fisheries and
Aquaculture 2008, FAO melaporkan bahwasanya kegiatan Aquaculture dunia
meningkat dari tahun 2002-2006. Kontribusi kegiatan budidaya sekitar 46 % dari
produksi total perikanan dunia. Fenomena lain menunjukkan kegiatan penangkapan
mulai menurun dari waktu kewaktu. Produksi ikan tangkap mulai menurun
dikarenakan beberapa faktor diantarannya sumber daya ikan yang mulai sedikit
dan adanya over fishing diberbagai perairan dunia. Di
Indonesia sendiri kegiatan budidaya mulai mengalai peningkatan yang cukup
signifikan.
Kegiatan budidaya khususnya di Indonesia
terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat. Maka
dari itu, penerapan sistem budidaya intensif dan ramah lingkungan sangat
diperlukan guna meningkatkan produksi. Permasalahan utama dalam akuakultur
sistem intensif telah menarik perhatian tidak hanya para pelaku kegiatan
akuakultur tetapi juga para stakeholder lainnya seperti para
pemerhati lingkungan (Allsopp et al., 2008). Lebih jauh lagi,
penerapan best aquaculture practices dalam sertifikasi produk
akuakultur yang diekspor, mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah
lingkungan. Sehingga perkembangan teknologi akuakultur saat ini difokuskan pada
pemecahan masalah tersebut di atas. Menurut Anonim (2012) Biofloc adalah
pemanfaatan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan
limbah. Investigasi pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah
sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi
penggunaan plankton pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam
uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta
ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada industri
akuakultur, penerapan BFT ( Bio Flock Technology ) mulai digunakan menggantikan
sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran
air yang banyak untuk pengenceran plankton.
B. Tujuan
1. Mengetahui
penerapan teknologi biofloc untuk budidaya intensif yang ramah lingkungan
2. Mengetahui
penerapan budiya dengan sistem bifloc untuk meningkatkan produksi dan
memperbaiki kualitas air.
C. Manfaat
Manfaat dari seminar ini adalah agar dapat mengetahui bagaimana penerapan
system budidaya ikan dengan teknik biofloc yang ramah lingkungan
D. Metodologi
Metode yang digunakan dalam seminar ini dengan menggunakan metode tinjauan
pustaka. Dengan cara mencari jurnal-jurnal, literatur, buku dan sebagainya.
II. PEMBAHASAN
A. Nitrogen dalam sistem akuakultur
Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama
berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 -
60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur
(Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari
total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi
oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam air. Protein dalam pakan
akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan
menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003). Katabolisme protein
dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai hasil akhir dan
diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi melalui insang
(Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang sama,
bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan
feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000).
B. Teknologi Bioflok
Bioflok atau Flok merupakan
istilah bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated
Sludge” (“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari proses
pengolahan biologis air limbah (biological wastewater treatment ). Investigasi
pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941
pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton
pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan
oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses.
Perkembangan yang sama terjadi pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio
Floc Technology ) mulai digunakan menggantikan sistem RAS ( Recirculating
Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran air yang banyak untuk
pengenceran plankton. (Anonim, 2012)
Tidak semua bakteri dapat membentuk
bioflocs dalam air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk
bioflocs. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya
untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik
seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan
sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi
substansi pembentuk bioflocs. Bioflocs terdiri atas partikel serat
organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam
kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead
body cell), ragi, jamur dan zooplankton.
Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:
- Zooglea ramigera
- Escherichia intermedia
- Paracolobacterium
aerogenoids
- Bacillus subtilis
- Bacillus cereus
- Flavobacterium
- Pseudomonas alcaligenes
- Sphaerotillus natans
- Tetrad dan Tricoda
Teknologi bioflok
merupakan salah satu alternatif baru dalam mengalasi masalah kualitas air dalam
akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara
konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008).
Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air
yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik
dan anorganik yang terdapat di dalam air. Secara teoritis, pemanfaatan N oleh
bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut
(Ebeling et al., 2006):
C5H7O2N + 6.06H2O + 3.07CO2 "NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- +
2.06O2
Melihat persamaan tersebut maka secara
teoritis untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07
g karbon organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk
alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh
bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.
C. Aplikasi teknologi bioflok
dalam akuakultur
1. Aplikasi
Kemampuan bioflok dalam mengontrol
konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi
telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006)
dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof
40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de
Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang
ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg
NH4/L hingga 98% dalam sehari.
2. Pembentukan Biofloc
Pembibitan bioflocs skala kecil dilakukan
secara in door, dalam wadah fermentasi tertentu baik dalam drum atau bak fiber.
Ke dalam air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan pakan udang dengan
konsentrasi 1% , berikut 1% nutrient bakteri yang berupa campuran buffer pH,
osmoregulator berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 , hormon pembelahan
sel dan precursor aktif yang merangsang bakteri untuk mengeluarkan secara
intensif enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama fermentasi
berlangsung (nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri baik dari
isolat lokal atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang pasti
diketahui mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu bakteri
pembentuk bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 24‐48 jam, diusahakan pH bertahan antara 6,0 ‐7,2 sehingga bacillus tetap dalam fasa vegetatifnya,
bukan dalam bentuk spora dan PHA tidak terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran
partikel bioflocs yang dihasilkan berukuran besar, paling tidak berukuran
sekitar 100 μm (Anonim, 2012).
3. Kondisi yang mendukung
pembentukan Bioflocs
a. Aerasi dan pengadukan
(pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk
pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus
sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone) tidak terlalu luas,
hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh dan mengendap relatif kecil.
b. Karbon dioksida
(CO2)
Karbon dioksida menjadi salah satu kunci
terpenting bagi pembentukan dan pemeliharaan bioflocs. Bakteri gram negatif non
pathogen seperti bakteri pengoksidasi sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus,
photosynthetic bacteria seperti Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi dan
Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri pengoksidasi ammonium dan ammonia (
Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan karbon dioksida untuk pembentukan
selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber karbon dari bahan organic semisal
karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk juga Zooglea, Flavobacterium,
tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs lainnya. Bahkan Bacillus sendiri,
sebagai pemanfaat karbon dari bahan organik dan menghasilkan gas karbon
dioksida sebagai hasil oksidasinya, memerlukan karbondioksida dalam pernafasan
anaerobnya ketika melangsungkan reaksi denitrifikasi.
Penerapan budidaya intensif dengan
teknologi bioflok menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok. Penerapan budidaya
nila dengan teknologi bioflok dari grafik diatas menggambarkan bahwasanya
pemberian kanji sebagai bahan pembentuk flok sangat mempengaruhi kualitas air.
Terlihat dari grafik 1 bahwasanya formulasi pakan dengan adar protein 23%
dengan penambahan tepung kanji 5% menghasilkan kandungan nitrogen yang paling
rendah jika dibanding kan dengan perlakuan lain. Perlakuan pemberian pakan
dengan protein 30% tanpa adanya tambahan tepung kanji menunjukkan hasil yang
paling rendah dimana kandungan nitrogen dalam perairan paling tinggi yaitu
sebesar 30 mg/ml. (Avnimelech et al, 2009)
BIOFLOC ATAU FLOK DALAM PERIKANAN BUDIDAYA
Biofloc
berasal dari dua kata yaitu Bio “kehidupan” dan Floc “gumpalan”. Sehingga
biofloc dapat diartikan sebagai bahan organik hidup yang menyatu menjadi
gumpalan-gumpalan. Gumpalan tersebut terdiri dari berbagai mikroorganisme air
termasuk bakteri, algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera, nematoda,
gastrotricha dan organisme lain yang tersuspensi dengan detritus. Ada yang
bilang bahwa biofloc adalah suatu bentuk ikatan oleh mikroorganisme pada saat
tumbuh dimana aktivitas pengikatan ini tergantung pada jenis
mikroorganismenya.
Biofloc merupakan flok atau gumpalan-gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme hidup yang melayang-layang di air.
Biofloc merupakan flok atau gumpalan-gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme hidup yang melayang-layang di air.
Teknologi biofloc adalah teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme
yang membentuk flok. Aplikasi BFT (Bio Floc Technology) banyak diaplikasikan
disistem pengolahan air limbah industri dan mulai diterapkan di sistem
pengolahan air media aquakultur.
Prinsip Dasar Biofloc Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs (flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer poli hidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflocs.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari genera Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biofloc.
Prinsip Dasar Biofloc Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs (flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer poli hidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflocs.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari genera Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biofloc.
Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah
kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama
yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat.
Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer
antara substansi substansi pembentuk biofloc. Biofloc terdiri atas partikel
serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam
kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead
body cell), ragi, jamur dan zooplankton (www.aiyushirota.com).
Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:
Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:
· Bacillus cereus
· Bacillus subtilis
· Escherichia intermedia
· Flavobacterium
· Paracolobacterium aerogenoids · Pseudomonas alcaligenes
· Sphaerotillus natans
· Tetrad dan Tricoda
· Zooglea ramigera
Beberapa bakteri pembentuk floc yang sudah teruji
diaplikasikan dilapangan adalah
- Achromobacter liquefaciens,
- Achromobacter liquefaciens,
- Arthrobacter globiformis,
- Agrobacterium tumefaciens dan
- Pseudomonas alcaligenes.
Bakteri lain dapat ikut membentuk biofloc setelah exopolisakarida dibentuk
oleh bakteri pembentuk floc sebagai inti floc-nya.
Bakteri yang dapat ikut membentuk biofloc misalnya Bacillus
circulans, Bacillus coagulans dan Bacillus licheniformis. Bakteri yang ikut
membentuk floc ini mempunyai fungsi dalam siklus nutrisi didalam sistem
biofloc. Bakteri ini disebut sebagai bakteri siklus fungsional, misalnya
Bacillus licheniformis yang berperan dalam siklus nitrogen.
Biofloc di alam umumnya terdiri dari 5 jenis bakteri atau
lebih, minimal satu atau lebih merupakan bakteri pembentuk flok (penghasil
exopolisakarida) dan bakteri yang lain dapat merupakan bakteri siklus
fungsional yang berfungsi dalam siklus bioremediasi dan nutrisi. Formasi
bioflok ini terbentuk tidak secara tiba-tiba, tapi terbentuk dalam kondisi
lingkungan tertentu.
Factor yang mempengaruhi system bioflok adalah N/P rasio dan C/N rasio. N/P rasio dan C/N rasio harus diatas 20. Semakin besar N/P rasio dan C/N rasio maka floc yang terbentuk akan semakin baik. Untuk mengatur N/P rasio jalan terbaik adalah memperbesar N atau memperkecil P, untuk memperbesar N dilingkungan tambak tidak mungkin dilakukan karena menambah ammonia dalam tambak akan membahayakan udang, jalan terbaik adalah memperkecil P dengan cara mengikat phosphate.
Factor yang mempengaruhi system bioflok adalah N/P rasio dan C/N rasio. N/P rasio dan C/N rasio harus diatas 20. Semakin besar N/P rasio dan C/N rasio maka floc yang terbentuk akan semakin baik. Untuk mengatur N/P rasio jalan terbaik adalah memperbesar N atau memperkecil P, untuk memperbesar N dilingkungan tambak tidak mungkin dilakukan karena menambah ammonia dalam tambak akan membahayakan udang, jalan terbaik adalah memperkecil P dengan cara mengikat phosphate.
Sedangkan untuk mengatur C/N rasio dilakukan dengan cara memperbesar
C dengan penambahan unsure karbon organik, misalnya molasses. Didalam pakan itu
sendiri sebenarnya sudah ada unsure C yaitu karbohidrat dan lemak, namun
rasionya tidak mencukupi untuk mencapai C/N rasio diatas 20.
Sistem biofloc dapat meminimalkan ganti air karena dalam bioflok terdapat
proses siklus “auto pemurnian air” (self purifier) yang akan merubah sisa pakan
dan kotoran, gas beracun seperti ammonia dan nitrit menjadi senyawa yang tidak
berbahaya. Dengan meminimalkan ganti air maka peluang masuknya bibit penyakit
dari luar dapat diminimalkan. Sistem biofloc lebih stabil dibandingkan dengan
system probiotik biasa dikarenakan biofloc merupakan bakteri yang tidak berdiri
sendiri, melainkan berbentuk floc atau kumpulan beberapa bakteri pembentuk floc
yang saling bersinergi. Sedangkan system probiotik biasa bakteri yang ada
ditambak merupakan sel-sel bakteri yang berdiri sendiri secara terpisah di air,
sehingga apabila ada gangguan lingkungan atau gangguan bakteri lain maka
bakteri akan cepat kolaps.
Pada System Bio-Flock Technology (BFT) sangat tergantung pada :
Pada System Bio-Flock Technology (BFT) sangat tergantung pada :
· Mikroba (terutama bakteri heterotrof)
· Plankton
· Bahan organik dalam air
Indikator Keberhasilan Pembentukan
Biofloc (www.aiyushirota.com)
Biofloc terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 (7,2-7,8) dengan kenaikan pH pagi dan sore yang kecil rentangnya kecil yaitu (0,02-0,2). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis nilai NH4+, ion NO2‐ dan ion NO3‐ sebagai indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan “minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari.
Permasalahan dalam Sistem Biofloc (www.aiyushitota.com)
Biofloc terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 (7,2-7,8) dengan kenaikan pH pagi dan sore yang kecil rentangnya kecil yaitu (0,02-0,2). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis nilai NH4+, ion NO2‐ dan ion NO3‐ sebagai indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan “minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari.
Permasalahan dalam Sistem Biofloc (www.aiyushitota.com)
a) Flocs di kolam
berbusa
Hal ini disebabkan oleh
adanya bakteri berfilamen yang menempel pada biofloc.
Untuk itu ditebar 10 ppm Kalsium peroksida, ikuti dengan menahan pergantian air selama 5‐6 hari sambil dilakukan penambahan 20 ppm CaCO3/ kaptan per harinya, jika pada hari ke 6 busa masih ada, tebar 10 ppm Kalsium Peroksida lagi, pada hari ke 7 air mulai dimasukkan ke dalam kembali, dan ketinggian air dipulihkan ke ketinggian semula.
Untuk itu ditebar 10 ppm Kalsium peroksida, ikuti dengan menahan pergantian air selama 5‐6 hari sambil dilakukan penambahan 20 ppm CaCO3/ kaptan per harinya, jika pada hari ke 6 busa masih ada, tebar 10 ppm Kalsium Peroksida lagi, pada hari ke 7 air mulai dimasukkan ke dalam kembali, dan ketinggian air dipulihkan ke ketinggian semula.
b) Biofloc terlalu pekat
Lakukan pengenceran secara over flow, pipa pengeluaran dipotong sama rata
dengan ketinggian air di dalam kolam. Biarkan air yang masuk menyebabkan air
tumpah keluar lewat pipa pembuangan yang telah dipotong sama rat dengan
ketinggian air di dalam kolam.
c) Biofloc ketebalannya
berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah
ke hijau
Hentikan pengenceran,
tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan pupuk ZA 1 ppm setiap
harinya untuk menekan pertumbuhan chrollera atau aplikasikan pupuk ZA 5 ppm
setiap harinya untuk menekan pertumbuhan blue green algae. Pada hari ke 7
sirkulasi/ pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
d) Biofloc ketebalannya
berkurang (normal 10‐20 cm sechi disk) dan warna air mengarah
ke coklat merah
Hentikan
pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan
CaCO3 / kaptan 20 ppm setiap harinya dan 1‐2 x treatment dengan
Kalsium peroksida. Pada hari ke 7 sirkulasi/pengenceran secara over flow dapat
dilakukan kembali.
e) Warna hijau biru (BGA)
atau merah (Dinoflagellata) tetap ada setelah 5‐6 hari
Treatment Berlakukan pola sistem “minimal exchange water” terhadap kolam tersebut, hindari pengenceran/ sirkulasi. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang/susut akibat penguapan, perembesan dan susut air akibat pembuangan lumpur rutin harian saja
Treatment Berlakukan pola sistem “minimal exchange water” terhadap kolam tersebut, hindari pengenceran/ sirkulasi. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang/susut akibat penguapan, perembesan dan susut air akibat pembuangan lumpur rutin harian saja
Budidaya Udang System
Semibioflock
• Budidaya dengan
sistem Bio-Floc adalah mengembangkan komunitas bakteri di dalam tambak
• Menumbuhkan dan
menjaga dominasi bakteri di dalam tambak adalah lebih stabil daripada dominasi
algae (plankton) karena tidak tergantung sinar matahari
• Kualitas air lebih stabil sehingga penggunaan air sedikit (hanya nambah) karena ada pembuangan
lumpur
• Dapat menekan pertumbuhan mikroba patogen
• Kualitas air lebih stabil sehingga penggunaan air sedikit (hanya nambah) karena ada pembuangan
lumpur
• Dapat menekan pertumbuhan mikroba patogen
• Bakteri terkumpul
dalam suatu gumpalan yang disebut Floc
• Semakin banyak floc
yang terbentuk akan semakin besar pula perannya dalam merombak limbah nitrogen
10 – 100x lebih efisien daripada algae
• Dapat bekerja siang
maupun malam dan dipengaruhi cuaca
• Dapat merubah limbah
nitrogen menjadi makanan berprotein tinggi bagi ikan dan udang
Komposisi Mikrobial Biofloc
Komposisi Mikrobial Biofloc
Komposisi
Kadar
Rata-rata
- Protein
31,5% - 22,5%
- Bahan
Organik
78 %- 66% 72
%
-
Abu
21 % - 32 %
26 %
-
Protein
51 % - 35
%
43 %
-
Lemak
10 % - 15
%
12,5 %
-
Arginine
2,3 % - 1,61 % 1,95 %
- Methionine
0,61 % -
0,35 % 0,48 %
-
Lysine
2,5 - 1,7
2,1
Sumber : (McIntosh,
2000)
Komposisi Nutrient
Mikroba Biofloc
Nutrient
Kisaran
Mean Suspended
- microbial floc (mg/l) 87,3 – 200,8 157
- Moisture (%)
5,9 –
7,3
6,6
- Crude protein (Nx6,25)(%)
29,2 –
34,3
31,2
- Crude lipid (%) 2,5 – 2,6
2,6 –
- Cholesterol (mg/ kg)
470 – 490
480
- Ash (%)
25,5 – 31,8
28,2
- Gross energy
(MJ/kg)
10,3 - 12,8
12
- Sodium (%)
0,41
- 4,31 2,75
- Calcium (%)
0,56 - 2,86 1,70
- Phosphorus
(%)
0,36 - 2,12
1,35
- Potassium (%) 0,13 - 0,89 0,64
- Magnesium
(%) 0,12 - 0,45
0,26
- Zinc
(mg/kg) 78,3
- 577,9
338
- Iron
(mg/kg)
170,8 - 521,0
320
- Manganese (mg/kg) 8,9
- 46,8
28,5
- Boron
(mg/kg) 8,8 -
45,7
27,3
- Copper (mg/kg)
3,8 - 88,6 22,8
Sumber : (Tacon, 2002)
Komposisi Asam Amino Mikroba Biofloc
Asam Amino
Kisaran
Rata- Rata
- Methionine + Cystine (%) 0,86 –
0,93
0,89
- Phenylalanine + Tyrosine (%) 2,41 – 2,54
2,48
- Isoleucine
(%)
1,21 – 1,26
1,24
- Leucine (%)
1,78 –
1,97
1,87
- Histidine (%)
0,43 – 0,45
0,44
- Threonine
(%)
1,44 – 1,50
1,47
- Lysine (%)
0,90 – 0,96
0,93
- Valine (%)
1,66 – 1,80
1,73
- Arginine (%)
1,46 –
1,63
1,54
- Tryptophan
(%)
0,18 – 0,22
0,20
- Total essential amino acids
24,5 – 26,3 25,4
Sumber(Tacon,2002)
Mikroba Biofloc dapat Digunakan sebagai Pakan.
Hal ini dikarenakan :
• Mengandung nutrien yang cukup tinggi seperti protein dan mineral
• Tidak memerlukan pakan yang memiliki protein tinggi
• Dapat menghemat pakan dan menurunkan nilai FCR pakan
Hal-hal yang perlu Diperhatikan dalam Sistem Biofloc
• Bahan organik harus cukup (TOC > 100 mgC/L) dan selalu teraduk
• Nitrogen disintesis menjadi mikrobial protein dan dapat dimakan langsung oleh udang dan ikan
• Perlu disuplay C organik (molase, tepung terigu, tepung tapioka) secara kontinue atau sesuai dgn amonia dalam air
• Nitrogen disintesis menjadi mikrobial protein dan dapat dimakan langsung oleh udang dan ikan
• Perlu disuplay C organik (molase, tepung terigu, tepung tapioka) secara kontinue atau sesuai dgn amonia dalam air
• Oksigen harus cukup serta alkalinitas dan pH harus terus dijaga
Keuntungan Sistem Biofloc (Suprapto, 2007)
• pH relatif stabil pH nya
cenderung rendah, sehingga kandungan amoniak (NH3) relatif kecil
• Tidak tergantung pada sinar matahari dan aktivitasnya akan menurun bila suhu rendah.
• Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga biosecurity (keamanan) terjaga
• Limbah tambak (kotoran, algae, sisa pakan, amonia) didaur ulang dan dijadikan makanan alami berprotein tinggi
• Tidak tergantung pada sinar matahari dan aktivitasnya akan menurun bila suhu rendah.
• Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga biosecurity (keamanan) terjaga
• Limbah tambak (kotoran, algae, sisa pakan, amonia) didaur ulang dan dijadikan makanan alami berprotein tinggi
• Lebih ramah lingkungan.
Kekurangan Sistem Biofloc (Suprapto, 2007)
• Tidak bisa diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena tidak ada/sedikit pergantian air
• Memerlukan peralatan/aerator cukup banyak sebagai suply oksigen Aerasi harus hidup terus (24 jam/ hari)
• Pengamatan harus lebih jeli dan sering muncul kasus Nitrit dan Amonia
• Bila aerasi kurang, maka akan terjadi pengendapan bahan organik. Resiko munculnya H2S lebih tinggi karena pH airnya lebih rendah.
• Bila aerasi kurang, maka akan terjadi pengendapan bahan organik. Resiko munculnya H2S lebih tinggi karena pH airnya lebih rendah.
• Kurang cocok untuk tanah yang mudah teraduk (erosi). Jadi dasar harus
benar-benar kompak (dasar berbatu / sirtu, semen atau plastik HDPE)
• Bila terlalu pekat, maka dapat menyebabkan kematian bertahap karena
krisis oksigen (BOD tinggi).
• Untuk itu volume Suspended Solid dari floc harus selalu diukur.Bila telah mencapai batas tertentu, floc harus dikurangi dengan cara konsumsi pakan diturunkan.
• Untuk itu volume Suspended Solid dari floc harus selalu diukur.Bila telah mencapai batas tertentu, floc harus dikurangi dengan cara konsumsi pakan diturunkan.
Daftar Pustaka : Indonesianaquaculture.
www.aiyushirota.com.
Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotroph dengan Bioflocs. Suprapto. 2007.
Pemahaman Bio- Floc Technology : Teknik Budidaya alternatif. Disampaikan dalam Seminar Temu Akhir Tahun 2007.
Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotroph dengan Bioflocs. Suprapto. 2007.
Pemahaman Bio- Floc Technology : Teknik Budidaya alternatif. Disampaikan dalam Seminar Temu Akhir Tahun 2007.
http://zaedkfc.blogspot.com/2012/11/penerapan-teknologi-biofloc-dalam.html?spref=fb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar