Rabu, 19 Juli 2017

PENETASAN TELUR DAN PENEBARAN LARVA PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU


Sama seperti penanganan telur ikan lainnya, penangan telur ikan kerapu juga sangat penting dilakukan sebelum penebaran telur. Telur yang didapat dari panti benih dimasukkan dalam wadah penetasan telur yang diaerasi.  Wadah penetasan telur dapat berupa akuarium atau fiber glass yang berbentuk persegi atau bundar.  Sebelum telur dimasukan ke dalam wadah penetasan sebaiknya dilakukan aklimasi suhu dan salinitas.  Aklimasi sangat penting untuk dilakukan karena telur ikan kerapu sangat sensitif terhadap suhu dan salinitas.  Oleh karena itu sebelum kantong plastik dibuka, kontong plastik yang berisi telur di wadah penetasan telur selama 15-30 menit.  Indikasi suhu air dalam kantong plastik dan suhu air dalam wadah penetasan adalah terjadi pengembunan dalam kantong plastik yang dengan mudah dapat diamati.  Selanjutnya kantong plastik dapat dibuka dan salinitasnya diukur dengan mengunakan refraktometer.
Telur dapat dimasukkan ke dalam wadah penetasan jika salinitas kedua air laut tersebut sama.  Dalam memasukkan telur ke wadah penetasan, harus dilakukan dengan hati-hati dan secara perlahan-lahan baik dengan menuangkan langsung atau dengan menggunakan gayung.  Hal ini dilakukan agar tidak terjadi benturan fisik yang menyebabkan telur menjadi rusak. Setelah itu aerasi dipasang, setelah teraduk sempurna telur dihitung dengan cara sampling. 
Untuk memisahkan telur yang baik dan buruk, telur didiamkan selama 5-10 menit tanpa aerasi.  Telur yang baik berwarna transparan dan akan mengapung di permukaan air, sedangkan telur yang buruk akan mengendap di dasar wadah.  Telur yang mengendap dibuang melalui penyiponan atau membuka kran yang ada di dasar wadah . Telur yang dibuang ditampung dalam ember yang selanjutnya dihitung jumlahnya dengan cara sampling. 
Pembuangan telur yang buruk dilakukan agar telur yang buruk tidak merusak media penetasan telur.  Selanjutnya telur diaerasi, agar telur teraduk secara sempurna.   Pada suhu 29-30oC telur umumnya akan menetas 16-19 jam setelah ovulasi.  Penghitungan jumlah larva dapat dilakukan dengan cara sampling larva dan perhitungannya sama seperti pada perhitungan telur. 
Setelah semua larva menetas maka aerasi dihentikan untuk memisahkan larva yang baik dan buruk.  Sama seperti telur, larva yang baik akan berenang di permukaan sedangkan larva yang buruk akan tetap di dasar wadah.  Larva yang buruk, telur yang tidak menetas dan cangkang telur yang ada di dasar disipon dan dibuang.  Selanjutnya larva yang menetas ditebar ke bak pemeliharaan larva.  Dalam menebar larva dilakukan dengan hati-hati dan perlahan-lahan dengan menggunakan gayung dengan tujuan agar larva tidak stres. Larva ditebar dengan kepadatan 15-20 ekor/l.

Perhitungan persentase telur yang baik dan daya tetas telur sangat penting untuk mengetahui kualitas telur yang didapat.  Pada umumnya jika persentasi jumlah telur yang buruk dan daya tetas larva lebih besar dari 40%  maka kualitas telur dapat dikatakan buruk ini akan berpengaruh terhadap kondisi larva.  Pemeliharaan larva sebaiknya tidak dilanjutkan jika kualitas telur kurang baik.  Hal ini dikarenakan akan timbul banyak permasalahan dalam pemeliharaan larva dan kelangsungan hidup larva akan rendah.

SUMBER:
Sumantadinata K., 2003.  Modul Pemeliharaan Larva sampai Benih Ikan Kerapu Bebek. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Randall, J.E. 1987.  A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes, Serranidae, Epinephelinae) of the Indo Pasific Region. In Polovina J.J and S. Ralston (Eds.): Tropical Snapper and Groupers, Biology and Fisheries Management.  Westview Press. Inc.  London. 
Subyakto, S. dan S. Cahyaningsih.  2003.  Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga.  PT Agromedia Pustaka, Depok.

Sunyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu, Kakap, Beronang. Penebar Swadaya, Jakarta.

Selasa, 04 Juli 2017

MEMANFAATKAN PETA PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

MEMANFAATKAN PETA PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

Saatnya Menjadi Nelayan Penangkap Ikan Tuna & Cakalang, Bukan “ Pencari” Tuna & Cakalang

Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) merupakan salah satu produk nyata Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk masyarakat nelayan di Indonesia.  PPDPI telah dibuat dan didistribusikan sejak tahun 2000, saat itu masih dilakukan langsung oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Dari awal diproduksi hingga saat ini, PPDPI terus mengalami perkembangan dan perbaikan.
PPDPI itu sendiri adalah salah satu produk peta tematik kelautan yang memanfaatkan penggabungan data-data parameter oseanografi (suhu permukaan laut, produktivitas primer, ketinggian permukaan laut, arus, salinitas) baik data dari satelit oseanografi maupun data-data pada stasiun pengamatan untuk menganalisa daerah potensi penangkapan ikan. Hal ini didukung oleh tersedianya fasilitas data-data satelit oseanografi yang bebas penggunaan dan bersifat near real time. Dan sebagai tambahan, data pengamatan lapangan dan prediksi seperti data-data meteorologi (kecepatan angin, arah angin, gelombang laut) oleh Instansi seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Pembuatan peta dapat dilakukan secara rutin karena akses data utama yang near real time salah satunya pada citra Satelit Terra dan Aqua (MODIS/ Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) oleh Instansi NASA melalui url berikut(http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/modis/). Pembuatan peta ini berdasarkan informasi yang didapat dari data oceancolor dari MODIS, data suhu permukaan laut dari sensor advance very high resolution radiometer (avhrr), suhu permukaan laut dari sensor amsr and tmi, ketinggian permukaan laut, klorofil-a, dan kecepatan ketinggian permukaan laut serta data arah dan kecepatan angin dan gelombang laut. Berdasarkan informasi-informasi dari data tersebut, dapat diinterpretasikan menjadi daerah penangkapan ikan dan daerah yang berpotensi menjadi daerah penangkapan ikan. Selanjutnya informasi daerah penangkapan ikan dan daerah yang berpotensi menjadi daerah penangkapan ikan tersebut dikemas menjadi suatu bentuk peta yang lengkap dengan atribut-atributnya, sehingga memudahkan penggunaannya (BROK-DKP, 2007).
Penggunaan parameter oseanografi untuk menduga keberadaan gerombolan ikan sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam penginderajaan jarak jauh (ideraja).  Beberapa Negara maju seperti Jepang dan Kanada telah lama menggunakannya.  Misalkan saja Jepang, pada dekade tahun 1990-an pemerintah Jepang melalui lembaga terkait telah mengekspose informasi sebaran suhu permukaan laut kepada khalayak ramai melalui surat kabar harian, lengkap dengan letak posisi lintang dan bujurnya. 
Informasi tersebut tentu saja sangat berharga bagi Nelayan di Jepang.  Dari data sebaran suhu permukaan laut, nelayan Jepang dapat menentukan posisi daerah penangkapan ikan.  Hal ini dikarenakan mereka  sudah terbiasa dan menghafal betul kisaran suhu optimum yang disukai Tuna dan Cakalang.  Kondisi ini sangat berbeda dengan Nelayan di Indonesia dimana untuk mengetahui keberadaan gerombolan Tuna dan Cakalang, terlebih dahulu harus mencarinya melalui tanda-tanda alam berupa adanya burung yang terbang menukik di permukaan laut, adanya batang kayu yang hanyut, adanya sekumpulan ikan lumba-lumba dan tanda-tanda alam lainnya.  Cara yang sudah agak lebih maju lagi yaitu dengan menggunakan rumpon laut dalam, namun tentu saja tidak selamanya suatu rumpon akan terus didatangi oleh gerombolan ikan karena keberadaan rumpon-rumpon tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan dimana rumpon itu berada.
Di Indonesia, teknologi inderaja untuk menentukan daerah penangkapan ikan  baru berkembang setelah Presiden Kyai Haji Abdurrahman Wahid membentuk Departemen Eksplorasi Laut.  Hadirnya departemen ini memberikan dampak yang luas dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang kemaritiman.  Pada masa Orde Baru, bidang perikanan laut merupakan bagian dari Departemen Pertanian sehingga kegiatan penelitian masih terbatas dan tentunya porsi anggaran yang dialokasikan relative kecil karena terbagi dengan bidang-bidang lainnya. Seiring  dengan perkembangan waktu dan tiada henti-hentinya melakukan perbaikan-perbaikan, institusi ini berhasil membuat Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang tadinya berlaku selama seminggu kini menjadi dua hari.  Suatu kemajuan yang cukup luar biasa dan patut diapresiasi walaupun prakiraan ini belum menyamai atau sejajar dengan kemajuan Negara Jepang yang sebelumnya telah berhasil melakukan pendugaan daerah penangkapan ikan yang berlaku secara harian.
Cara Mengakses Peta PDPI, Global Positioning System (GPS) dan Alat-Alat Tambahan

Didalam Peta PDPI terkandung informasi koordinat lintang bujur daerah yang diduga sebagai daerah penangkapan ikan dan daerah yang diduga berpotensi sebagai daerah penangkapan ikan. Informasi Peta PDPI dapat diperoleh/diakses secara gratis melalui internet dari website Kementerian Kelautan dan Perikanan www.kkp.go.id.  Setelah website-nya dibuka, para pengguna tinggal memilih (klik) konten Aplikasi Tematik KKP yang didalamnya terdapat beberapa aplikasi tematik termasuk  Peta PDPI.  Selanjutnya, para pengguna bisa langsung memilih  daerah penangkapan yang diinginkan.
Dewasa ini, kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi mempermudah masyarakat dalam berkomunikasi dan mengakses berbagai informasi. Demikian halnya dalam penggunaan internet, asalkan saja sudah memiliki jaringan telepon seluler, masyarakat di pedesaan pun dapat mengakses informasi melalui Hand Phone (HP) yang memiliki fasilitas internet.  Ini berarti semakin mudahnya informasi Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) itu dapat diakses oleh  Nelayan, di samping tidak harus mengeluarkan biaya yang mahal (murah) untuk mendapatkan informasi tersebut.  Jika di suatu daerah belum bisa mengakses internet, maka dapat meminta bantuan kepada teman, kerabat maupun keluarga yang berada di tempat lain untuk mencari informasi peta PDPI melalui internet.  Hanya dengan memberitahukan posisi lintang dan bujur kepada Nelayan, maka letak daerah penangkapan dapat diketahui.
Berbicara tentang posisi lintang dan bujur, tidak terlepas dari alat navigasi yang digunakan oleh Nelayan. Jika menggunakan Global Positioning System (GPS) maka titik lintang dan bujur daerah penangkapan ikan bisa diperoleh secara akurat. Berbeda dengan kompas manual, posisi lintang dan bujur cenderung mengalami selisih   + 2 mil laut dari titik yang sebenarnya (pengalaman penulis). 
 Pada penangkapan ikan yang berskala besar, biasanya digunakan juga alat bantu penangkapan ikan, seperti fish finder (teknologi akustik kelautan untuk mendeteksi besarnya gerombolan ikan pada lokasi yang ditunjukkan pada peta zona potensi ikan) dan fishery sonar (fungsi sama dengan fish finder tetapi kualitasnya lebih tinggi terutama luasan sudut deteksinya yang mencapai 180 derajat sedangkan fish finder hanya 7-15 derajat), nelayan dapat berputar pada radius tertentu di sekitar titik tersebut untuk memonitor persebaran ikan dan menangkap ikan. 

Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengajak para pelaku utama, terutama Nelayan tradisional yang ada di Maluku untuk mencoba memanfaatkan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (Peta PDPI) dalam melakukan kegiatan penangkapan Tuna dan Cakalang sehingga predikat Nelayan Penangkap Ikan benar-benar adanya, bukan sebagai Nelayan Pencari ikan.  Selain itu, tentu saja bukan hanya ingin menghilangkan predikat di atas, akan tetapi dengan mengetahui posisi daerah penangkapan ikan melalui Peta PDPI, Nelayan dapat menghemat waktu dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga akan mengurangi biaya operasional penangkapan ikan …