Teknologi
Inderaja untuk Penangkapan Ikan
Wilayah Republik Indonesia
sebagian besar berupa laut, oleh karena itu wilayah Indonesia sering disebut
sebagai benua maritim. Sebagai archipelagic state (negara kepulauan) dengan
luas laut 5.8 juta km2 Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam potensi
sumberdaya perikanan dan kelautan. Laut Indonesia terbagi dalam wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2 dan Laut Teritorial sebesar 3.1 juta
km2. wilayah perairan laut Indonesia memiliki kandungan sumberdaya alam
khususnya sumberdaya hayati (ikan) yang berlimpah dan beraneka ragam.
Pemanfaatan sumberdaya ikan
laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah perairan
masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya, sedangkan di
beberapa wilayah yang lain sudah mencapai kondisi padat tangkap atau
overfishing.
Karena negara Indonesia
dilalui oleh garis khatulistiwa, mempunyai karakteristik yang unik karena di
wilayah perairan tersebut sering terjadi interaksi antara masa air yang data
dari samudra hindia dan samudra pasifik. Pertemuan masa air dari kedua samudra
tersebut di daerah-daerah wilayah perairan laut Indonesia, dapat diperkirakan
daerah-daerah tersebut terdapat ikan banyak gerombolan yang beraneka ragam.
Disamping itu, wilayah laut nasional mempunyai daya dukung alami yang sangat
potensial (misalnya potensi wisata bahari, terumbu karang dan
sebagainya).
Potensi tersebut merupakan
sumber daya alam asli Indonesia yang belum secara optimal dikelola secara
serius dalam program pembangunan nasional. Oleh karena itu, diperlukan
pengeolaan untuk dimanfaatkan seluas-luasnya bagi peningkatan kesejahteraan dan
taraf hidup bangsa Indonesia.
Karena sifat diatas, maka
keberadaan daerah ikan di perairan Indonesia bersifat dinamis, selalu
berubah/berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah
ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseonografi perairan seperti temperatur
permukaan laut, salinitas, konsentrasi klorofil laut, cuaca dan sebagainya,
yang berpengaruh pada dinamika atau pergerakan air laut baik secara horizontal
maupun vertical.
Masalah utama yang dihadapi
dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan ikan adalah sangat terbatasnya data
dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah
potensi penangkapan ikan. Armada penangkap ikan berangkat dari pangkalan bukan
untuk menangkap tetapi untuk mencari lokasi penangkapan sehingga selalu berada
dalam ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan,
sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti. Disamping itu, sebagai
akibat dari ketidakpastian lokasi penangkapan mengakibatkan kapal penangkap
banyak menghabiskan waktu dan bahan bakar untuk mencari lokasi fishing ground,
dan ini berarti terjadi pemborosan bahan bakar.
Peran IPTEK sangat sangat
diperlukan disini, dimana tanpa adanya dukungan IPTEK yang handal akan sulit
bagi nelayan untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan yang selama ini
mengelilingi mereka. Salah satu teknologi yang dapat memberikan informasi
kepada nelayan lokal mengenai wilayah perairan yang surplus ikan adalah
teknologi penginderaan jauh atau remote sensing.
Penginderaan jauh mempunyai
potensi untuk aplikasi bagi perikanan tangkap. Beberapa parameter yang
diperlukan untuk analisis daerah potensial untuk penangkapan ikan dapat
diperoleh dari penginderaan jauh, diantaranya suhu permukaan laut dan
konsentrasi klorofil permukaan. Dari informasi sebaran suhu permukaan laut
dapat diidentifikasi daerah upwelling dan front termal yang merupakan daerah
potensi perikanan.
Konsentrasi klorofil
permukaan menunjukkan tingkat kesuburan perairan di mana daerah yang subur
merupakan daerah potensi perikanan. Analisis pola sebaran dan nilai suhu dan
konsentrasi klorofil permukaan menghasilkan informasi zona potensi penangkapan
ikan yang selanjutnya dapat diaplikasikan sebagai acuan bagi nelayan dalam
operasi penangkapan ikan. peristiwa naiknya air dari dasar laut ke permukaan
sebagai perbedaan gradien suhu yang yang dinamakan Upwelling. Maka daerah
Upwelling tersebut biasanya terdapat klorofil yang merupakan makanan ikan dan
diduga daerah tersebut terdapat banyak ikan yang disebut daerah fishing ground.
2.1 PENERAPAN TEKNOLOGI
INDERAJA UNTUK PENANGKAPAN IKAN
Inderaja dengan menggunakan
satelit merupakan sarana yang sangat bermanfaat dalam mengelola sumberdaya
perikanan secara bijaksana, termasuk kegunaanya untuk mendeteksi zona potensi
penangkapan ikan. Untuk perikanan, bukanlah ikan yang tampak langsung, tetapi
adalah fenomena alam yang memungkinkan adanya ikan di suatu tempat, karena pada
tempat itu banyak terdapat makanan ikan dan mempunyai kondisi lingkungan yang
sesuai dengan jenis ikan tertentu.
Terdapat sejenis plankton
yang mengandung klorofil (zat hijau daun). Plankton ini merupakan makanan
ikan-ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi makanan bagi ikan yang lebih
besar. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan
mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini,
pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor yang ada pada satelit diberi
filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi
sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang ada di laut. Tentu saja
sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut (in-site, pengukuran
di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat oleh sensor satelit
berasal dari klorofil. Setelah melakukan pengukuran di beberapa tempat dengan
kapal misalnya, maka kini dapat dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi
terhadap data / citra satelit yang mempunyai liputan yang sangat luas itu;
situasi klorofil pada lokasi yang luas dapat ditentukan dengan cepat.
Seterusnya para nelayan akan diberi tahu untuk menentukan daerah operasi
mereka.
Lokasi tempat berkumpulnya
ikan dapat ditentukan dengan kombinasi antara lokasi klorofil, suhu permukaan
laut, pola arus laut, cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap
suhu air. Terdapat beda suhu di seantero muka laut. Hal ini disebabkan oleh
naiknya lapisan air laut di sebelah bawah ke atas (upwelling) karena perbedaan
suhu. Kenaikan lapisan air ini juga membawa zat makanan bagi kehidupan di laut.
Jadi dengan mendeteksi upwelling akan dapat pula memberi petunjuk akan adanya ikan.
Di samping itu setiap jenis ikan memiliki zona suhu yang tertentu sebagai
habitatnya. Satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi masalah tersebut
di atas adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Dengan demikian, penggunaan
teknologi penginderaan jauh satelit (Inderaja) khususnya satelit NOAA-AVHRR
(National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High
Resolution Radiometer) dipadu dengan data oseanografi, data cuaca dan tingkah
laku ikan, didukung dengan metode pengolahan dan analisis yang teruji
akurasinya, merupakan satu alternatif yang sangat tepat dalam mempercepat
penyediaan informasi zona potensi ikan harian untuk keperluan inventarisasi dan
evaluasi potensi kelautan.
Data utama yang diperoleh
dari data NOAA-AVHRR adalah suhu permukaan laut yang selanjutnya disingkat
dengan SPL. Pengamatan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan data
NOAA-AVHRR, berkaitan dengan fenomena oseanografi khususnya monitoring fenomena
upwelling / thermal front harus dilakukan dengan menggunakan data NOAA-AVHRR
karena tidak memerlukan data dengan resolusi spasial yang tinggi mengingat
wilayah perairan laut yang sangat luas, tetapi memerlukan resolusi temporal
(repetitive time) yang cukup tinggi misalnya setiap 4 jam. Suhu permukaan laut
merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan bagi
keberadaan dan fenomena sumberdaya hayati laut dan dinamikanya. Pengamatan dan
monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan
penggunaan banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan,
bulanan, atau tahunan). Citra suhu permukaan laut (SPL) dari suatu perairan
yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu
perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan
thermal front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan
ikan.
Masalah yang umum dihadapi
adalah keberadaan daerah penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu berubah
/ berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat
yang lebih sesuai, sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi
oseanografi perairan. Dengan demikian daerah potensi penangkapan ikan sangat
dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan. Kegiatan penangkapan ikan akan
menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga
terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan.
Salah satu cara untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah
melalui studi daerah penangkapan ikan dan hubungannya dengan fenomena
oseanografi secara berkelanjutan (Priyanti, 1999).
Pengukuran kondisi atau
faktor oseanografi perairan dilakukan dengan cara :
(i) Suhu
Pengukuran suhu dilakukan
setiap jam di lokasi penangkapan ikan. Pengukuran suhu permukaan laut digunakan
untuk verifikasi perhitungan suhu dari satelit NOAA. Jadwal lintasan satelit
NOAA diperoleh dari prediksi orbit dari stasiun NOAA.
(ii) Salinitas
Salinitas diukur pada saat
penangkapan di lokasi ZPPI.
(iii) Arus permukaan
Arus permukaan diukur di
lokasi penangkapan ikan, baik arah maupun kecepatannya.
(iv) Kedalaman perairan,
kondisi laut, cuaca
Ketiga parameter tersebut
diukur di lokasi ZPPI pada saat penangkapan ikan dilakukan. Kedalaman perairan
diukur dengan menggunakan fish finder.
FISHFINDER
Fishfinder digunakan untuk
mendeteksi besarnya gerombolan ikan pada lokasi yang ditunjukkan pada peta zona
potensi ikan. Dengan peralatan canggih berupa fish finder dan perlengkapan
Global Positioning System (GPS) dapat memudahkan nelayan mengetahui posisi
ikan. Alat tersebut dimungkinkan dapat mengurangi beban nelayan akibat kenaikan
Bahan Bakar Minyak (BBM).
Fishfinder merupakan
teknologi suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat
akustik (acoustic instrument). Teknologi ini menggunakan suara atau bunyi untuk
melakukan pendeteksian.
Sebagaimana diketahui bahwa
kecepatan suara di air adalah 1.500 m/detik, sedangkan kecepatan suara di udara
hanya 340 m/detik, sehingga teknologi ini sangat efektif untuk deteksi di bawah
air.
Beberapa langkah dasar
pendeteksian bawah air adalah adanya transmitter yang menghasilkan listrik
dengan frekwensi tertentu. Kemudian disalurkan ke transducer yang akan mengubah
energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam berbentuk pulsa
suara dipancarkan.
Suara yang dipancarkan
tersebut akan mengenai obyek (target), kemudian suara itu akan dipantulkan
kembali oleh obyek (dalam bentuk echo) dan diterima kembali oleh alat
transducer. Echo tersebut diubah kembali menjadi energi listrik; lalu
diteruskan ke receiver dan oleh mekanisme yang cukup rumit hingga terjadi pemprosesan
dengan menggunakan echo signal processor dan echo integrator.
Prosesnya didukung oleh
peralatan lainnya; komputer; GPS (Global Positioning System), Colour Printer,
software program dan kompas. Hasil akhir berupa data siap diinterpretasikan
untuk bermacam-macam kegunaan yang diinginkan.
Bila dibandingkan dengan
metode lainnya dalam hal estimasi atau pendugaan, teknologi ini memiliki
kelebihan, antara lain: informasi pada areal yang dideteksi dapat diperoleh
secara cepat (real time). Dan secara langsung di wilayah deteksi (in situ).
Kelebihan lain adalah tidak perlu bergantung pada data statistik. Serta tidak
berbahaya atau merusak objek yang diteliti (friendly), karena pendeteksian
dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan suara (underwater sound).
Teknologi ini juga dapat
digunakan dalam mengukur dan menganalisa hampir semua yang terdapat di kolom
dan dasar air, aplikasi teknologi ini untuk berbagai keperluan antara lain
adalah; eksplorasi bahan tambang, minyak dan energi dasar laut (seismic survey),
deteksi lokasi bangkai kapal (shipwreck location), estimasi biota laut,
mengukur laju proses sedimentasi (sedimentation velocity), mengukur arus dalam
kolom perairan (internal wave), mengukur kecepatan arus (current speed),
mengukur kekeruhan perairan (turbidity) dan kontur dasar laut (bottom contour).
Saat ini, fishfinder
memiliki peran yang sangat besar dalam sektor kelautan dan perikanan, salah
satunya adalah dalam pendugaan sumberdaya ikan (fish stock assessment).
Teknologi dengan perangkat echosounder ini dapat memberikan informasi yang
detail mengenai kelimpahan ikan, kepadatan ikan sebaran ikan, posisi kedalaman
renang, ukuran dan panjang ikan, orientasi dan kecepatan renang ikan serta
variasi migrasi diurnal-noktural ikan. Saat ini instrumen akustik berkembang
semakin signifikan, dengan dikembangkannya varian yang lebih maju, yaitu
Multibeam dan Omnidirectional. Perangkat Echosounder memiliki berbagai macam
tipe, yaitu single beam, dual beam
Negara-negara yang maju pada
sektor kelautan-perikanan (Norwegia, Jepang, Amerika Serikat, China dan Peru)
menggunakan teknologi ini untuk melakukan eksplorasi sumberdaya dengan cepat,
sehingga dapat mengeksploitasi dengan optimal, efisien dan ekonomis karena
biaya eksplorasi yang murah dan waktu eksplorasi yang cukup singkat.
Tetapi untuk sektor
kelautan-perikanan Indonesia teknologi ini masih jarang digunakan, khususnya
oleh perusahaan-perusahaan perikanan. Sebaiknya perusahaan-perusahaan tersebut
memanfaatkan teknologi ini untuk kegiatan eksplorasi yang maksimal dan
eksploitasi sumberdaya yang optimal.
Sumber: Online Buku
Knowledge for a Better Life
Tidak ada komentar:
Posting Komentar