MEMBONGKAR AKAR KEMISKINAN NELAYAN
RESUME SEBUAH BUKU KARYA DR. PIGOSELPI
ANAS, M.SI
Pengantar
Secara sederhana nelayan dapat
diartikan sebagai kelompok masyarakat pesisir yang mata pencahariannya
sebagaian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil
laut lainnya. Mereka hidup dikawasan pesisir dan kehidupannya sangat dipengaruhi
kondisi alam, mulai dari angin, gelombang, arus laut, persediaan ikan yang
bersifat musiman, sehingga aktifitas ekonomi kelompok masyarakat yang kita
kenal sebagai nelayan tidak berlangsung sepanjang tahun. Kondisi nelayan sangat
dekat dengan kondisi minus, kemiskinan dan kekurangan. Banyak faktor yang
menyebabakan kemiskinan dan kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat
nelayan. Keterbatasan kualitas SDM, modal dan akses, gaya hidup yang dipandang
boros, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan permasalahan
penegakan hukum menjadi faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan.
Kondisi overfishing di wilayah pesisir telah menyebabkan
volume tangkapan ikan semkain berkurang, ukuran ikan yang tertangkap semakin
kecil dan fishing grounds semakin menjau dari
pantai sehingga diperlukan waktu semakin lama, biaya melaut semakin mahal dan
pendapatan nelayan cenderung menurun.
Selain laju penangkapan sumberdaya
ikan yang melebihi potensi produksi lestarinya, kemiskinan nelayan di Kabupaten
Cirebon (Lokasi Penelitian Buku ini) juga diperparah oleh semakin tingginya
tingkat pecemaran lingkungan laut dan perusakan ekosistem pesisir, khususnya
mangrove dan estuaria. Pada kondisi status pemanfaatan sudah mengalami tangkap
lebih (overfishing), maka penyebab utama yang dominan
membentuk kemiskinan nelayan adalah faktor alamiah.
Faktor-faktor kultural yang meliputi tingat
pendidikan, etos kerja, gaya hidup nelayan tidak mempengaruhi tingkat
kesejahteraan atau pendapatan nelayan di Kabupaten Cirebon. Pendapatan perbulan
nelayan tertinggi adalah pada nelayan dengan tingkat pendidikan SMP dan
pendapatan rata-rata terendah adalah pada tingkat diploma.
Faktor-faktor kultural yang berperan terhadap
kemiskinan nelayan adalah rendahnya atau bahkan tidak ada akses bagi nelayan
adalah mendapatkan pinjaman (kredit) dari perbankan dengan suku bunga yang
relative lunak. Ketersediaan sarana produksi perikanan tangkap dengan harga
murah masih sangat terbatas, infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum
dikawasan pelabuhan perikanan atau pemukiman nelayan juga masih buruk.
Dari hasil penelitian ini,
alternative kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang dapat disusun
adalah menurunkan laju penangkapan (upaya tangkap) untuk jenis alat tangkap dan
jenis ikan yang sudah overfishing di
Zona – I , Zona –II dan Zona –III sampai dibawah jumlah optimum pada tingkat
yang sesuai dengan potensi lestari sumber daya ikan. Pencemaran lingkungan laut
Cirebon yang berasal dari sumber-sumber pencemar di darat maupun di laut seperti
limbah rumah tangga/perkotaan, industry, dan pertanian maupun dari laut seperti
ceceran minyak dan limbah dari kapal ikan dan kapal niaga harus dikenalikan dan
diolah. Ekosistem mengrove yang rusak harus segera direhabilitasi dan jalur
hijau mangrove harus segera dibangun sesuai dengan tata ruang wilayah yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Data tentang hasil tangkapan dan upaya
tangkap harus disempurnakan agar lebih akurat dan absah, sehingga penentuan
nilai MSY dan status pemanfaatan sumberdaya ikan pun akan semakan akurat dan
absah pula.
System Perikanan
Menurut Undang-Undang No 45/2009 Tentang Perubahan
atas UU No.31 Tetang Perikanan, bahwa yang dimaksud dengan perikanan adalah
semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (Pasal 1 , Ayat
1).
Pada dasarnya usaha perikanan
tangkap dimanapun berada merupakan sebuah system, yang terdiri dari 3 sub
system, yaitu: (1). Sub-sistem alam (natural sub-system),
(2). Sub-sistem manusia (human sub-system)
dan (3). Sub system pengelolaan (management sub-system.
Ketiga sub-sistem itu juga merupakan sebuah system tersendiri yang memiliki
berbagai sub system (komponen) masing-masing.
Tujuan Pengelolaan Perikanan Tangkap
Ada dua tujuan pengelolaan perikanan
tangkap yang sering dibicarakan dan perlu diketahui, yaitu mencapai MSy (Maximum Sustainable Yield) dan MEY (Maximum Economic Yeld). Sedangkan tujuan lain yang
jarang dibicarakan adalah mengoptimumkan kondisi-kondisi social atau
meminimumkan konflik di dalam sector perikanan (Gullad, 1974 in Merta, 1989).
Sementara Charles (2001) berpendapat bahwa tujuan akhir dari pengelolaan
perikanana tangkap adalah untuk mewujudkan sosok perikanan tangkap yang
berkelanjutan (sustainable fisheries). Selanjutnya
Charles menjelaskan bahwa ada empat kelompok indikator yang menggambarkan
sebuah system perikanan tangkap yang berkelanjutan, yakni: Keberlanjutan
ekologis (ecological sustainability), yakni perairan terpelihara
dengan baik, agar sumberdaya ikan yang hidup didalamnya dapat tumbuh dan
berkembangbiak secara optimal, dan tingkat penangkapan sumberdaya ikan tidak
melampaui kemampuan pulih (renewable capacity)
nya, sehingga hasil tangkapan secara keseluruhan baik pada kabupaten/kota,
provinsi maupun nasional dapat secara langsung berkelanjutan.
Keberlangsungan social –ekonomi (socioeconomic sustainability), yaitu suatu kondisi
dimana system usaha perikanan tangkap mampu memelihara tau meningkatkan
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional; dan meningktkan
kesejahteraan pelaku usaha (nelayan dan mereka yang terlibat dalam kegiatan
industri hulu serta hilir perikanan tangkap) secara adil dan berkelanjutkan.
Keberlanjutan masyarakat (community sustainability) yakni terpelaiharanya atau
semakin membaiknya kaulitas kehidupan masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap
beserta segenap system nilai keutamaan individu (seperti budaya kerja keras,
kreatif, budaya menabung, jujur, dan disiplin) dan system nilai keutamaan
kelompoknya seperti semangat toleransi, saling menghormati, kerjasama dan
pengorbanan untuk kepentingan bersama.
Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu suatu kondisi
dimana semua pranata kelembagaan yang terkait dengan perikanan tangkap (seperti
pelabuhan perikanan, pemasok sarana produksi, pengolah dan pemasar hasil
perikanan serta lembaga keuangan) dapat berfungsi dengan baik dan benar serta
berkelanjutan.
Selain keberlanjutan (sustainability),
sosok perikanan tangkap yang berhasil adalah juga mampu meredam dan pulih
kembali dari segala tekanan, distorsi, gangguan, dan gejolak baik yang
disebabkan oleh aktivitas manusia maupun fenomena alam, seperti El-Nino, La
Nina dan perubahan iklim global (global climate change).
Untuk dapat mewujudkan perikanan tangkap yang berhasil, maka setiap kebijakan,
program, kegiatan dan teknik manajemen hendaknya disusun berdasarkan pada
karakteristik, struktur, dinamika dan interaksi dari berbagai sub-sistem
(komponene) yang membentuk perikanan tangkap.
Beberapa teknik pengelolaan perikanan tangkap yang
biasanya diterapkan adalah melalui penutupan musim penangkapan, penutupan
daerah pemijahan, pembatasan ikan yang ditangkap, pembatasan alat dengan cara
mengontrol selektivitas dan “Fishing power” nya, menentukan jumlah penangkapan
melalui pembatasan terhadap kapal dan jumlah penangkapan oleh masing-masing
kapal (Gullad, 1971 in Merta, 1989).
Mengentaskan kemiskinan nelayan
Berdasarkan tingkat pengusahaanya,
system perikanan tangkap dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu: (1)
Perikanan tangkap baru, dimana sumberdaya ikan yang ada dalam satu wilayah
perairan belum pernah diekploitasi sama sekali; dan (2) perikanan yang sudah
berkembang, yang sumberdaya ikannya telah dimanfaatan (harvested) (Charles, 2001). Perikanan tangkap di
wilayah laut Kabupaten Cirebon jelas termasuk kedalam katagori-2, sebuah
perikanan yang telah berkembang. Sementara itu, suatu model manajemen dari
sebuah sietem perikanan tangkap yang sudah berkembang pada intinya dimaksudkan
untuk memperbaiki atau mengganti manajemen yang ada (existing
management) agar tujuan dari perikanan dapat diwujudkan dengan
sukses. Pada umumnya system perikanan tangkap diberbagai wilayah atau Negara di
dunia memiliki tujuan lebih dari satu (multiple objectives), seperti untuk
memenuhi kebutuhan pangan bangsa, meningkatkan perolehan devisa Negara,
mensejahterakan nelayan, dan memelihara kelestarian sumberdaya ikan berserta
ekosistem laut.
Untuk konteks Indonesia, termasuk Kabupaten Cirebon,
dimana tingginya jumlah pengangguran dan rakyat miskin masih merupakan
permasalahn yang besar, maka sebaiknya manajemen perikanan tangkap memiliki
empat tujuan utama, yakni agar sub sektor perikanan tangkap mampu: (1) menyejahterakan
nelayan, (2) memproduksi ikan dan komoditas perikanan untuk memenuhi kebutuhan
nasional maupun ekspor secara optimal dan berkelanjutan, (3) Memberikan
kontribusi terhadap perekonomian daerah maupun nasional secara signifikan, dan
(4) menjaga kelestarian sumberdaya ikan berserta ekosistem laut yang menjadi
tempat hidupnya.
Dengan empat tujuan utama (Indikator
Kinerja) tersebut, maka diharapkan perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon dapat
berlangsung secara menguntungkan (efisien), optimal dan berkelanjutan.
Manajemen perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon seyogyanya mencakup enam
komponen (pilar) utama: (1) Pengendalian intensitas (laju) dan cara (teknologi)
penangkapan ikan, (2) pemeliharaan kualitas dan daya dukung lingkungan
ekosistem pesisir, (3) Aplikasi teknologi penangkapan ikan yang efisien dan
ramah lingkungan serta skala ekonomi (economic of scale) dalam setiap unit
usaha perikanan tangkap, (4) manajemen supply-chain system secara
terpadu, (5) Peningkatan kapasitas SDM nelayan, dan (6) Kebijakan
politik-ekonomi yang kondusif.
Manajemen perikanan konvensional hanya fokus pada
aspek stok sumberdaya ikan, lingkungan pesisir dan lautan dan penangkapan ikan.
Akan tetapi kurang atau tidak mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial-budaya,
politik dan kelembagaan yang mempengaruhi sistem perikanan tangkap itu sendiri.
Bahkan meskipun aspek pengelolaan lingkungan pesisir dan lautan sejak awal
1980-an sudah mulai dipertimbangkan dalam manjemen perikanan tangap, tetapi
pada kenyataanya kebanyakan pihak berwenang di Indonesia masih menempatkan
pengelolaan lingkungan pesisir dan lautan sebagai prioritas kedua atau kurang
penting.
Sebagai sumberdaya terbarukan,
sumberdaya ikan dapat tumbuh berkembang dan memperbaharui dirinya melalui
proses rekruitmen (penambahan jumlah individu terhadap populasi melalui
reproduksi), dan proses pertumbuhan berat maupun panjang setiap individu dalam
populasi. Dalam suatu populasi ikan yang ada dalam kondisi keseimbangan (aquilibrium), proses pertambahan dari pertumbuhan dan rekruitmen
secara rata-rata sama dengan proses pengurangan dan mortalitas yang disebabkan
oleh kegiatan penangkapan ikan dan kematian secara alamiah oleh pemengsa,
penyakit dan perubahan factor-faktor lingkungan secara drastis (Gulladn, 1986)
Selanjutnya untuk menilai apakah
kebijakan pengurangan upaya tangkap tersebut tepat (on the
rigt track), maka perlu pemantauan CPUE (Catch per Unit Effort) setiap bulan dalam waktu
sedikitnya lima tahun. Jika mendatar (constant) tidak naik
tidak turun, maka berarti kebijakan tersebut sudah tepat. Apabila
kecenderugannya menurun, maka perlu pengurangan upaya yang lebih besar.
Sebaiknya, bila kecenderungannya naik, maka penambahan upaya tangkap
diperbolehkan secara bertahap.
Selain CPUE, indicator lain yang perlu dipantau dan dapat
djadikan sebagai bahan evaluasi adalah ukuran rata-rata dari jenis-jensi ikan
yang tertangkap oleh setiap armada kapal. Apabila ukuran rata-rata ikan yang
tertangkap justru semakin kecil, maka berarti telah terjadi recriuitment overfishing. Implikasinya adalah perlu
pengurangan upaya tangkap yang lebih besar. Indicator lainnya adalah lokasi
penangkapan ikan dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan volume ikan
tertentu. Pemantauan dan evaluasi dari sebuah kebijakan semacam ini sesunggunya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap manajemen perikanan
tangkap.
Pemeliharaan kualitas dan daya
dukung lingkungan laut.
Untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan laut, maka
faktor-faktor yang menambah stok ikan dalam rumus dinamika populasi ikan
diatas, yakni rekruitmen, pertumbuhan individu ikan, migrasi ikan harus
diperbesar. Pada saat yang sama, faktor-faktor yang mengurangi mortalitas alami
dan emigrasi harus diminimalisir. Rekruitmen ikan baru melalui proses
reproduksi dan kelangsungan hidup (survival rate) ikan sangat dipengaruhi oleh
kualitas perairan dan keberadaan esosistem pesisir seperti mangrove, terumbu
karang, dan estuaria.
Penerapan Teknologi Penangkapan Ikan yang
efisien dan Ramah Lingkungan serta Skala Ekonomi setiap unit perikanan tangkap.
Agar efisien dan menguntungkan, setiap unit usaha
(bisnis), termasuk usaha perikanan tangkap memenuhi skala usha. Selain itu,
teknologi penangkapan ikan mencakup alat tangkap dan armada tangkap harus
efisien dan sekaligus ramah lingkungan. Karena hanya dengan alat tangkap yang
efisien, produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya per satuan) akan
tinggi. Namun produtivitas teknologi penangkapan ikan yang tinggi, kalau tidak
ramah lingkungan maka dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Peningkatan Kapsitas SDM dan Kelembagaan
Nelayan.
Keempat tujuan utama manajemen
perikanan tangkap akan berhasil, jika nelayan sebagai subjek (pelaku) perubahan
berkenen (willing) menerima dan mampu untuk melaksanakan segenap
pilar manajemen perikanan tangkap yang baik dan benar. Program peningkatan
kapasitas nelayan harus dilakukan secara terencana, sistematis dan
berkesinambungan. Program ini harus mampu memperbaiki pengetahuan, kesadaran
dan keterampilan nelayan dalam menerapkan praktek penangkapan ikan yang sesuai
dengan (Code of Conduct for Resposibel Fisheries), memelihara
daya dukung dan kualitas lingkungan ekosistem pesisir dan lautan, cara-cara
penanganan ikan hasil tangkapan yang terbaik (best handling Practices),
berusaha sesuai dengan skala ekonomi dan menerapkan supply chain management.
Kebijakan Politik dan Ekonomi yang
Kondusif
Keempat pilar manajemen perikanan
tangkap pada dasarnya hanya mampu menyesuikan hal-hal (variable) yang bersifat teknis-internal, yang merupakan
tanggung jawab pemerintah cq. Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota, nelayan dan stakeholders lain yang
terlibat dala sub-sektor perikanan tangkap. Padahal banyak variable eksternal
yang diluar kewenangan dan tanggung jawab KKP, Nelayan, Dinas KP dan
stakeholder terkait, yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan perikanan
tangkap yang dapat mensejahterkan nelayan dan berkonstribusi signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Variabel eksternal yang harus segera diperbaiki agar
kinerja perikanan tangkap membaik antara lain relokasi nelayan, alternative
mata pencaharaian untuk nelayan, pinjaman kredit dengan suku Bungan
ringan/rendah, penanman kembali hutan mangrove dan transplantasi terumbu karang
dan pengendalian pencemaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar