Komoditas rumput laut merupakan
komoditas yang mempunyai nilai startegis ekonomi yang besar baik sebagai
penggerak ekonomi masyarakat maupun sebagai penopang perekonomian
nasional. Indonesia sebagai bagian dari Coral Three Angel (segitiga
karang dunia) disuguhi begitu besar potensi dan ragam jenis sumberdaya rumput
laut. Hasil identifikasi menyebutkan bahwa perairan Indonesia mmempunyai lebih
dari 550 jenis rumput laut potensial, hanya saja dalam hal pemanfaatan sampai
saat ini tidak lebih dari 5 jenis rumput laut bernilai potensial tinggi yang
baru mampu dimanfaatkan.
Mewaspadai tantangan pada zona
hulu
Merujuk pada data statistik, produksi
rumput laut selalu mengalami tren positif, dimana produksi rumput laut
(untuk Gracilaria dan E. Cottoni) mengalami
kenaikan dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tahun 2010 s/d 2013 misalnya
produksi rumput laut nasional untuk kedua jenis tersebut mengalami kenaikan
rata-rata per tahun sebesar 27,88%. Namun demikian, kinerja peningkatan
produksi tersebut tidak bisa lantas menjadikan semuanya tidak akan mengalami
tantangan ke depan. Beragam fenomena permasalahan yang bisa muncul harus sudah
menjadi perhatian serius sebagai upaya menjamin usaha budidaya terus
berkesinambungan.
Kita bisa lihat misalnya, peningkatan
produksi rumput laut saat ini harus dihadapkan pada sebuah tantangan salah
satunya adalah fenomena penurunan daya dukung lingkungan perairan dan perubahan
iklim global yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang
dibudidayakan. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pada beberapa lokasi misalnnya
telah terjadi pergeseran pola musim tanam yang lebih pendek dari sebelumnya.
Berbagai konflik pemanfaatan ruang juga disinyalir menyebabkan usaha rumput
laut mulai tereduksi oleh sektor lain semisal parawisata. Kasus ini sudah mulai
terjadi di beberapa daerah. Di Karimunjawa misalnya terjadi penurunan aktivitas
usaha budidaya rumput laut secara signifikan seiring perkembangan sektor
parawisata; di Kutai Kartanegara aktivitas usaha budidaya rumput laut harus
berbenturan dengan jalur lintasan kapal pengangkut batu bara; sedangkan di
Lombok Barat bagian selatan geliat usaha budidaya rumput laut megalami
penurunan akibat perubahan lingkungan yang fluktuatif dan degradasi kualitas
bibit. Masih banyak lagi tantangan permasalahan termasuk aspek non
teknis yang berkaitan dengan masalah di hilir yang sudah barang tentu berdampak
langsung terhadap geliat usaha budidaya di hulu, misalnya posisi tawar dan
nilai ttambah yang masih minim dirasakan oleh para pembudidaya.
Ada beberapa hal penting yang harus
segera dilakukan sebagai upaya meminimalisir dan mengantisipasi tantangan di
zona hulu, yaitu :
Pertama, terkait fenomena produksi yang fluktuatif di beberapa daerah, maka perlu
ada upaya : (1) segera melakukan identifikasi untuk menentukan peta kesesuaian
lahan budidaya untuk mengantisipasi penurunan kaualitas lingkungan dan
perubahan iklim; (2) mempercepat perekayasaan terkait inovasi bioteknologi
rumput laut untuk menghasilkan bibit rumput laut unggul dan adaptif dan
melakukan percepatan distribusi bibit hasil kultur jaringan ke sentral-sentral
produksi dan kawasan potensial.
Kedua,
kaitannya dengan potensi konflik penataan ruang, maka perlu segera untuk
mendorong Pemda (sesuai kewennangannya) untuk menyusun dan menetapkan Rencana
Zonasi Pemanfaatan Willayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil khususnya zonasi
kawasan budidaya laut, dimana di dalamnya mencakup zonasi untuk budidaya rumput
laut sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di kawasan sentral produksi dan
kawasan potensial baru.
Ketiga, dalam
upaya meningkatkan nilai tambah dan posisi tawar pembudidaya, maka perlu
didorong upaya : (1) memfasilitasi terbangunnya sebuah kemitraan yang efektif
dengan industri di setral-sentral produksi, sebagai upaya dalam mengurangi mata
rantai distribusi pasar dan mempermudah kontrol terhadap stabilitas harga dan
kualitas produk; (2) menyusun standar produk hasil panen budidaya, untuk
kemudian disosialisasikan secara massive dan ditetapkan sebagai aturan yang
wajib.
Hiilirisasi rumput laut
nasional belum optimal
Ada tantangan yang kerap kali
menjadi momok dalam mewujudkan kedaulatan industri rumput laut nasional yaitu
bahwasannya anugerah sumberdaya rumput laut yang Indonesia miliki pada
kenyataannya belum mampu dirasakan dan dimanfaatkan secara optimal, dimana
nilai tambah produk rumput laut belum sepenuhnya secara langsung dirasakan di
dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih sebatas menjadi
eksportir raw material, sementara end productlebih
banyak dihasilkan oleh negara-negara importir seperti China, sehingga mereka
lebih banyak merasakan nilai tambah. Ironisnya lagi setiap tahun
Indonesia harus mengimpor produk setengah jadi seperti Refiine
Carrageenan dan sudah barang tentu end product, inilah
yang menyebabkan Indonesia mempunyai posisi tawar rendah karena pada
kenyataannya harga komoditas rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh
negara-negara importir khususnya China.
Disatu sisi, upaya untuk memperkuat dan
mengembangkan industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal. Tingginya
nilai investasi dalam membangun sebuah industri nasional skala besar menjadi
salah satu penghambat pertumbuhan industri rumput laut nasional. Masalah lain
adalah belum ada jaminan ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kuantitas
maupun kualitas yang dirasakan Industri nasional saat ini. Ketimpangan terjadi
manakala di hulu terjadi peningkatan produksi sementara di hilir (industri)
kekurangan bahan baku. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Jika diidentifikasi selain permasalahan
di hulu, masalah utama yang mengganggu siklus bisnis rumput laut nasional
adalah terkait supply chain dan pola tata niaga rumput laut
yang tidak tertata dengan baik. Pada setiap sentral produksi misalnya terdapat
begitu banyak pelaku yang melakukan kompetisi dagang yang tidak sehat. Begitu
banyak peran tengkulak dan spekulan yang melakukan sistem hit and run.
Pada beberapa sentral produksi seperti di Lombok para eksportir cenderung
menempatkan pedagang pengumpul di setiap lokasi, diimana pengumpul tersebut
menjalin kontrak quota, yang terjadi manakala karena dibebani kewajiban
pemenuhan quota banyak diantara pengepul yang melakukan hit and run tanpa
mempertimbangkan standar kualitas dengan harga yang sama atau bahkan lebih
tinggi (diatas standar pasar yang berlaku). Kondisi ini memicu pembudidaya
untuk tidak lagi mempertimbagkan kualitas namun lebih mempertiimbangkan harga.
Masalah inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab industri nasional
kehilanngan kesempatan untuk mendapatkan produk yang sesuai standar kualitas,
disamping para pelaku industri nasional tidak cukup kuat untuk bersaing dengan
para eksportir raw material karena harga banyak dikendalikan
mereka.
Permasalahan lain adalah hampir disetiap
sentral produksi belum terbangun sebuah kelembagaan baik Pokdakan maupun
kelembagaan penunjang yang kuat dan mandiri. Yang terjadi adalah pembudidaya
berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak punya kekuatan posisi tawar. Belum
adanya kelembagaan yang kuat juga berpengaruh terhadap pola kemitraan usaha
yang rentan pecah kongsi. Padahal sebuah kemmitraan usaha menjadi bagian
penting dalam memutus/mengurangi mata rantai distribusi pasar/pola
tata niaga dengan begitu akan tercipta efesiensi dan nilai tambah.
Upaya menciptakan nilai tambah dengan
membangun unit-unit pengolahan produk setengah jadi seperti chips
yang mulai gencar dilakukan di sentral produksi pada kenyataannya tdak berjalan
secara optimal. Jika kita analisa, ada beberapa kekurangan yang mestinya
dijadikan pertimbangan utama, yaitu : (1) kapasitas sdm penggelola yang tidak
disiapkan dengan baik; (2) SOP teknologi yang tidak dikuasai oleh pengelola
sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; (3) jaminan pasar hasil produk
yang tidak terkoneksi secara pasti dengan industri nasional; dan (5) pola
kemitraan yang tidak dibangun secara kuat.
Ironisnya masalah rantai pasok dan
hilirisasi rumput laut sampai saat ini masih urung terselesaikan dengan baik,
mungkin secara tidak sadar kita masih menganggapnya sebagai micro
problem, padahal semuanya masalah bisnis rumput laut berawal dari sini. Ada
beberapa hal terkait upaya pengembangan hilirisasi rumput laut nasional yang
perlu segera ditindaklanjuti, yaitu :
Pertama, terkait jaminan kualitas produk raw material, maka harus ada
upaya : (a) membangun kelembagaan dan kemitraan usaha, sehingga industri dapat
secara langsung melakukan kontrol kualitas, disamping itu akan mempermudah
dalam melakukan pembinaan secara langsung; (b) mendorong pemda bekerjasama
dengan industri untuk membangun sisitem pergudangan dengan tata kelola yang
efektif. Penerapan resi gudang (gudang serah) menjadi salah satu upaya yang
dinilai efektif dalam memperbaiki rantai tata niaga rumput laut; (c)
optimalisasi unit pengolahan yang telah ada dengan meperbaiki tata kelola dan
membuka akses konektivitas produk yang dihasilkan dengan industri nasional.
Kedua,
kaitannya dengan masalah rantai pasok, maka perlu ada upaya ; (a) pemerintah
pusat menyusun pedoman teknis terkait model tata kelola usaha rumput laut yang
efektif dan berkelanjutan; (b) mendorong pemda untuk menyusun sebuah aturan
terkait tata kelola usaha rumput laut yang efektif. Aturan mengacu pada model
yang ada dalam pedoman teknis dan atau bisa mencontoh pada model yang telah
diterapkkan di daerah lain dan berjalan efektif; (c) Pemerintah bersama
Asosiasi segera melakukan pendataan (licensi) terhadap pengepul/middle
man di masing-masing sentral produksi sebagai upaya kontrol dan treacibility dalam
penataan rantai tata niaga rumput laut; (e) pemda perlu mengeluarkan regulasi
dalam upaya memperpendek rantai distribusi pasar dengan membangun kelembagaan
yang kuat untuk kemudian memfasilitasi terwujudnya pola kemitraan yangg kuat
dan berkesinambungan di setiap sentral produksi; dan (f) meng-counterperan
spekulan melalui kontrol dan pengaturan tata kelola usaha rumput
laut yang efektif
Ketiga, polemik
tentang ketimpangan terkait supply and demand, maka harus ada upaya
: (a) Pemerintah, Pemda dan Asosiasi secara bersama-sama melakukan pemetaan
terkait kapsitas produksi, kapasitas terpasang yang mampu diserap industri
nasional, kapsitas terpasang untuk ekspor raw material, dan
kapsitas terpasang untuk msing-masing segmen pasar berdasarkan tipe produk; (b)
Pemerintah melakukan pendataan terhadap pengumpul, para eksportir dan industri
nasional beserta kapasitas produksi; dan (c) bersama-sama secara tranasparan
menyusun peta realisasi dan kebutuhan rumput laut nasional
Keempat, kaitannya dengan pengembangan industri rumput laut nasional, maka perlu ada
upaya-upaya yaitu : (a) memperkuat industri nasional melalui fasilitasi akses
terhadap pembiayaan dan pemberian insentif serta penciptaan ikllim usaha dan
investasi yang kondusif; dan (b) memfasilitasi kemitraan usaha
langsung dengan industri nasional dan melakukan pengaturan pola tata niaga
sebagai upaya dalam menjamin ketersediaan bahan baku baik kualitas maupun
kuantitas.
Perlu action plan yang
konkrit dan implementatif
Pada era Pemerintahan yang lalu mantan
Wakil Presiden Boediono telah mengamanatkan untuk secara fokus menggarap bisnis
rumput laut sebagai salah satu potensi strategis ekonomi nasional. Hasilnnya
telah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) rumput laut nasional yang melibatkan
lintas sektoral terkait. Harus diakui kemudian kinerja Pokja inipun tidak
berjalan optimal sebagaimana yang diharapkan, ini bisa kita lihat dari tidak
adanya sinergi dalam implementasi program yang ada, kegiatan yang masih
bersifat parsial menjadi penyebab program tidak fokus pada upaya-upaya
penyelesiaian masalah secara komprehensif, namun yang terjadi justru adanya
tumpang tindih kewenangan. Begitupula peran Komisi Rumput Laut Indonesia masih
belum optimal, perannya yang masih terbatas pada level dalam memberikan masukan
dan rekomendasi dirasa masih kurang kuat karena masih bersifat normatif.
Seiring dengan misi besar kabinet
kinerja yaitu dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka
komoditas rumput laut menjadi sangat startegis sebagai bagian dalam
pengembangan ekonomi maritim. Oleh karena itu, masalah perumput-lautan nasional
harus mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Pembentukan semacam Satuan
Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan Bisnis Rumput Laut Nasional yang
langsung dibawah kendali Presiden, mungkin menjadi hal yang bisa dilakukan,
sebagai upaya dalam memperkuat dan mempercepat proses industrialisasi rumput
laut nasional. Keberadaan Kemenko Kemaritiman harus dijadikan wadah dalam
mengkonsolidasikan semua lintas sektoral terkait untuk fokus bersama-sama
secara sinergi dalam pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunan dan
implementasi road map dan action plan rumput
laut skala nasional yang mengakomodir kepentingan stakeholders pada
seluruh level secara konkrit (tidak normatif) menjadi hal mutlak yang harus
segera dilakukan.
Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/272/MEWUJUDKAN-KEDAULATAN-RUMPUT-LAUT-NASIONAL/?category_id=13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar