Ikan Cakalang
Taksonomi Ikan Cakalang
Sistematika cakalang
menurut Matsumoto, Skillman dan Dizon (1985) adalah:
Subfilum : Craniata
Superclass : Gnatnostomata
Series : Pisces
Class : Teleostomi
Subclass : Actinopterygii
Order : Perciformes
Suborder : Scombroidei
Family : Scombridae
Subfamily : Scombrinae
Tribe : Thunnini
Genus : Katsuwonus
Spesies : Katsuwonus pelamis
Gambar Bentuk
morfologi ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis ).
Matsumoto et al. (1984) mengemukakan bahwa cakalang memiliki tubuh yang padat,
penampang bulat, lateral line melengkung ke bawah tepat di bawah sirip punggung
kedua, sirip dada pendek dan berbentuk segitiga. Warna tubuh pada saat ikan
masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled dengan lustrous violet di
sepanjang permukaan punggung dan intensitasnya menyusut di sisi tubuh hingga
ketinggian pada pangkal sirip dada. Sebagian dari badannya termasuk bagian
abdomen, berwarna putih hingga kuning muda, garis-garis vetikal evanescent muda
tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat baru tertangkap. Jenis ikan cakalang
secara normal adalah heteroseksual yaitu dapat dibedakan atas penentuan jenis
kelamin jantan dan betina. Sesuai dengan pertumbuhan, maka Nakamura (1969)
membagi cakalang ke dalam enam tingkatan ekologi, yaitu:
1.
Tingkat larva dan post larva, yaitu
untuk ikan yang panjang kurang dari 15 mm
2.
Prajuvenil, yaitu ikan yang berukuran
antara tingkatan post larva dengan tingkatan dimana ikan mulai diusahakan
secara komersial
3.
Juvenil, yaitu ikan muda yang ada di
perairan neritik dengan ukuran 15 cm
4.
Adolescent, yaitu ikan muda yang
menyebar dari perairan neretik ke tengah lautan mencari makan
5.
Spawners, yaitu ikan yang sudah mencapai
kedewasaan kelamin (seksual)
6.
Spent fish, yaitu ikan yang sudah pernah
memijah
Ukuran ikan cakalang diberbagai perairan dunia pada saat pertama kali memijah/
matang gonad adalah berbeda. Dalam perkembangannya, cakalang akan mencapai
tingkat dewasa pada tahap ke empat. Pada tahap ini cakalang dapat mencapai
panjang 39,1 cm untuk jantan dan 40,7 untuk yang betina (Waldrom, 1962).
Matsumoto (1984 ) mengemukakan bahwa ikan cakalang mulai memijah ketika panjang
sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan 1.000.000 – 2.000.000
telur. Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan ekuator atau antara musim
semi sampai awal musim gugur untuk daerah subtropis. Masa pemijahan akan
menjadi semakin pendek dengan semakin jauh dari ekuator. FAO (1983)
mengemukakan bahwa cakalang umumnya berukuran 40-80 cm dengan ukuran maksimum
100 cm.
Berdasarkan pengamatan Muhammad (1970) diacu dalam Amiruddin (1993) di perairan
Indonesia terdapat hubungan yang nyata antara kelimpahan cakalang dengan ikan
pelagis kecil serta plankton. Dengan semakin banyaknya ikan kecil dan plankton,
maka cakalang akan berkumpul untuk mencari makan. Ikan cakalang mencari makan
berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Cakalang sangat rakus
pada pagi hari, kemudian menurun pada tengah hari dan meningkat pada waktu
senja (Ayodhyoa, 1981).
Tingkah Laku
Cakalang
Cakalang biasanya membentuk gerombolan (schooling) pada saat ikan tersebut
aktif mencari makanan. Bila ikan tersebut aktif mencari makan, maka gerombolan
tersebut bergerak dengan cepat sambil melocat-loncat di permukaan air
(Amiruddin, 1993). Penyebaran cakalang di kawasan barat samudera Pasifik
melebar dari lintang utara ke lintang selatan tetapi menyempit di kawasan timur
karena terbatasnya penyebaran air hangat yang cocok untuk pemijahan oleh arus
dingin yang mengalir menuju kawasan tropik di kedua belah bumi. Di Samudera
Hindia, penyebaran ikan cakalang melebar menuju selatan ke arah ujung selatan
benua Afrika, sekitar 36o LS. Ada tiga alasan utama yang menyebabkan beberapa
jenis ikan melakukan migrasi yaitu :
1.
Mencari perairan yang kaya akan makanan
2.
Mencari tempat untuk memijah; dan
3.
Terjadinya perubahan beberapa faktor
lingkungan perairan seperti suhu air, salinitas dan arus (Nikolsky,
1963).
Ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanik, peruaya jarak jauh. Cakalang
sangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau arus konvergensi
yang banyak terjadi pada daerah yang mempunyai banyak pulau. Selain itu,
cakalang juga menyenangi pertemuan antara arus panas dan arus dingin serta
daerah upwelling. Penyebaran cakalang secara vertikal terdapat mulai dari
permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari
akan menuju permukaan (migrasi diurnal). Penyebaran geografis cakalang terdapat
terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang.
Pada umumnya Scombridae kecil, termasuk ikan cakalang tidak memiliki gelembung
renang sehingga tidak bisa bergerak cepat secara vertikal dekat permukaan, akan
tetapi juga membuat ikan ini membutuhkan kecepatan yang tinggi untuk
mempertahankan keseimbangan hidrostatisnya. Ikan cakalang seringkali muncul di
permukaan perairan bersamaan dengan madidihang ukuran kecil, tetapi mudah
dibedakan dari jarak jauh karena perbedaan loncatannya. Ikan cakalang
mengadakan loncatan jauh lebih horizontal sedangkan ikan madidihang meloncat
lambat dan membentuk lengkungan.
Penyebaran
Ikan Cakalang
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi
lingkunngan. Fluktuasi keadaan linkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu tempat (Gunarso, 1985).
Faktor oseanografi yang secara langsung mempengaruhi keberadaan ikan cakalang
yaitu suhu, arus dan salinitas perairan.
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga
keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini karena sebagian
besar organisme bersifat poikilotermik. Tinggi rendahnya suhu permukaan laut
pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi. Perubahan intensitas
cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baik horizontal,
mingguan, bulanan maupun tahunan (Edmondri, 1999).
Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah dalam laju
fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat
metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap
daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut (Tenison
diacu dalam Edmondri, 1999). Pengaruh suhu terhadap tingkah laku ikan akan
terlihat jelas pada waktu ikan melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai
kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai kisaran
suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus
musiman yang tertentu pula (Gunarso, 1985).
Aktifitas metabolisme serta penyebaran ikan dipengaruhi oleh suhu perairan dan
ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya sebesar 0,03 oC
sekalipun. Suhu merupakan faktor penting untuk menentukan dan menilai suatu
daerah penangkapan ikan. Berdasarkan variasi suhu, tinggi rendahnya variasi
suhu merupakan faktor penting dalam penentuan migrasi suatu jenis ikan
(Gunarso, 1985).
Pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang, suhu permukaan yang disukai oleh
jenis ikan tersebut biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun untuk Indonesia
suhu optimum adalah 28-29 oC (Gunarso, 1985). Selanjutnya Hela and Laevastu
(1981) mengatakan bahwa penyebaran ikan cakalang di suatu perairan adalah pada
suhu 17-23 oC dan suhu optimum untuk penangkapan adalah 20-22 oC dengan lapisan
renang antara 0-40 m. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya
waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan tertentu (Tampubolon, 1990).
Komarova diacu dalam Gunarso 1985 mengatakan bahwa suhu yang terlalu tinggi,
tidak normal atau tidak stabil akan mengurangi kecepatan makan ikan. Ikan
cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian timur pada
suhu 27-30 oC ( Tampubolon, 1990).
Hela and Laevastu (1981) mengatakan bahwa pengaruh suhu permukaan laut terhadap
penyebaran cakalang untuk perairan tropis adalah kecil karena suhu relatif sama
(konstan) sepanjang tahunnya. Walaupun demikian suhu dapat menandakan adanya
current boundaries. Kemudian dijelaskan penyebaran tuna dan cakalang sering
mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Garis konvergensi di antara arus
dingin dan arus panas merupakan daerah yang banyak makanan dan diduga daerah
tersebut merupakan fishing ground yang baik untuk perikanan tuna dan cakalang.
Arus merupakan gerakan
mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan
dalam densitas air laut, gerakan bergelombang panjang dan arus yang disebabkan
oleh pasang surut. Angin yang berhebus di perairan Indonesia terutama adalah
angin musim yang dalam setahun terjadi dua kali perbalikan arah yang mantap,
masing-masing disebut angin barat dan angin timur (Nontji, 1993). Penyebaran
ikan cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Daerah pertemuan
antara arus panas dan arus dingin merupakan daerah yang banyak organisme dan
diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang baik bagi perikanan cakalang
(Hela and Laevastu, 1981).
Blackburn (1965)
berpendapat bahwa kuat lemahnya arus menentukan arah pergerakan tuna dan
cakalang. Pada kondisi arus kuat, tuna dan cakalang akan melawan arus dan pada
arus lemah akan mengikuti arus. Peranan arus terhadap tingkah laku ikan menurut
Hela and Laevastu (1981) adalah sebagai berikut :
1.
Arus mengangkat telur-telur ikan dan
anak-anak ikan dari spawning ground ke nursery ground dan selanjutnya dari
nursery ground ke feeding ground;
2.
Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi
oleh arus yaitu sebagai alat orientasi;
3.
Tingkah laku ikan diurnal juga
dipengaruhi oleh arus, khususnya oleh arus pasang surut;
4.
Arus, khususnya pada daerah-daerah batas
alih perairan berbeda mempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana pada daerah
tersebut terdapat makanan ikan; dan
5.
Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek
lingkungan dan secara tidak langsung menentukan spesies-spesies tertentu dan
bahkan membatasi distribusi spesies tersebut secara geografis.
Selanjutnya Gunarso
(1985) menambahkan bahwa ikan-ikan yang menginjak dewasa akan mengikuti arus
balik ke masing-masing daerah pemijahan, tempat mereka akan melakukan
pemijahan.
Nontji (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu perameter yang
berperan penting dalam sistem ekologi laut. Beberapa jenis organisme ada yang
bertahan dengan perubahan nilai salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula
organisme yang hidup pada kisaran nilai salinitas yang sempit (stenohaline).
Salinitas dapat
dipergunakan untuk menentukan karakteristik oseanografi, selanjutnya dapat
dipergunakan untuk memperkirakan daerah penyebaran populasi ikan cakalang di
suatu perairan. Ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara
33-35 o/oo (Gunarso, 1985). Cakalang banyak ditemukan pada perairan dengan
salinitas permukaan berkisar antara 32-35 o/oo dan jarang ditemui pada
perairan dengan salinitas rendah (Nursalam diacu dalam Suharto, 1992).
Sesuai dengan posisi geografis Indonesia yang terletak di antara Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia, maka ikan cakalang di perairan Indonesia diduga
berasal dari dua stok yang berbeda. Ikan cakalang yang tersebar di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) diduga sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik,
sedangkan ikan cakalang di Kawasan Barat Indonesia (KBI) berasal dari Samudera
Hindia. Populasi ikan cakalang yang dijumpai di perairan KTI sebagian besar
berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan tersebut dengan mengikuti
arus. Namun demikian, sebagian ikan cakalang kemungkinan adalah stok lokal
yaitu hasil pemijahan di perairan Indonesia.
Penyebaran ikan cakalang di perairan Samudera Hindia meliputi daerah tropis dan
subtropis. Penyebaran ikan cakalang ini terus berlangsung secara teratur di
Samudera Hindia dimulai dari pantai barat Australia, sebelah selatan Kepulauan
Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatera, Laut
Andaman, di luar pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah barat Samudera
Hindia, Teluk Aden, Samudera Hindia yang berbatasan dengan pantai Somalia,
pantai timur dan selatan Afrika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar