PENANGANAN CRUSTASEA HIDUP
Posted on 21 Juni 2010 by munzir08
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia. Keadaan beriklim tropis menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara Asia Tenggara yang memiliki ekosistem pantai yang sangat produktif di dunia dan sangat sesuai bagi usaha budidaya air payau dan pemanfaatan hasil laut lainnya. Kekayaan sumber daya alam memberikan status bagi Indonesia sebagai produsen budidaya perairan maupun potensi pengembangannya secara alamiah.
Udang merupakan salah satu produk hasil laut yang disukai dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat walaupun ada diantara konsumen yang peka (alergi) terhadapnya. Dibandingkan dengan binatang darat, daging udang mempunyai eating quality yang lebih baik karena tidak liat, homogen serta tidak mengandung pembuluh – pembuluh darah yang besar dan otot – otot.
Udang sangat digemari dipasaran karena rasanya yang khas, oleh karena itu pemasaran udang dalam bentuk segar sangat disukai oleh konsumen. Salah satu cara untuk mempertahankan mutu dan kesegaran dari udang yang hendak dipasarkan adalah dengan cara pembekuan. Bagian addomen merupakan bagian tubuh udang yang diperdagangkan dalam keadaan beku. Oleh karena itu dalam perdagangan dikenal udang headless yaitu udang tanpa kepala.
Karena kandungan proteinnya yang tinggi, maka udang termasuk komoditas yang mudah rusak yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatn enzim dan bakteri, oleh karena itu penanganan udang sangat mempengaruhi mutu hasil olahan. Untuk menjaga agar mutunya tetap baik telah ada standarisasi mutu yang mencakup bahan baku, metode penanganan, metode pendinginan dan sanitasi, baik yang dilaksanakan dalam pabrik maupun dalam pemasaran dan distribusi. Kualitas dan kesegaran udang harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang tersebut sampai ke pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan teknis, yaitu penanganan secara fisis mekanis berkaitan dengan proses lebih lanjut.
Penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat, karena kualitas udang mudah rusak. Kesalahan atau keterlambatan penanganan mengakibatkan udang tidak bisa diharapkan menjadi komoditas ekspor.
Untuk mempertahankan agar mutu udang tetap baik, harus ditangani dengan hati–hati dan jangan sembarangan, penanganan tersebut yang harus diperhatikan adalah kebersihan peralatan yang digunakan, penanganan harus cepat dan cermat, hindarkan terkena sinar matahari secara langsung, mencuci udang dari kotoran dan lumpur dengan air bersih memasukkan ke dalam keranjang, ember atau tong dan disiram dengan air bersih, lebih baik lagi dari mulai awal menggunakan es batu untuk mendinginkannya, dan mengelompokkannya menurut jenis dan ukurannya.
Seperti telah dijelaskan di atas, udang merupakan salah satu komoditas ekspor. Umumnya konsumen lebih menyukai udang segar, dikarenakan proses selanjutnya dapat lebih bervariasi. Oleh karena itu penanganan udang terutama ditujukan agar udang setelah ditangkap tetap segar. Ini dapat dicapai dengan pendinginan dan pembekuan.
Pengertian udang beku adalah udang segar yang telah dicuci bersih, didinginkan untuk mempertahankan suhu udang sekitar 0 ºC, kemudian baik langsung maupun setelah mengalami perlakukan pendahuluan, segera dibekukan pada suhu rendah maksimum -45ºC sehingga suhu pusat produk akhir menjadi maksimum -18ºC dan kemudian disimpan pada tempat penyimpanan dengan suhu maksimum -25 ºC dengan fluktuasi suhu1º C. Metode yang digunakan adalah air blast freezing dan contact plate freezing.
Penerimaan dan penimbangan adalah kegiatan awal dalam pengadaan bahan baku, yang dilakukan di indutri pengolahan pada saat udang dipasok dari suplier. Kegiatan yang berkaitan dengan hal ini membutuhkan kompetensi pegawai yang memahami tentang keselamatan dan kesehatan kerja, kebiasaan berproduksi yang baik dan SOP terkait yang berlaku untuk bahan yang ditangani. mampu mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan sesuai syarat yang telah ditentukan.
Selama melakukan pemeriksaan dan penimbangan harus dilakukan dengan benar dan jujur serta melaporkan dalam format yang baku sesuai hasil pemeriksaan terhadap berat dan mutu barang yang diterima. Kunci utama pekerjaan ini adalah kejujuran, pengetahuan tentang spesifikasi dan mutu bahan, pengetahuan tentang kontrak pengadaan bahan serta kepatuhan untuk segera melaporkan pada atasan terhadap masalah yang dihadapi untuk dikonfirmasikan dan diselesaikan.
Bahan yang telah diterima sesuai dengan prasyarat penerimaan segera ditangani, mengingat udang adalah komoditas yang mudah rusak. Kegiatan penanganan yang dilakukan meliputi mencuci dari kotoran, membuang bagian yang tidak diinginkan sesuai standar produk misalnya membuang kepala udang dan kotoran. Pekerjaan ini harus dilakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di perusahaan.
Apabila kegiatan penanganan membutuhkan waktu yang lebih banyak karena sediaan barang melebihi kapasitas kerja, maka yang harus dilakukan adalah menimbun hasil penanganan. Penimbunan dilakukan bila bahan yang masuk melebihi kapasitas bagian penanganan atau kondisi udang masih sangat sulit untuk dihilangkan kepala karena masih segar (fresh).
Penguasaan kompetensi di atas sangat penting karena dapat menjamin keajegan suatu produksi. Kegiatan penerimaan dan penimbangan, penanganan bahan serta menimbun hasil penanganan yang dilakukan secara baik dan tepat akan memperkecil gangguan produksi. Gangguan pada proses produksi akan mengakibatkan pada kualitas produk yang diterima konsumen, menganggu kelancaran pemasaran, menghilangkan kepercayaan terhadap perusahaan yang bersangkutan.
II. KEAMANAN PRODUK PERIKANAN BERUPA UDANG
Produk perikanan yang secara standar kesehatan yang berlaku di masyarakat adalah aman untuk dikonsumsi atau secara empiris dan pengujian adalah layak untuk dikonsumsi tanpa membawa efek yang langsung maupun tak langsung kepada orang secara umum. Pengertian kualitas dan keamanan dimaksud adalah hampir sama, pada dasarnya akan dibahas bahwa udang yang dibudidayakan akan menjadi produk yang berkualitas tinggi termasuk bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Selain itu pengertian di atas juga lebih dikaitkan dengan peluang produk untuk dapat dipasarkan dengan mudah dan harga yang memadai.
Kegiatan budidaya udang meliputi beberapa tahapan kegiatan yang masing-masing tahap saling berkaitan untuk mendukung keberhasilan dalam rangka menghasilkan suatu pruduk yang aman dan berkualitas tinggi. Dapat digambarkan bahwa tiap tahap kegiatan yang berurutan saling berkaitan ibarat suatu rantai yang dibentangkan. Apabila terdapat satu mata rantai yang tidak memenuhi persyaratan maka akan menyebabkan hilangnya fungsi dari rantai secara keseluruhan. Bila ada satu saja tahap kegiatan yang tidak baik maka pruduk yang dihasilkan akan menjadi tidak aman atau berkualitas rendah.
Ada beberapa kriteria bagi produk udang untuk dapat disebut aman dan berkualitas, antara lain adalah ditinjau dari sebagai berikut:
Penampakan :
• Tingkat kerusakan fisik
• Perubahan warna
• Keseragaman jenis dan ukuran
Bau dan Rasa :
• Tingkat bau busuk
• Tingkat bau chlorine
• Tingkat bau minyak bumi
• Tingkat bau lumpur
• Kehilangan bau khas produk
Tekstur :
• Daging menjadi lunak
• Cangkang/kulit menjadi lunak (pada udang dan kepiting)
Kandungan bahan berbahaya :
• Antibiotik
• Pestisida
• Logam berat
Bakteri penyakit bagi manusia dan biota lain
III. TEKNIK PENANGANAN UDANG
A. Penanganan Pasca Penangkapan
Penanganan udang tanpa kepala dilakukan segera setelah udang tertangkap dan sampai di atas kapal, kepala udang dipisahkan. Sementara itu udang yang berukuran kecil dan ikan yang tercampur bersama – sama dipisahkan juga. Udang tanpa kepala lalu dicuci beberapa kali dengan air laut atau tawar yang bersih dan dingin dengan jalan menambahkan bongkahan es kedalam air pencuci. Pencucian dilakukan sampai air pencuci tidak keruh lagi.
Secepatnya udang lalu di-es dengan es hancuran yang cukup halus supaya es itu tidak melukai badan udang, atau udang tanpa kepala diaduk dengan es sehingga seluruh badan diliputi es. Cara lain untuk meng-es udang adalah dengan jalan berlapis antara udang dan es, yaitu lapisan pertama es lalu lapisan udang, lapisan es lagi dan seterusnya.
Udang yang sudah di-es lalu disimpan dalam palka, atau bila pembekuan dapat dilakukan di atas kapal, udang langsung dibekukan segera selesai dicuci. Selama dalam palka harus selalu dijaga agar udang yang di-es di dalam peti atau keranjang jangan sampai kekurangan es. Udang segar itu harus selalu tertutup oleh lapisan es.
Penanganan udang utuh dilakukan segera setelah udang sampai di atas kapal, lalu dipilih untuk memisahkan udang yang berukuran besar dari campuran ikan dan udang kecil. Disamping itu pemilihan juga dilakukan untuk mengumpulkan jenis udang yang sama. Pemilihan ini antara lain dimaksudkan untuk memisahkan udang yang sudah rusak dari udang-udang yang utuh.
Udang utuh itu lalu dicuci bersih beberapa kali, kemudian dimasukkan ke dalam wadah kedap air ( misalnya drum plastik ) yang sudah berisi air laut atau air tawar yang diberi bongkahan es. Drum-drum berisi udang itu lalu disimpan ditempat yang teduh atau di dalam palka. Selama kapal berlayar bila air didalam drum sudah terlihat keruh, lalu diganti dengan air yang masih bersih dan ditambah es. Udang di dalam drum harus selalu dijaga dalam keadaan dingin dengan air yang bersih sampai udang itu sampai ke darat atau dijual.
B. Penanganan Pasca Panen
Penanganan udang saat panen di tambak :
Pemanenan dilakukan pada saat suhu udara tidak terlalu panas (pagi/sore)
Udang ditampung pada wadah/jaring tempat air dikeluarkan
Usahakan wadah/jaring ada airnya selama pemanenan
Siapkan bak/wadah pencucian air bersih
Masukan udang ke dalam bak penampungan yang diberi air dan es
Segera dengan cepat dilakukan penyortiran
Segera masukkan ke wadah pengangkutan yang telah diberi es dan susun
Semua pekerjaan dilakukan di bawah atap/tidak terkena matahari langsung
Cara-cara pendinginan udang yaitu menurunkan suhu udang segar dengan cara :
perendaman dengan air atau air laut yang dingin
penyimpanan dalam kamar pendingin
pemberian es, cara ini sering dilakukan saat pemanenan di tambak atau di kapal
Cara pemberian es yang baik :
Jumlah es yang digunakan harus mencukupi
Cara menambah/mencapur es pada hasil perikanan
Waktu/lamanya pemberian es
Ukuran wadah yang digunakan
Menghindari/jangan melakukan peng-es-an udang yang masih kotor/luka
Jumlah es yang digunakan :
wadah tanpa insulasi/permukaan kayu/plastik, perbandingan es : udang = 1 : 1,5
wadah yang berinsulin perbandingan es dan udang = 1 : 2
wadah berinsulin dengan pendinginan, maka 1 : 3
Cara memberi es / menambah es :
usahakan seluruh udang dapat tersentuh dengan es
bila esnya bongkahan besar harus diberi air, agar semua udang tersentuh dingin
Sebaiknya digunakan es curah yang tidak tajam karena akan melukai udang
susunlah udang dan es secara berlapis-lapis bergantian
C. Penanganan selama Transportasi
Untuk transportasi udang hidup jarak jauh (terutama ekspor),
penggunaan transportasi sistem kering dirasakan merupakan cara
efektif meskipun resiko mortalitasnya cukup besar. Dalam transportasi
sistem kering udang dikondisikan dalam keadaan metabolisme,
respirasi, dan aktivitas rendah. Dengan kondisi tersebut, udang
memiliki kemampuan tinggi untuk bertahan hidup di luar konsisi
habitat hidupnya. Salah satu metode untuk imotilisasi adalah dengan
menggunakan suhu rendah. Cara dan peralatan yang digunakan sederhana sehingga mudah diterapkan oleh siapa saja.
Bahan yang diperlukan untuk transportasi udang hidup dengan system kering adalah:
– Udang hidup ukuran komersial untuk konsusmsi
– Air laut untuk penampungan, pembugaran, imotilisasi
– Es air laut untuk imotilisasi
– Serbuk gergaji lembab dingin
– Kemasan berdaya insulasi tinggi
– Bahan bantu lain (kantong plastik, kertas koran, flashband, dsb)
Peralatan yang diperlukan dalam transportasi udang hidup sistem
kering adalah peralatan Untuk penampungan dan untuk imotilisasi.
a. Sistem Penampungan
Karena berbagai alasan, udang yang baru dipanen tidak dapat langsung diekspor, tetapi perlu ditampung lebih dulu, misalnya menunggu penjadwalan ekspor, lokasi yambak yang terpisah, udang kurang/tidak bugar sehingga perlu dibugarkan. Untuk penampungan digunakan bak penampungan bertingkat yang dilengkapi sistem sirkulasi, aerasi, dan filtrasi air sehingga kondisi air penampungan dapat dipertahankan tetap tinggi dan sekaligus menghemat air.
Ada dua macam filter pada sistem filtrasi, yaitu filter pasir untuk memisahkan partikel kotoran, dan bakteriofilter untuk mereduksi hasil metabilit dan sisa pakan. Pada bakteriofilter digunakan media filter batu kolar atau batu karang jahe yang sudah mati yang sering ditemukan di pantai-pantai. Jika sistem filtrasi bekerja dengan baik, kondisi air dapat dipertahankan tetap baik hingga berbulan-bulan tanpa perlu pergantian air.
Air yang sudah difiltrasi disirkulasikan kembali ke bak bertingkat.
Kecepatan sirkulasi diatur agar mampu memasok kebutuhan oksigen
udang. Aerasi dapat digunakan untuk mernbantu pasokan oksigen. Pada
awal penampungan ada kenderungan terjadi perubahan warna udang
menjadi agak kemerahan yang kemudian akan normal kembali setelah
udang ganti kulit.
b. Peralatan imotilisasi
Peralatan ini digunakan untuk mengimotilkan udang sehingga tenang dengan metabolisme, respirasi, dan aktivitas rendah. Peralatan imotilisasi tersiri dari :
– Bak air dingin berinsulasi untuk menampung air laut dingin dan es air laut.
– Bak untuk mengimotilkan udang yang dilengkapi sistem aerasi dan sirkulasi air.
Peralatan tersebut disusun dengan bak penampung air laut pada posisi lebih tinggi dari bak imotilisasi sehingga air laut dingin dapat mengalir ke bak imotilisasi untuk mendinginkan air dalam bak imotilisasi. Kecepatan penurunan suhu air dalam bak imotilisasi dapat diatur dengan mengatur jumlah air dingin yang mengalir ke bak imotilisasi dengan mengatur bukaan keran. Bak imotilisasi dilengkapi dengan sistem aerasi untuk memasok oksigen dan sirkulasi air.
Persiapan dan Penanganan
Transportasi sistem kering merupakan sistem transportasi dengan menggunakan media pengangkutan bukan air. Karena tidak menggunakan air, udang diimotilisasi dengan menggunakan suhu rendah sehingga tenang dan berada pada tingkat metabolisme dan respirasi rendah. Akan tetapi, sebelum diimotilisasi diperlukan beberapa tahap persiapan yang meliputi pemeriksaan kesehatan krustase, pemugaran, pemberokan, dan persiapan media serta kemasan untuk transportasi.
Persyaratan
Udang yang akan ditransportasikan hidup dengan sistem kering harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu :
ü Ukuran udangkomersial untuk konsumsi dan tidak lebih dari 70
gram/ekor
ü Kondisi sehat, bugar, tidak ganti kulit
ü Tidak cacat fisik
Udang yang ganti kulit (moulting) dan kurang/tidak bugar memiliki
dayatahan hidup rendah dan peluang mati selama transportasi tinggi.
Pemeriksaan Kebugaran
Pengamatan dan pembugaran udang yang akan ditransportasikan merupakan tahapan pertama yang perlu dilakukan di dalam transportasi udang hidup. Pemeriksaan kebuganan udang dilakukan dengan mengamati aktivitas dan perilaku udang di dalam maupun di luar air.
– Udang sehat sangat gesit, sangat responsif, dan sangat aktif, posisi tubuh tegak dengan gerakan kaki renang aktif dan cepat
– Udang meloncat-loncat jika diangkat dari air
Apabila udang kurang/tidak bugar perlu dibugarkan. Udang yang sehat
kemudian dipisahkan untuk dipuasakan paling tidak 18-24 jam.
Persiapan media dan kemasan
Media transportasi yang digunakan untuk transportasi udang hidup sistem kering adalah serbuk gergaji (sergaji) dari jenis kayu yang tidak menghasilkan racun, tidak berbau tajam, bersih, dan tidak mengandung bahan berbahaya lain.
Sergaji dibersihkan dari benda-benda asing (kawat, paku, potongan kayu, dan sebagainya) kemudian dicuci bersih untuk mengurangi tar dan bahan berbahaya lain yang ada. Sergaji ditiriskan dan dijemur sampai kering.
Sergaji kering dilembabkan dengan air laut (salinitas disesuaikan dengan salinitas asal udang) sebanyak 50% dari berat sergaji atau sampai kadar air sergaji sekitar 45-60%. Sergaji didinginkan sampai suhu sekitar 140C.
Kemasan yang digunakan adalah kotak stirofom atau poliuretan yang memiliki daya insulasi tinggi dan kotak kardus sebagai pengemas sekunder. Bahan lain yang disiapkan adalah hancuran es (0,5 kg) dibungkus kantong plastik, dan kertas koran.
Imotilisasi
Ada dua metoda imotilisasi dengan suhu rendah, yaitu imotilisasi pada
suhu rendah langsung dan imotilisasi dengan penurunan suhu bertahap.
Imotilisasi dengan penurunan suhu bertahap
Dalam metoda ini udang hidup diimotilisasi dengan menurunkan suhu air habitat udang secara bertahap sampai suhu tertentu dan dipertahankan selama waktu tertentu. Adapun caranya adalah sebagai berikut.
ü Suhu air diturunkan sampai mencapai 140-150C dengan kecepatan penurunan suhu 50C/jam
ü Suhu dipertahankan stabil selama 10-20 menit atau sampai udang imotil yang dapat ditandai dengan posisi tubuh udang roboh, gerakan kaki jalan dan kaki renang lemah atau perlahan.
ü Udang dikemas di dalam media sergaji suhu 140C. Imotilisasi langsung pada suhu rendah
Udang diimotilisasi dengan menempatkan udang langsung di dalam habitat bersuhu rendah selama waktu tertentu
ü Udang langsung dimasukkan ke dalam air (salinitas diatur sama dengan salinitas air penampungan) dingin suhu 170-190C dan dipertahankan selama 5-20 menit atau sampai udang imotil.
ü Udang imotil diangkat untuk dikemas di dalam media sergaji suhu 140C.
3. PENGEMASAN
Pengemasan untuk transportasi udang hidup dengan sistem kering dilakukan sebagai berikut.
ü Disiapkan kotak stirofom dan ke dalamnya dimasukkan hancuran es (0,5 kg) yang dibungkus kantong plastik, kemudian ditutup kertas koran untuk mencegah rembesan air dari es. Di atas koran dimasukkan selapis sergaji (140C) sekitar setebal 10 cm.
ü Es ditutup kertas koran untuk mencegah rembesan air es, dan diatas koran dimasukkan selapis sergaji setebal 15 cm.
ü Udang dimasukkan dan disusun satu lapis berseling seling dengan posisi tubuh telungkap.
ü Di atas udang dimasukkan selapis sergaji lembab dingin setebal 5-10cm. Demikian seterusnya, udang dan sergaji lembab dingin disusun lapis demi lapis secara berseling seling sampai kemasan penuh. Lapisan paling atas diisi sergaji sedikit lebih tebal (10-15 cm).
ü Kemasan diitutup rapat dan direkat dengan flasband. Kotak stirofon dapat dimasukkan ke dalam kotak kardus untuk melindungi stirofom dari kerusakan fisik.
ü Kemasan kemudian dapat ditransportasikan untuk ekspor ke luar negeri.
Penggunaan ruangan bersuhu sejuk (suhu ruang sekitar 170-190C)
selama transportasi sangat disarankan untuk menekan perubahan suhu
sehingga tingkat ketahanan hidup udang lebih tinggi dan daya jangkau
transportasinya lebih jauh.
D. Penanganan Udang Pada Saat Pengolahan
Prinsip yang dianut dalam penanganan/pengolahan udang adalah mempertahankan kesegaran udang selama mungkin dengan cara memperlakuan udang dengan cermat dan hati-hati; segera dan cepat mendinginkan udang sampai mencapai suhu sekitar 0oC; memperlakuan udang secara bersih, dan sehat serta selalu memperhatikan faktor waktu (kecepatan bekerja) selama penanganan rantai dingin. Faktor kebersihan yang dimaksud tidak hanya terhadap es, air, udang, tetapi juga termasuk kebersihan, alat yang dipergunakan, pekerja dan lingkungan tempat bekerja. Selama penanganan, udang harus dilindungi dari kemungkinan terjadinya perembesan oleh panas ke dalam wadah (misal peti dan palka). Adapun contoh penanganan yang dapat menurunkan mutu udang seperti : penyusunan udang yang terlalu rapat, tumpukan udang terlalu tinggi, dan udang tidak seluruhnya ditutupi oleh hancuran es.
Hal-hal yang diperhatikan dalam penanganan udang antara lain :
Persediaan Air
Air yang digunakan adalah air yang mutunya baik dan bersih.
Pemilihan Es
Es yang digunakan sebaiknya es yang berasal dari bahan baku (air) yang memenuhi persyaratan konsumsi, untuk jenis es air tawar. Sedangkan es dengan bahan baku air laut sebaiknya dipilih yang mutunya baik, bersih dan tidak tercemar. Penggunaan es haruslah diperhatikan bentuk dan ukurannya. Pecahan es yang terlalu besar dapat menyebabkan tergencetnya udang, tetapi apabila terlalu kecil, es cepat mencair. Demikian juga bentuk pecahan es yang tajam dapat melukai udang sehingga dapat menjadi penyebab turunnya mutu udang.. Jumlah es yang digunakan sebaiknya diperhatikan terutama pada saat penyimpanan sementara maupun selama pengangkutan. Karena es tersebut tidak saja untuk mendinginkan udang, tetapi juga digunakan untuk mempertahankan suhu tetap rendah. Jadi jumlah es yang digunakan sebaiknya jangan kurang tetapi cukup untuk menjaga kesegaran udang. Biasanya perbandingan antara udang dan es untuk penyimpanan adalah minimal 1:1.
Pencucian udang
Agar kotoran dan bahan-bahan asing lainnya benar-benar hilang, sebaiknya pencucian dilakukan dalam air mengalir, dengan harapan dapat mengurangi kerusakan pisik dan dapat mengurangi kandungan bakteri yang ada pada udang. Gambar pencucian udang :
Pemotongan kepala
Susunan tubuh udang mempunyai hubungan erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian ini mengandung enzim pencernaan dan bakteri pembusuk.
Pemotongan kepala dan pembersihan genjer dilakukan dengan tangan. Cara pemotongan kepala adalah dengan menarik sambil mematahkan dari arah bawah kepala ke atas dan bagian yang dipotong dari batas kelopak penutup kepala hingga batas leher.
Udang yang telah potong kepala segera direndam dengan menggunakan air dingin (maksimum 5oC). Selama pemotongan kepala, udang yang belum dipotong kepalanya harus selalu ditaburi dengan es curah secara merata untuk menjaga kesegarannya. Kepala udang dan kotoran lain, sebaiknya dikumpulkan dalam suatu wadah agar tidak mengkontaminasi udang lainnya.
Gambar pemotongan kepala :
Penentuan ukuran (grading)
Penentuan ukuran (grading) biasanya hanya dilakukan dengan menggunakan tangan (manual). Dalam melakukan pekerjaan ini sebaiknya dilakukan di atas meja yang berlapis alumunium (bahan anti karat) dengan selalu memberikan hancuran es yang cukup.
Penyusunan udang
Udang yang sudah dipotong kepala (headless) segera dimasukan ke dalam bok. Cara penyusunan udang di dalam peti ada dua macam :
Tumpukan : udang dimasukkan ke dalam peti dengan cara mencampur antara udang dan es
Berlapis : alas peti diberi hancuran es setebal kira-kira 10-15 cm kemudian udang disusun di atasnya. Demikian seterusnya sampai udang habis dimasukkan. Lapisan udang paling atas diberi es satebal 5 cm.
Peti (cold box)
Peti atau kotak pendingin (cold box) yang baik untuk menyimpan udang adalah peti atau tempat yang dapat melindungi udang dari benturan, penetrasi panas dari luar, mempunyai drainase dan mudah untuk diangkat. Jenis peti yang dapat digunakan ada dua yaitu peti yang terbuat dari fiberglass dan peti berinsulasi (Gambar 2). Peti berinsulasi leibh baik digunakan daripada peti fiberglass.
Pengangkutan
Untuk mengangkut udang baik dari tambak ke tempat pengumpul maupun dari pengumpul ke tempat pembekuan sebaiknya menggunakan alat pengangkut berupa mobil truck atau pickup yang pada bagian atasnya ditutup dengan plastik atau apapun yang berguna untuk mencegah (mengurangi) penetrasi panas ke dalam peti udang yang sedang diangkut.
I. KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini yaitu penanganan krustasea hidup terutama jenis udang-udangan perrlu diperhatikan dengan baik, mulai dari pasca penangkapan sampai di tangan konsumen mengingat kondisi udang yang cepat membusuk.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pets.dir.groups.yahoo.com. Diakses pada tanggal 24 April 2010.
http://www.pustaka.ictsleman.net. Diakses pada tanggal 24 April 2010.
http://www.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 24 April 2010.
Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No. 1, 1973, Jakarta dalam Sofyan Ilyas. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I. Teknik Pendinginan Ikan
Rabu, 23 Desember 2015
Selasa, 22 Desember 2015
PENGARUH PENDINGINAN DAN PEMBEKUAN
PENGARUH PENDINGINAN DAN PEMBEKUAN
Posted on 17 Oktober 2009 by munzir08
Pendinginan dan Pembekuan
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan pangan air tidak membeku sampai suhu –9,50C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam dan senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar –180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan pangan air tidak membeku sampai suhu –9,50C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam dan senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar –180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pengertian Pendinginan atau Pemekuan
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua.
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara – 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu –2oC sampai + 16oC.
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu kira-kira –17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara – 12 oC sampai – 24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun.
Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan aktivitas mikroba.
1. Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10 oC
2. Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu kira-kira 3,3oC
3. Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4 oC sampai – 9,4 oC
Organisme ini tidak menyebabkan keracunan atau menimbulkan penyakit pada suhu tersebut, tetapi pada suhu lebih rendah dari – 4,0 oC akan menyebabkan kerusakan pada makanan.
Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang dibekukan sangat tergantung kepada penanganan atau perlakuan-perlakuan yang diberikan sebelum produk itu didinginkan atau dibekukan, karena pada kenyataannya mikroba banyak berasal dari bahan mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan didinginkan atau dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti pembersihan, blansing, atau sterilisasi, sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan dapat sedikit berkurang atau terganggu keseimbangan metabolismenya.
Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan, respirasi atau pernafasan, dan pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti sayur-sayuran dan buah-buahan atau dari bahan hewani akan berlangsung terus meskipun bahan-bahan tersebut telah dipanen ataupun hewan telah disembelih. Proses metabolisme ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan akhirnya membusuk. Suhu dimana proses metabolisme ini berlangsung dengan sempurna disebut sebagai suhu optimum.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri, sehingga pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair kembali (“thawing“), maka pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba dapat berlangsung dengan cepat. Penyimpanan dingin dapat menyebabkan kehilangan bau dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan.
Posted on 17 Oktober 2009 by munzir08
Pendinginan dan Pembekuan
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan pangan air tidak membeku sampai suhu –9,50C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam dan senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar –180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan pangan air tidak membeku sampai suhu –9,50C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam dan senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar –180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pengertian Pendinginan atau Pemekuan
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua.
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara – 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu –2oC sampai + 16oC.
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu kira-kira –17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara – 12 oC sampai – 24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun.
Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan aktivitas mikroba.
1. Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10 oC
2. Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu kira-kira 3,3oC
3. Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4 oC sampai – 9,4 oC
Organisme ini tidak menyebabkan keracunan atau menimbulkan penyakit pada suhu tersebut, tetapi pada suhu lebih rendah dari – 4,0 oC akan menyebabkan kerusakan pada makanan.
Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang dibekukan sangat tergantung kepada penanganan atau perlakuan-perlakuan yang diberikan sebelum produk itu didinginkan atau dibekukan, karena pada kenyataannya mikroba banyak berasal dari bahan mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan didinginkan atau dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti pembersihan, blansing, atau sterilisasi, sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan dapat sedikit berkurang atau terganggu keseimbangan metabolismenya.
Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan, respirasi atau pernafasan, dan pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti sayur-sayuran dan buah-buahan atau dari bahan hewani akan berlangsung terus meskipun bahan-bahan tersebut telah dipanen ataupun hewan telah disembelih. Proses metabolisme ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan akhirnya membusuk. Suhu dimana proses metabolisme ini berlangsung dengan sempurna disebut sebagai suhu optimum.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri, sehingga pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair kembali (“thawing“), maka pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba dapat berlangsung dengan cepat. Penyimpanan dingin dapat menyebabkan kehilangan bau dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan.
Dampak Perubahan Iklim bagi Indonesia
Dampak Perubahan
Iklim bagi Indonesia
Posted on 12 Oktober 2009 by munzir08
Perubahan iklim pada kenyataannya
sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Dampak ekstrem dari
perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperature serta pergeseran
musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan
Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut
dan kenaikan permukaan air laut. Berbagai kerugian yang telah dan akan dirasakan
oleh masyarakat Indonesia sebagai akibat dampak perubahan iklim adalah sebagai
berikut:
1. Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim Di
Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak
tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu
sekitar 1°C di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (M. Hulme, 1999).
Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat
perubahan iklim adalah tak menentunya pola curah hujan. Di beberapa tempat
curah hujan meningkat, yang kemudian akan berdampak pada terjadinya banjir dan
longsor. Sementara di sebagian tempat lain curah hujan menurun, sehingga
berdampak pada terjadinya kekeringan.\
2. Naiknya Permukaan Air Laut
Sebagai dampak naiknya permukaan air laut,
maka banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang.
Apabila ‘skenario’ IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000
pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian
besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari
garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan
berkurang.
Masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di
sepanjang pantai akan semakin terdesak. Mereka bahkan kehilangan tempat tinggal
serta infrastruktur pendukung yang
telah terbangun. Nelayan juga akan kehilangan
mata pencahariannya akibat berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Hal ini
disebabkan karena tak menentunya iklim sehingga menyulitkan mereka untuk
melaut. Kenaikan air laut akan memperburuk kualitas air tanah di perkotaan,
karena intrusi atau perembesan air laut yang kian meluas.
Kenaikan muka air laut juga akan merusak
ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona
pesisir. Adapun daerah-daerah pesisir yang termasuk rawan akan dampak kenaikan
muka air laut antara lain sebagai berikut:
a.
Pantai
utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang Antara tahun
1925 -1989, kenaikan permukaan air laut telah terjadi di Jakarta (4,38
mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47 mm/Tahun).
b.
Pantai
timur Sumatera.
c.
Pantai
selatan, timur dan barat Kalimantan.
d.
Pantai
barat Sulawesi.
e.
Daerah
rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai barat dan selatan.
Di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), akan
terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang makin tajam. Akibatnya,
kekerapan terjadinya banjir atau kekeringan akan semakin terasa. Hal ini akan
semakin parah apabila daya tampung sungai dan waduk tidak terpelihara akibat
erosi dan sedimentasi.
3. Dampaknya pada Sektor Perikanan
Pemanasan global menyebabkan memanasnya air
laut, sebesar 2-3°C. Akibatnya, alga yang merupakan sumber makanan terumbu
karang akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air
laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang.
Akhirnya, terumbu karang pun akan berubah
warna menjadi putih dan mati (coral
bleaching). Peristiwa El Nino, biasa juga disebut ENSO (El Nino Southern
Oscillation) yang terjadi setiap 2-13 tahun sekali, pada tahun 1997-1998
menyebabkan naiknya suhu air laut sehingga memicu peristiwa pemutihan karang
terluas. Setelah El Nino berlalu, terumbu karang yang rusak punya kesempatan
untuk tumbuh kembali.
Pemutihan karang menyebabkan punahnya
berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya, ikan kerapu
macan, kerapu sunu, napoleon dan lainlain) karena tak ada lagi terumbu karang
yang layak untuk dihuni dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia
mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang,
itupun hanya yang terdapat di wilayah
Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang berada wilayah lainnya.
Akibat lebih jauh adalah terjadinya perubahan
komposisi ikan di laut Indonesia. Ikan yang tak tergantung pada terumbu karang
akan tumbuh dengan suburnya. Contohnya, ikan belanak, bandeng, tenggiri dan
teri, padahal ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yg lebih rendah daripada
jenis ikan karang.
Tak hanya
itu, memanasnya air laut akan mengganggu
kehidupan jenis ikan tertentu yang
sensitif terhadap naiknya suhu. Ini
mengakibatkan terjadinya migrasi ikan ke
daerah yang lebih dingin. Akhirnya, Indonesia
akan kehilangan beberapa jenis
ikan. Akibatnya, nelayan lokal akan makin
terpuruk karena menurunnya hasil tangkapan
ikan.
4. Dampaknya pada Sektor Kehutanan Diperkirakan
akan terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam
hutan sebagai akibat perubahan iklim. Beberapa spesies akan terancam punah karena
tak mampu beradaptasi. Sebaliknya spesies yang mampu bertahan akan berkembang
tak terkendali (KLH, 1998).
Kebakaran hutan bersumber pada tiga hal,
yaitu kesengajaan manusia, kelalaian manusia dan karena faktor alam. Kebakaran
hutan yang kita bahas pada bagian ini adalah yang disebabkan oleh faktor alam.
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor
alam, umumnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan
sekitar hutan. Peningkatan suhu yang
terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti
musim kemarau panjang, mengakibatkan
mudah terbakarnya ranting-ranting atau
daundaun akibat gesekan yang ditimbulkan.
Hal ini menyebabkan kebakaran hutan dapat
terjadi dalam waktu singkat dimana api melahap sekian hektar luasan hutan dan
berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Singkat kata, peningkatan
suhu meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena itu perubahan
iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan
potensi kebakaran hutan.
Selain hilangnya sejumlah kawasan hutan,
kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati,
terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Belum lagi dampak sosial dan
kesehatan yang ditimbulkan bagi masyarakat setempat.
5. Dampaknya pada Sektor Pertanian
Perubahan iklim yang berdampak pada tingginya
intensitas hujan dalam periode yang pendek akan menimbulkan banjir yang
kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air.
Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan
tanah longsor, akibatnya hasil dari tanaman dataran tinggi akan menurun.
Produksi kacang kedelai misalnya, akan turun
sebanyak 20%, sementara jagung sebanyak 40%,
dan padi 2,5% (ADB, 1994).
Perubahan iklim tak hanya menyebabkan banjir
tetapi juga kekeringan. Sebagaimana halnya banjir, kekeringan membawa kerugian
yang serupa pada sektor pertanian.
Ditambah dengan peristiwa El Nino dan La Nina
kondisi ketersediaan pangan di Indonesia akan semakin buruk.
6. Dampaknya pada Sektor Kesehatan
Naiknya suhu udara yang menyebabkan masa
inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk malaria dan demam berdarah
akan berkembangbiak lebih cepat.
Balita, anak-anak dan usia lanjut sangat
rentan terhadap perubahan iklim. Terbukti tingginya angka kematian yang
disebabkan oleh malaria sebesar 1-3 juta pertahun, dimana 80% nya adalah balita
dan anak-anak (WHO, 1997).
Selain itu, kebakaran hutan juga menghasilkan
kualitas udara yang buruk dan menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar
lokasi.
Intensitas hujan yang tinggi dengan periode
yang singkat akan menyebabkan bencana banjir. Jika terjadi banjir maka akan
mengkontaminasi persediaan air bersih. Pada akhirnya perubahan iklim juga
berdampak pada mewabahnya penyakit seperti diare dan leptospirosis yang biasanya
muncul pasca banjir.
Sementara kemarau panjang juga berdampak pada
timbulnya krisis air bersih. Sehingga juga berdampak pada wabah penyakit diare
dan juga penyakit kulit.
7. Dampak Sosial dan Ekonomi
Tahun 2000, Indonesia telah mengalami 33
kejadian banjir, kebakaran hutan, kemarau, dan 6 bencana angin topan. Itu semua
telah membawa kerugian sebesar $150 milyar dan 690 nyawa hilang (Kompas, 7
Maret 2001). Sementara dunia sendiri mengalami
kerugian sebesar $300 milyar tiap tahunnya
akibat dampak perubahan iklim (UNEP,
2001).
Kerugian yang akan dialami Indonesia jika
terjadi kenaikan muka air laut setinggi 60 cm
adalah sebesar $11.307 juta pertahunnya.
Kerugian itu terdiri dari menyusutnya lahan persawahan, sawah pasang surut dan
perkebunan, tambak ikan, bangunan dan hutan bakau (Rozari, 1992).
Sementara kerugian Indonesia di sektor
pertanian akibat perubahan iklim diperkirakan
sebesar 23 milyar rupiah per tahunnya.
Sementara sektor pariwisata akan mengalami kerugian sebesar 4 milyar rupiah per
tahun (ALGAS, 1997). Berdasarkan sumber yang sama, perbaikan infrastruktur
pesisir akan memerlukan dana 42 milyar rupiah setiap tahunnya. Di sector kehutanan,
Indonesia mengalami kerugian akibat kebakaran hutan sebesar 5,96 trilyun rupiah
atau 70% dari Pendapatan Domestik Bruto sektor kehutanan (KLH, 1998). Hal
tersebut terdiri atas hilangnya persediaan air, gangguan hidrologi,
pengendalian erosi, siklus hara, penguraian limbah, hilangnya penyerapan
karbon, hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain.
Kebakaran
hutan tahun 1997, telah menghabiskan biaya
kesehatan lebih dari 1,2 trilyun rupiah termasuk 2,5 juta hari kerja yang
hilang (KLH, 1998). Sementara total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan
lahan pada tahun 1997-1998 diperkirakan mencapai US$ 9,3 milyar (Bappenas,
2000).
Selain kerugian secara finansial, kebakaran
hutan juga memberikan dampak sosial terhadap masyarakat setempat. Hilangnya mata
pencaharian, rasa keamanan dan keharmonisan merupakan derita yang harus ditanggung
oleh penduduk setempat (KLH, 1998).
Minggu, 20 Desember 2015
Navigasi
Navigasi
Posted on 21 Agustus 2010 by munzir08
PENDAHULUAN
Navigasi merupakan pengetahuan untuk mengetahui keadaan suatu medan yang akan dihadapi atau posisi kita di alam bebas dan menentukan arah serta tujuan perjalanan di alam bebas.
Navigasii laut adalah ilmu yang mengajarkan cara-cara mengemudikan kapal dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman dan ekonomis. Secara umum, navigasi ada 3 (tiga) :
1. Ilmu pelayaran datar
Ilmu pelayaran yang didasarkan pada benda-benda duniawi sebagai pedoman pelaksanaannya (burung, gunung, tanjung, pulau kecil).
2. Pelayaran astronomi
Ilmu pelayaran yang didasarkan pada benda-benda angkasa sebagai pedoman pelaksanaannya (matahari, bulan, bintang).
3. Navigasi elektronik
Ilmu pelayaran yang didasarkan pada benda-benda elektronik sebagai pedoman pelaksanaannya.
Navigasi Darat
Dalam navigasi darat kita memerlukan penggunaan peralatan seperti :
1. Penggunaan kompas
2. Pembacaan peta
3. Penggunaan tanda-tanda alam yang membantu kita dalam menentukan arah
Pengetahuan tentang navigasi darat ini merupakan bekal yang sangat penting bagi kita bila berada di alam bebas seperti , gunung hingga rimba belantara. Untuk itu memerlukan alat-alat terebut.
Peralatan yang biasa digunakan dalam navigasi darat terutama bila kita sedang menjelajahi hutan, gunung atau rimba belantara meliputi :
1. Penggaris
2. Kompas
3. Peta topografi
4. Pensil
5. Altimeter
6. Busur derajat
7. Konektor
PETA TOPOGRAFI
Peta adalah gambaran dari permukaan bumi yang diperkecil dengan skala tertentu sesuai dengan kebutuhan. Peta digambarkan di atas bidang datar dengan sistem proyeksi tertentu. Peta yang digunakan untuk kegiatan alam bebas adalah Peta Topografi. Peta topografi adalah suatu representasi di atas bidang datar tentang seluruh atau sebagian permukaan bumi yang terlihat dari atas dare diperkecil dengan perbandingan ukuran tertentu. Peta topografi menggambarkan secara proyeksi dari sebagian fisik bumi, sehingga dengan peta ini bisa diperkirakan bentuk permukaan bumi. Bentuk relief bumi pada peta topografi digambarkan dalam bentuk Garis-Garis Kontur.
Dalam menggunakan peta topografi harus diperhatikan kelengkapan petanya, yaitu:
Judul Peta
Adalah identitas yang tergambar pada peta, ditulis nama daerah atau identitas lain yang menonjol.
Keterangan Pembuatan
Merupakan informasi mengenai pembuatan dan instansi pembuat. Dicantumkan di bagian kiri bawah dari peta.
1. Nomor Peta (Indeks Peta)
Adalah angka yang menunjukkan nomor peta. Dicantumkan di bagian kanan atas.
2. Pembagian Lembar Peta
Adalah penjelasan nomor-nomor peta lain yang tergambar di sekitar peta yang digunakan, bertujuan untuk memudahkan penggolongan peta bila memerlukan interpretasi suatu daerah yang lebih luas.
Sistem Koordinat
Adalah perpotongan antara dua garis sumbu koordinat. Macam koordinat adalah:
a. Koordinat Geografis
Sumbu yang digunakan adalah garis bujur (BB dan BT), yang berpotongan dengan garis lintang (LU dan LS) atau koordinat yang penyebutannya menggunakan garis lintang dan bujur. Koordinatnya menggunakan derajat, menit dan detik. Misal Co 120° 32′ 12″ BT 5° 17′ 14″ LS.
b. Koordinat Grid
Perpotongan antara sumbu absis (x) dengan ordinal (y) pada koordinat grid. Kedudukan suatu titik dinyatakan dalam ukuran jarak (meter), sebelah selatan ke utara dan barat ke timur dari titik acuan.
c. Koordinat Lokal
Untuk memudahkan membaca koordinat pada peta yang tidak ada gridnya, dapat dibuat garis-garis faring seperti grid pada peta.
Skala bilangan dari sistem koordinat geografis dan grid terletak pada tepi peta. Kedua sistern koordinat ini adalah sistem yang berlaku secara internasional. Namun dalam pembacaan sering membingungkan, karenanya pembacaan koordinat dibuat sederhana atau tidak dibaca seluruhnya. Misal: 72100 mE dibaca 21, 9° 9700 mN dibaca 97, dan lain-lain.
Skala Peta
Adalah perbandingan jarak di peta dengan jarak horisontal sebenarnya di medan atau lapangan. Rumus jarak datar dipeta dapat di tuliskan JARAK DI PETA x SKALA = JARAK DI MEDAN
Penulisan skala peta biasanya ditulis dengan angka non garis (grafis). Misalnya Skala 1:25.000, berarti 1 cm di peta sama dengan 25 m di medan yang sebenarnya.
MENGGUNAKAN PETA
Pada perencanaan perjalanan dengan menggunakan peta topografi, sudah tentu titik awal dan titik akhir akan diplot di peta. Sebelurn berjalan catatlah:
Koordinat titik awal (A)
Koordinat titik tujuan (B)
Sudut peta antara A – B
Tanda medan apa saja yang akan dijumpai sepanjang lintasan A – B
Berapa panjang lintasan antara A – B dan berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan lintasan A -B.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan suatu operasi adalah
Kita harus tahu titik awal keberangkatan kita, balk di medan maupun di peta.
Gunakan tanda medan yang jelas balk di medan dan di peta.
Gunakan kompas untuk melihat arah perjalanan kita, apakah sudah sesuai dengan tanda medan yang kita gunakan sebagai patokan, atau belum.
Perkirakan berapa jarak lintasan. Misal medan datar 5 krn ditempuh selama 60 menit dan medan mendaki ditempuh selama 10 menit.
Lakukan orientasi dan resection, bila keadaannya memungkinkan.
Perhatikan dan selalu waspada terhadap adanya perubahan kondisi medan dan perubahan arah perjalanan. Misalnya dari pnggungan curam menjadi punggungan landai, berpindah punggungan, menyeberangi sungai, ujung lembah dan lain-lainnya.
Panjang lintasan sebenarnya dapat dibuat dengan cara, pada peta dibuat lintasan dengan jalan membuat garis (skala vertikal dan horisontal) yang disesuaikan dengan skala peta. Gambar garis lintasan tersebut (pada peta) memperlihatkan kemiringan lintasan juga penampang dan bentuk peta. Panjang lintasan diukur dengan mengalikannya dengan skala peta, maka akan didapatkan panjang lintasan sebenarnya.
PLOTTING DI PETA
Plotting merupakan proses membuat gambar atau membuat titik, membuat garis dan tanda-tanda tertentu di peta. Plotting sangat berguna bagi kita dalam membaca peta. Misalnya Tim Bum berada pada koordinat titik A (3986 : 6360) + 1400 m dpl. SMC memerintahkan Tim Buni agar menuju koordinat titik T (4020 : 6268) + 1301 mdpl. Maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :
Plotting koordinat T di peta dengan menggunakan konektor. Pembacaan dimuali dari sumbu X dulu, kemudian sumbu Y, didapat (X:Y).
Plotting sudut peta dari A ke T, dengan cara tank garis dari A ke T, kemudian dengan busur derajat/kompas orientasi ukur besar sudut A – T dari titik A ke arah garis AT. Pembacaan sudut menggunakan Sistem Azimuth (0″ -360°) searah putaran jarum Jam. Sudut ini berguna untuk mengorientasi arah dari A ke T.
Interprestasi peta untuk menentukan lintasan yang efisien dari A menuju T. Interprestasi ini dapat berupa garis lurus ataupun berkelok-kelok mengikuti jalan setapak, sungai ataupun punggungan. Harus dipaharni betul bentuk garis garis kontur.
Plotting lintasan dan memperkirakan waktu tempuhnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu tempuh :
Kemiringan lereng
Panjang lintasan
Keadaan dan kondisi medan (misal hutan lebat, semak berduri atau gurun pasir).
Keadaan cuaca rata-rata.
Waktu pelaksanaan (yaitu pagi slang atau malam).
Kondisi fisik dan mental serta perlengkapan yang dibawa.
PENUTUP
Navigasi adalah ilmu yang mengajarkan cara-cara mengemudikan kapal dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman dan ekonomis. Secara umum, navigasi ada 3 (tiga) :
1. Ilmu pelayaran datar
Ilmu pelayaran yang didasarkan pada benda-benda duniawi sebagai pedoman pelaksanaannya (burung, gunung, tanjung, pulau kecil).
2. Pelayaran astronomi
Ilmu pelayaran yang didasarkan pada benda-benda angkasa sebagai pedoman pelaksanaannya (matahari, bulan, bintang).
3. Navigasi elektronik
Ilmu pelayaran yang didasarkan pada benda-benda elektronik sebagai pedoman pelaksanaannya.
Sabtu, 19 Desember 2015
Pancing (Line Fishing)
Pancing (Line Fishing)
Posted on 3 April 2011 by munzir08
PANCING
Jenis-jenis pengangkapan ikan yang menggunakan pancing biasa disebut dengan Line Fishing. Istilah lain biasa juga disebut dengan hook and line atau angling yaitu alat penangkapan ikan yang terdiri dari tali dan mata pancing. Semua alat tangkap tersebut dalam teknik penangkapannya menggunakan pancing. Umumnya pada mata pancingnya dipasang umpan, baik umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi untuk menarik perhatian ikan. Umpan asli dapat berupa ikan, udang, atau organisme lainnya yang hidup atau mati, sedangkan umpan buatan dapat terbuat dari kayu, plastic dan sebagainya yang menyerupai ikan, udang atau lainnya.
Dibandingkan dengan alat-alat penangkapan ikan lainnya, alat pancing inilah yang prinsipnya tidak banyak mengalami kemajuan. Karena hanya melekatkan umpan pada mata pancing, lalu pancing diberi tali. Setelah umpan dimakan ikan maka mata pancing juga akan termakan oleh ikan dan dengan tali manusia menarik ikan ke kapal atau ke darat. Dalam teknisnya banyak mengalami kemajuan, misalnya benang yang dipakai berwarna sedemikian rupa sehingga tidak tampak dalam air, umpan diberi bau-bauan sehingga dapat memberikan rangsangan untuk dimakan, bentuknya diolah sedemilian rupa sehingga menyerupai umopan yang umum disenangi oleh ikanyang menjadi tujuan penangkapan secara alamiah (Ayodhyoa, 1981).
Sebagai alat penangkapan ikan, alat pancing terdiri dari mata pancing, tali pancing, umpan dan berbagai perlengkapan lainnya seperti joran, pelampung, pemberat, dan lain-lain. Dibandingkan dengan alat penangkapan ikan lainnya, menurut Ayodhyoa (1981) alat penangkapan ini mempunyai segi-segi positif yaitu :
Alat-alat pancing tidak susah dalam strukturnya dan operasinya dapat dilakukan dengan mudah.
Organisasi usahanya kecil, sehingga dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan (bergantung jenis usaha pancingnya), manusia sedikit usaha sudah dapat dijalankan.
Syarat-syarat fishing groundnya relative sedikit dan dapat dengan bebas memilih.
Pengaruh cuaca, suasana laut dan sebagainya relatif kecil.
Ikan-ikan yang tertangkap seekor demi seekor sehingga kesegarannya dapat dijamin.
Namun ada pula beberapa kelemahannya yaitu :
Dibandingkan dengan perikanan jarring, maka untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak jumlahny dalam waktu yang singkat tidak mungkin dilakukan.
Memerlukan umpan, sehingga ada tidaknya umpan akan berpengaruh terhadap jumlah kali operasi yang dapat dilakukan.
Keahlian perseorangan sangat menonjol, pada tempat, waktu dan syarat-syarat lainnya sama, hasil tangkapn yang diperoleh belum tentu sama dengan orang lain.
Pancing terhadap ikan adalah pasif, dengan demikian tertangkapnya ikan tersebuut sangat ditentukan oleh tertariknya ikan untuk memakan umpan.
Pancing adalah salah satu alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat ramai, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu tali (line), dan mata pancing (hook). Tali pancing biasa dibuat dari bahan benang katun, – nilon, – polyethilene, plastik (senar), dal lain-lain. Sedangkan mata pancingnya (mata kailnya) dibuat dari kawat baja, – kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya ujungnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing itu bisa tunggal maupun ganda (dua – tiga buah) bahkan banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (dipancing) (Subani dan Barus, 1989).
Berbeda jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan maka berbeda pula pancing yang digunakan. Dengan demikian, struktur pancing juga akan berbeda, sehingga akan terlihat banyak sekali variasi dari alat pancing. Sehubungan dengan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan maka fishing ground dimana ikan itu berada akan berbeda pula kondisinya, dengan demikian maka cara yang akan dilakukan akan berbeda.
Pada garis besarnya line fishing banyak jenisnya, tetapi dapat dikelompokan dalam beberapa kelompok (Von Brandt, 1984) yaitu :
Hand lines, yaitu pancing yang paling sederhana. Biasanya hanya terdiri dari pancing, tali pancing dan pemberat serta dioperasikan oleh satu orang dan tali pancing langsung ke tangan.
Pole and line, yaitu pancing yang digunakan khusus menangkap ikan-ikan cakalang, tuna, dan tongkol, pancing ini terdiri dari joran, tali pancing dan umpan. Dioperasikan secara bersama di atas kapal.
Set lines, yaitu pancing yang dipasang secara menetap dalam jangka tertentu. Pancing ini terdiri dari tali pancing, pancing, dan umpan kemudian dipasang secara tetap di suatu perairan.
Bottom long lines, yaitu pancing yang dipasang di dasar perairan, biasanya khusus menangkap ikan-ikan demersal.
Drift lines, yaitu pancing yang dipasang di permukaan atau pertengahan air dan dihanyutkan sampai jangka waktu tertentu.
Troll lines, yaitu pancing yang dalam operasinya ditarik dengan perahu.
Dilihat dari cara pengoperasiannya pancing-pancing tersebut bisa dilabuh (pancing ladung, rawai biasa, rawai cucut), ditarik dibelakang perahu/kapal yang sedang dalam keadaan berjalan (trolling) baik menelusuri lapisan permukaan air, lapisan tengah (pancing cumi-cumi) maupun di dsar perairan (pancing garit/dragged line), dihanyutkan (rawai tuna, tuna long line). Penangkapan dengan pancing dapat dilakukan baik pada siang maupun malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim (Subani dan Barus, 1989).
By : Pondok Munzir
Posted on 3 April 2011 by munzir08
PANCING
Jenis-jenis pengangkapan ikan yang menggunakan pancing biasa disebut dengan Line Fishing. Istilah lain biasa juga disebut dengan hook and line atau angling yaitu alat penangkapan ikan yang terdiri dari tali dan mata pancing. Semua alat tangkap tersebut dalam teknik penangkapannya menggunakan pancing. Umumnya pada mata pancingnya dipasang umpan, baik umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi untuk menarik perhatian ikan. Umpan asli dapat berupa ikan, udang, atau organisme lainnya yang hidup atau mati, sedangkan umpan buatan dapat terbuat dari kayu, plastic dan sebagainya yang menyerupai ikan, udang atau lainnya.
Dibandingkan dengan alat-alat penangkapan ikan lainnya, alat pancing inilah yang prinsipnya tidak banyak mengalami kemajuan. Karena hanya melekatkan umpan pada mata pancing, lalu pancing diberi tali. Setelah umpan dimakan ikan maka mata pancing juga akan termakan oleh ikan dan dengan tali manusia menarik ikan ke kapal atau ke darat. Dalam teknisnya banyak mengalami kemajuan, misalnya benang yang dipakai berwarna sedemikian rupa sehingga tidak tampak dalam air, umpan diberi bau-bauan sehingga dapat memberikan rangsangan untuk dimakan, bentuknya diolah sedemilian rupa sehingga menyerupai umopan yang umum disenangi oleh ikanyang menjadi tujuan penangkapan secara alamiah (Ayodhyoa, 1981).
Sebagai alat penangkapan ikan, alat pancing terdiri dari mata pancing, tali pancing, umpan dan berbagai perlengkapan lainnya seperti joran, pelampung, pemberat, dan lain-lain. Dibandingkan dengan alat penangkapan ikan lainnya, menurut Ayodhyoa (1981) alat penangkapan ini mempunyai segi-segi positif yaitu :
Alat-alat pancing tidak susah dalam strukturnya dan operasinya dapat dilakukan dengan mudah.
Organisasi usahanya kecil, sehingga dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan (bergantung jenis usaha pancingnya), manusia sedikit usaha sudah dapat dijalankan.
Syarat-syarat fishing groundnya relative sedikit dan dapat dengan bebas memilih.
Pengaruh cuaca, suasana laut dan sebagainya relatif kecil.
Ikan-ikan yang tertangkap seekor demi seekor sehingga kesegarannya dapat dijamin.
Namun ada pula beberapa kelemahannya yaitu :
Dibandingkan dengan perikanan jarring, maka untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak jumlahny dalam waktu yang singkat tidak mungkin dilakukan.
Memerlukan umpan, sehingga ada tidaknya umpan akan berpengaruh terhadap jumlah kali operasi yang dapat dilakukan.
Keahlian perseorangan sangat menonjol, pada tempat, waktu dan syarat-syarat lainnya sama, hasil tangkapn yang diperoleh belum tentu sama dengan orang lain.
Pancing terhadap ikan adalah pasif, dengan demikian tertangkapnya ikan tersebuut sangat ditentukan oleh tertariknya ikan untuk memakan umpan.
Pancing adalah salah satu alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat ramai, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu tali (line), dan mata pancing (hook). Tali pancing biasa dibuat dari bahan benang katun, – nilon, – polyethilene, plastik (senar), dal lain-lain. Sedangkan mata pancingnya (mata kailnya) dibuat dari kawat baja, – kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya ujungnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing itu bisa tunggal maupun ganda (dua – tiga buah) bahkan banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (dipancing) (Subani dan Barus, 1989).
Berbeda jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan maka berbeda pula pancing yang digunakan. Dengan demikian, struktur pancing juga akan berbeda, sehingga akan terlihat banyak sekali variasi dari alat pancing. Sehubungan dengan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan maka fishing ground dimana ikan itu berada akan berbeda pula kondisinya, dengan demikian maka cara yang akan dilakukan akan berbeda.
Pada garis besarnya line fishing banyak jenisnya, tetapi dapat dikelompokan dalam beberapa kelompok (Von Brandt, 1984) yaitu :
Hand lines, yaitu pancing yang paling sederhana. Biasanya hanya terdiri dari pancing, tali pancing dan pemberat serta dioperasikan oleh satu orang dan tali pancing langsung ke tangan.
Pole and line, yaitu pancing yang digunakan khusus menangkap ikan-ikan cakalang, tuna, dan tongkol, pancing ini terdiri dari joran, tali pancing dan umpan. Dioperasikan secara bersama di atas kapal.
Set lines, yaitu pancing yang dipasang secara menetap dalam jangka tertentu. Pancing ini terdiri dari tali pancing, pancing, dan umpan kemudian dipasang secara tetap di suatu perairan.
Bottom long lines, yaitu pancing yang dipasang di dasar perairan, biasanya khusus menangkap ikan-ikan demersal.
Drift lines, yaitu pancing yang dipasang di permukaan atau pertengahan air dan dihanyutkan sampai jangka waktu tertentu.
Troll lines, yaitu pancing yang dalam operasinya ditarik dengan perahu.
Dilihat dari cara pengoperasiannya pancing-pancing tersebut bisa dilabuh (pancing ladung, rawai biasa, rawai cucut), ditarik dibelakang perahu/kapal yang sedang dalam keadaan berjalan (trolling) baik menelusuri lapisan permukaan air, lapisan tengah (pancing cumi-cumi) maupun di dsar perairan (pancing garit/dragged line), dihanyutkan (rawai tuna, tuna long line). Penangkapan dengan pancing dapat dilakukan baik pada siang maupun malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim (Subani dan Barus, 1989).
By : Pondok Munzir
Kamis, 17 Desember 2015
Alat tangkap Purse Seine
Alat tangkap Purse Seine
PURSE SEINE
Seperti juga pada alat tangkap lainnya, maka satu unit purse seine terdiri dari jaring, kapal, dan alat bantu (rumpon, lampu dan sebagainya). Pada garis besarnya jaring purse seine terdiri dari kantong (bag, bunt), badan jarring, tepi jarring, pelampung (float, corck), tali pelampung (corck line, float line), sayap (wing), pemberat (sinker, lead), tali penarik (purse line), tali cincin (purs ring), dan selvage.
Dalam perkembangannya, alat tangkap purse seine terus megalami perkembangan. Pada tahun 1860 sudah digunakan di seluruh pantai atlantik dan amerika serikat. Pada tahun 1870 panjang purse seine sudah diubah dari 65 fathom menjadi 250 fathom (1 fathom = 1.825 m). dari bentuk seperti ini purse seine akirnya diperkenalkan ke Negara-negara Scandinavia pada tahun yang sama. Hingga saat ini purse seine terus mengalami perkembangan baik dari segi konstruksi alat tangkap sampai metode atau proses teknik penangkapan seperti menggunakan alat bantu penangkapan berupa cahaya (light fishing) maupun rumpon.
Disebut pukat cincin karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin untuk mana “tali cincin” (purs line) atau tali “kerut” dilakukan di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut tersebut jaring yang semula tidak berkantong akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan (Subani dan Barus, 1989).
Pemilihan netting material haruslah hati-hati dengan melihat edan mempertimbangkan kekuatan arus dan keadaan stabil tidaknya arus tersebut. Jaring harus mempunyai sinking speed yang tinggi sehingga tidak dihanutkan oleh arusdan dapat pula mencegah ikan melarikan diri. Untuk itu pada purse seine kita perlukan twine yang halus dan berat, dengan permukaan yang licin (lunak).
Mesh size merupakan factor penting yang harus diperhatikan pada jarring purse seine, karena berhubungan langsung dengan ukuran ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan banyaknya ikan yang tertangkap. Pemilihan mesh size yang terllampau kecil menyebabkan sinking speed akan menurun, tetapi mesh size yang terlampau besar akan mengakibatkan tangkapan banyak yang tangkapan yang lolos atau terjerat. Disamping itu ikan yang sudah terjerat sangat sulit untuk dikeluarkan dan memakan waktu untuk mengeluarkannya sehingga dapat merugikan.
Menurut Fridman (1973), bahwa disamping mesh size, hal lain yang juga penting diperhatikan adalah ukuran benang (twinw size). Seluruh bagian dari purse seine kecuali pada bagian bunt (kantong) dibuat dari netting dengan ukuran twine yang sama besar. Badan utama merupakan bagian terbesar dari jaring (70 – 80 %), harus dibuat dari netting dengan twine yang tipis sehingga bisa lebih ringan. Sedangkan pada bagian bunt dibuat dengan twine yang tebal dan lebih besar dari pada twine yang terdapat pada lajur netting yang berdekatan dengan bunt.
Purse seine dapat dibedakan atas berbagai segi. Ada yang membedakan berdasarkan ada tidaknya kantong, sehingga dikenal ada purse seine berkantong dan purse seine tanpa kantong. Akan tetapi, ada juga yang membedakan berdasarkan jumlah kapal yang digunakan sehingga dikenal one boat purse seine dan two boat purse seine. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan sehingga kita kenal tuna purse seine, sardine purse seine, dan sebagainya. Berdasarkan tipenya kita kenal ada tipe Amerika dan tipe Jepang.
Pada umumnya dalam pengoperasian purse seine dikenal dua cara yaitu (1) purse seine dioperasikan dengan mengejar gerombolan ikan, hal ini biasanya dilakukan pada siang hari; (2) menggunakan alat Bantu penangkapan seperti rumpon, cahaya dan fish finder. Hal ini dapat dilakukan pada siang hari dan malam hari.
By : PONDOK MUNZIR
Rabu, 16 Desember 2015
Daerah Penangkapan Ikan
Daerah
Penangkapan Ikan
Sumber : https://duniaperikanan.wordpress.com/2009/10/15/daerah-penangkapan-ikan-2/
Daerah Penangkapan Ikan
1. Karakteristik Daerah
Penangkapan Ikan
Kondisi-kondisi yang perlu
dijadikan acuan dalam menentukan daerah penangkapan ikan adalah sebagai berikut
:
a)Daerah tersebut harus memiliki
kondisi dimana ikan dengan mudahnya datang bersama-sama dalam kelompoknya, dan
tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan tersebut. Kepadatan dari
distribusi ikan tersebut berubah menurut musim, khususnya pada ikan pelagis.
Daerah yang sesuai untuk habitat ikan, oleh karena itu, secara alamiah
diketahui sebagai daerah penangkapan ikan. Kondisi yang diperlukan sebagai
daerah penangkapan ikan harus dimungkinkan dengan lingkungan yang sesuai untuk
kehidupan dan habitat ikan, dan juga melimpahnya makanan untuk ikan. Tetapi
ikan dapat dengan bebas memilih tempat tinggal dengan kehendak mereka sendiri
menurut keadaan dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu,
jika mereka tinggal untuk waktu yang agak lebih panjang pada suatu tempat
tertentu, tempat tersebut akan menjadi daerah penangkapan ikan.
b)Daerah tersebut harus merupakan
tempat dimana mudah menggunakan peralatan penangkapan ikan bagi nelayan.
Umumnya perairan pantai yang bisa
menjadi daerah penagkapan ikan memiliki kaitan dengan kelimpahan makanan untuk
ikan. Tetapi terkadang pada perairan tersebut susah untuk dilakukan
pengoperasian alat tangkap, khususnya peralatan jaring karena keberadaan
kerumunan bebatuan dan karang koral walaupun itu sangat berpotensi menjadi
pelabuhan. Terkadang tempat tersebut memiliki arus yang menghanyutkan dan
perbedaan pasang surut yang besar. Pada tempat tersebut para nelayan sedemikian
perlu memperhatikan untuk menghiraukan mengoperasikan alat tangkap. Terkadang
mereka menggunakan trap nets, gill nets dan peralatan memancing ikan sebagai
ganti peralatan jaring seperti jaring trawl dan purse seine.
Sebaliknya, daerah penangkapan
lepas pantai tidak mempunyai kondisi seperti itu, tapi keadaan menyedihkan
datang dari cuaca yang buruk dan ombak yang tinggi. Para nelayan juga harus
mengatasi kondisi buruk ini dengan efektif menggunakan peralatan menangkap
ikan.
c) Daerah tersebut harus
bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis.
Ini sangat alamiah di mana
manajemen akan berdiri atau jatuh pada keseimbangan antara jumlah investasi dan
pemasukan. Anggaran dasar yang mencakup pada investasi sebagian besar dibagi
menjadi dua komponen, yakni modal tetap seperti peralatan penangkapan ikan dan
kapal perikanan, dan modal tidak tetap seperti gaji pegawai, konsumsi bahan
bakar dan biaya perbekalan. Para manajer perikanan harus membuat keuntungan
pada setiap operasi. Jika daerah penagkapan tersebut terlalu jauh dari
pelabuhan, itu akan memerlukan bahan bakar yang banyak. Jika usaha perikanan tersebut
benar-benar memiliki harapan yang besar, usaha yang dijalankan mungkin boleh
pergi ke tempat yang lebih jauh. Nelayan yang dalam kasus demikian dapat
memperoleh keuntungan dengan manajemen usaha perikanan. Jika kita dapat membuat
alat untuk meningkatkan efisiensi usaha perikanan seperti menggunakan mesin
perikanan yang lebih efisien, kemudian kita dapat juga memperbesar kapasitas
kita untuk menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh.
Daerah penangkapan ikan juga
dikontrol oleh permintaan pasar untuk ikan. Permintaan untuk produk ikan akan
dipengaruhi oleh kapasitas ketersediaan dari tempat tersebut, sebagai contoh,
adalah baru saja dikembangkan sebagai daerah penangkapan ikan. Jadi, daerah
penangkapan ikan selalu memiliki nilai yang relatif, berhubungan dengan
keseimbangan ekonomi, daerah penangkapan ikan lainnya, efisiensi usaha
perikanan dan permintaan ikan di dalam pasar. Begitulah, harus selalu berusaha
menemukan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan efektif dari metode
penangkapan ikan yang dimodernisasi.
2. Pemilihan Daerah Penangkapan
Ikan
Hal pertama yang harus kita
ketahui tentang keberadaan daerah penangkapan ikan menurut spesis ikan dan dari
musim. Pemilihan daerah penangkapan ikan akan dibahas dengan sesuai pemahaman
dari efisiensi, keuntungan dan ekonomi usaha perikanan. Metode pemilihan akan
dibahas sebagai berikut :
a) Asumsi awal tentang area
lingkungan yang cukup sesuai dengan tingkah laku ikan yang diarahkan dengan
menggunakan data riset oseanografi dan meteorologi.
b) Asumsi awal tentang musim dan
daerah penangkapan ikan, dari pengalaman menangkap ikan yang lampau yang
dikumpulkan ke dalam arsip kegiatan penangkapan ikan masa lampau.
c) Pemilihan daerah penangkapan
ikan yang bernilai ekonomis dengan mempertimbangkan dengan seksama jarak dari
pangkalan, kepadatan gerombolan ikan, kondisi meteorologi, dan lain sebagainya.
3. Karakter Permukaan Dasar
Secara umum keadaan permukaan
dasar mempunyai karakter yang ditunjukkan pada tabel kelautan. Sedimen lautan
sendiri terdiri dari sedimen terrigeneous, hemi-pelagis dan sedimen pelagis.
Tingkah Laku Ikan Hubungannya
dengan Daerah Penangkapan Ikan dan Jenis-jenis dari Daerah Penangkapan Ikan
1. Tingkah Laku Ikan dan Kondisi
dari Daerah penangkapan Ikan
Tidak dapat dikatakan bahwa ikan
hidup dimana saja di seluruh lautan. Menurut spesiesnya, ikan didistribusikan
secara horizontal atau vertikal di pada daerah batasan tertentu. Daerah
penangkapan ikan juga berbeda menurut garis lintang dan garis bujur seperti
kedalaman air di mana ikan berada.
Alasan utama kenapa spesies ikan
tertentu berkumpul di daerah tertentu diperkirakan jadi seperti berikut :
a) Ikan memilih kehidupan
lingkungan yang sesuai untuk spesiesnya.
b) Mereka memburu sumber makanan
yang berlimpah.
c) Mereka mencari tempat yang
sesuai untuk memijah dan berkembang biak.
Dituntun oleh instingnya dan
terbawa oleh arus musiman, ikan bergerak sesuai temperatur perairan, mencari
makanan dan tempat memijah di perairan tersebut. Pergerakan ini disebut
migrasi, dan pengalaman migrasi mereka selalu lebih baik sepanjang tahun.
Migrasi yang untuk mencari makanan disebut food-seeking ground (pencarian
daerah makanan). Kemudian migrasi untuk memijah disebut spawning migration dan
area perairan dimana mereka memijah disebut spawning ground (daerah bertelur/memijah).
Selama mereka bermigrasi dan dalam pencarian makanan dan daerah memijah, ikan
tersebut bergerombol bersama dalam kelompok yang padat. Tempat tersebut yang
penuh sesak dengan ikan secara alamiah menjadi daerah penangkapan ikan yang
bagus untuk nelayan. Peristiwa dari gerombolan ikan haring di awal musim semi
adalah satu contoh yang bagus dari migrasi ikan untuk mencari tempat memijah.
Di samping jenis ikan tersebut
diatas di mana terjadi migrasi yang besar, ada spesies ikan lainnya di mana
telah tertentu pada suatu daerah terbatas di lautan. Radius pergerakan mereka
terbatas. Jenis utama dari pergerakan mereka adalah secara vertikal, yang
dimana, mereka berpindah antara dasar dan permukaan air pada siang hari atau
malam hari. Ada juga beberapa spesies yang berpindah antara perairan pantai
yang dangkal dan perairan lepas pantai yang dalam sepanjang musim. Jenis
pergerakan ini disebut secara horizontal atau perpindahan kedalaman. Ikan yan
tinggal menetap terus-menerus juga menjadikan daerah penangkapan ikan yang
bagus untuk nelayan.
Variasi kondisi dari laut memberi
dampak perubahan pada daerah penangkapan ikan. Lautan dipengaruhi oleh arus
hangat dan arus dingin. Ikan memilih masing-masing perairan tempat tinggal
mereka menurut kisaran temperatur optimum mereka. Pada continental shelf yang
mana adalah daerah subur yang terdapat aliran nutrisi garam dari daratan pantai
adalah suatu daerah penangkapan ikan yang baik untuk ikan yang menetap
terus-menerus. Jumlah plankton yang besar berkembang pada pusaran yang
terbentuk oleh arus atau bentuk konvergen dari arus dingin dan arus hangat.
Organisme ini menarik bagi makhluk hidup secara umum, khususnya ikan yang
berkumpul bersama pada titik daerah pencarian makanan mereka. Tempat seperti
itu juga disebut daerah penangkapan ikan yang bagus. Area selanjutnya di mana
dasar lautan naik menjorok dan membentuk apa yang disebut sea bank (gugus laut)
juga sesuai untuk daerah penangkapan ikan.
Sabtu, 12 Desember 2015
PEMBUATAN GARAM DENGAN METODE TUF GEOMEMBRAN
PEMBUATAN GARAM DENGAN METODE
TUF GEOMEMBRAN
Pada proses pembuatan garam menggunakan
TUF Geomembran membutuhkan modifikasi lahan tambak dengan penambahan ulir pada
tahap peminihan dengan tujuan mempercepat proses penuaan air laut
sehingga saat tiba dipetak penampungan sudah mencapai (20 Be°) dan dengan
penambahan geomembran untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas garam. Pada
teknik TUF ini ulir dibuat berbentuk petakan kolam tanah yang berkelok-kelok
dengan dasar yang tidak rata untuk membuat arus air secara alami sehingga
terjadi proses penguapan yang dibantu cahaya matahari dan angin. Dengan adanya
ullir filter ini diharapkan dapat mempercepat waktu penuaan air laut sehingga
proses produksi lebih singkat dari 40 hari persiapan lahan sampai produksi
menjadi 25 hari. Ketinggian air pada ulir berkisar 10 – 20 cm, perbandingan
luas lahan peminihan dengan lahan meja garam (65 : 35) meja garam yang memakai
geomembran dapat menghindari bocor mudah dirawat dan dapat segera digunakan
pada musim garam tiba.
Secara garis besar lahan dan peralatan
pada system TUF dan Geomembran terdiri dari, Saluran primer, kolam penampungan
air muda (Buffer), kolam penguapan, kolam ulir terdiri dari empat kolam, kolam
penampungan air tua (Bunker), kolam penggorengan, meja garam, kincir, mesin
pompa, geomembran (Plastik terpal, HDPE, LDPE), dan filter yang terdiri dari
paralon, ijuk, zeolit, arang batok serta waring.
Skema lahan TUF Geomembran
Keterangan :
Saluran Primer (in let)
Tempat penampungan pertama (Buffer)
ukuran 20 x 25 M2
Kolam penguapan ukuran 20 x 25 M2
Kolam penguapan dengan ulir pertama
ukuran 20 x 10 M2
Kolam ulir kedua ukuran 20 x 5 M2
Kolam ulir ketiga ukuran 10 x 2 M2
Kolam ulir keempat ukuran 20 x 2 M2
Kolam penampungan air tua (Bunker)
ukuran 20 x 20 M2
Kolam penggorengan ukuran 30 x 20 M2
Meja garam
PROSES PRODUKSI GARAM
Persiapan Lahan Produksi
Hal – hal yang perlu diperhatikan pada
persiapan lahan :
Penyiapan saluran pengaliran terdiri
dari saluran pemasukan, saluran air muda, saluran air tua, saluran pemasukan
dan pembuangan untuk mengalirkan air laut ke lahan pembuatan garam
Penyiapan galengan yang berfungsi
melindungi areal pergaraman seperti galengan dikembalikan semula agar memiliki
kekuatan maksimum, galengan meliputi :
Galengan sekitar tepi laut
Galengan sekitar saluran pembuangan dan
saluran pengangkutan dengan melakukan pengambilan tanah dari dasar saluran
Galengan peminihan termasuk galengan penghalang
dengan mengambil jarak 2 meter dari kaki galengan, galengan memiliki ukuran
lebar 50 cm kemiringan (1 : 1) tinggi minimal 25 cm lebih tinggi dari tebal air
yang ditentukan didalam peminihan.
Penyiapan lahan peminihan dasar tambak
dan meja bertujuan untuk mengembalikan bentuk profil dasar tambak tersebut
kebentuk semula, peminihan dan meja garam harus dibersihkan dari berbagai
kotoran / sampah dan dipadatkan
Penyiapan lahan pembuatan ulir yang
meliputi empat bagian ulir dan pada setiap saluran masuknya diberi filter
Penyiapan lahan meja garam meliputi
perbaikan tanggul dan pengerasan dasar meja garam melalui proses pengeringan
meja garam dan pengerolan lahan (pemadatan) minimal dilakukan dua kali sampai
dasar lahan benar – benar keras baru kita melakukan pemasangan geomembran.
Penyiapan bahan untuk pembuatan
filterisasi dari paralon dengan komposisi, ijuk, zeolit dan arang batok lalu
ditutup dengan waring
Sistem TUF dan Geomembran
Berdasarkan skema gambar diatas proses
pembuatan garam dengan metode TUF dan Geomembran adalah sebagai berikut :
Pertama kali air masuk dari saluran
primer lalu menggunakan kincir masuk ke penampungan pertama (Buffer) 2 –
3 Be° dengan kedalaman air 50 cm
Lalu dari buffer yang salurannya sudah
dipasang Filter dialirkan ke meja penguapan 3 – 4 Be° dengan ketinggian air 10
– 15 cm
Dari meja penguapan lalu dialirkan ke
meja ulir pertama dengan 4 – 6 Be°
Lalu setelah itu meja ulir pertama yang
sudah dipasang filter dialirkan ke meja ulir kedua dengan 8 – 10 Be°, dari ulir
kedua masuk ke ulir ketiga yang sudah dipasang filter dengan 12 – 15 Be°
Selanjutnya alirkan air ke Bunker
(Tempat penyimpanan air tua) yang sudah dipasang filter biarkan selama 2 – 3
hari, apabila belum mencapai 20 – 25 Be° air tua dari bunker kita ulir kembali
ke ulir pertama atau mempergunakan meja kristal sebagai ulir lanjutan sebelum
menjadi air tua 20 – 25 Be° (*ketinggian air dalam Bunker 50 cm)
Setelah mencapai 20 – 25 Be° lalu suplai
air tua ke meja – meja Kristal melalui meja penggorengan
Lakukan pengerasan pada meja
penggorengan minimal dua kali pemadatan (dengan guluk/glebek)
Alirkan kepada meja kristal yang
salurannya sudah dipasang filter dan geomembran lalu diamkan selama 10 hari
dengan ketinggian air 5 – 10 cm
Setelah 10 hari kita lakukan pemanenan
PROSES PEMANENAN GARAM DENGAN TUF
GEOMEMBRAN
1.
Langkah
pertama sebelum pengerikan yaitu mencincang atau meremukan garam dalam
meja kristal supaya pengerikan lebih mudah
2.
Kerikan
pertama pada bagian yang masih ada kandungan air nya agar garam bisa langsung
bersih
3.
Pada
meja garam yang tidak ada airnya jangan dikerik karena bila dipaksa dasar lahan
bisa rusak
Proses Pemanenan Garam Pada Geomembran
Hasil Garam Tradisional dan Garam TUF
Geomembran
PROSES PENGERINGAN DAN PENIRISAN GARAM
Pengeringan garam dilakukan dengan
maksud agar bitten garam dapat hilang sehingga kualitas garam menjadi lebih
tinggi. Pengeringan dapat dilakukan dengan membuat gunung – gunungan garam dan
dibiarkan sampai beberapa hari baru kemudian disimoan dalam gudang penyimpanan.
Daftar Acuan :
DITJEN KP3K, 2013. Petunjuk Pelaksana
Peningkatan Produksi dan Mutu Garam dengan system biofilter. Kementerian
Kelautan dan Perikanan Jakarta.
Dir. PMPPU – DITJEN KP3K, 2014.
Bahan Tayang Presentasi Kebijakan PNPM Mandiri KP (PUGAR Menuju Swasembada
Garam). Kementrian Kelautan Perikanan (KKP).
Supriyatna, Y. 2012. Modul Pelatihan
Pembuatan Garam Pada Revitalisasi Garam Krosok. DISPERINDAG Kabupaten
Indramayu.
(http://www.oocities.org/trisaktigeology84/Garam.pdf)
Langganan:
Postingan (Atom)