Sabtu, 20 Oktober 2018

Panduan Lengkap Membuat Pakan Lele Organik

Panduan Lengkap Membuat Pakan Lele Organik

Indoaqua.net - Siapa sih yang tidak tau ikan lele, hampir seluruh orang di Indonesia tau ikan lele. Ikan yang dikenal memiliki kumis ini adalah jenis ikan yang mudah dibudidayakan. Selain itu, ikan lele juga memiliki rasa daging yang gurih dan lezat serta memiliki kandungan protein yang tinggi. 

Namun, belakangan ini pembudidaya ikan lele banyak yang mengeluh akan tingginya harga pakan, sehingga keuntungan yang didapat semakin berkurang. Harga pakan yang tinggi merupakan permasalahan utama yang dihadapi pembudidaya ikan lele, selain masalah teknis budidaya.

Sudah banyak cara dilakukan pembudidaya ikan lele untuk mengatasi masalah pakan ini, mulai dari menggunakan pakan alternatif seperti keong mas, limbah peternakan unggas dan menggunakan ikan rucah.

Saat ini, selain pakan alternatif tersebut, terdapat cara lain untuk mengatasi permasalahan harga pakan lele yang mahal, yaitu dengan membuat PAKAN LELE ORGANIK. 
Sudah tidak sabar yah ingin tau !!!!!

Mari kita simak penjelasannya. 

Saat ini banyak pembudidaya ikan mencoba memanfaatkan kotoran sapi atau kambing untuk dijadikan pelet. Namun, kotoran sapi sebagai pakan organik dalam metode PAKAN LELE ORGANIK bukan berarti langsung diberikan pada ikan lele.

Kotoran tersebut akan diproses menjadi semacam pupuk organik yang akan merangsang tumbuhnya pakan alami yang berguna sebagai pakan sekaligus media berkembangnya mikroorganisme kompleks pada kolam. 

Beberapa hal yang harus diperhatikan dan diketahui untuk memanfaatkan kotoran ternak ini :

  1. Kotoran ternak yang digunakan diusahakan sudah padat dan tidak berbau
  2. Kotoran ternak yang digunakan berasal dari ternak yang diberi pakan hasil fermentasi. Maksud dari pakan hasil fermentasi adalah pakan jerami yang telah dikeringkan selama satu minggu atau dari kotoran kambing yang memakan pakan yang sudah difermentasi juga. 
"Bakteri yang ada pada kotoran sapi sudah tidak berbahaya, karena sudah melalui proses fermentasi"
Kotoran ternak yang kelihatannya menjijikan ternyata bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan. Selain kotoran ternak, ada beberapa bahan lain yang diperlukan untuk membuat PAKAN LELE ORGANIK. Berikut ini beberapa jenis bahan baku yang bisa digunakan untuk membuat Pakan Lele Organik :
  • Kotoran Ternak
Kotoran hewan yang dapat digunakan untuk pupuk setelah mengalami pengomposan yang matang, yaitu bila secara fisik (warna, rupa, tekstur, dan kadar air) tidak serupa dengan kondisi bahan aslinya, sedangkan secara kimia memiliki kandungan 60-70% bahan organik, 2% zat N, 1% P2O5, dan 1% K2O.

Jenis kotoran hewan yang dapat digunakan adalah kotoran sapi, kerbau, kelinci, ayam dan kambing. Jenis kotoran lain yang dapat digunakan untuk pembuatan Pakan Lele Organik adalah kotoran ayam. Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya. 

"Kriteria kotoran ayam yang ideal adalah yang berasal dari ayam pedaging karena kotorannya lebih bersih dan cenderung lebih murni (tidak tercampur sekam) dan usahakan kotoran ayam dalam kondisi kering. Hindari menggunakan kotoran ayam kampung karena kotorannya cenderung rendah kadar N dan mengandung serat yang tinggi"
Semakin tinggi kandungan unsur hara nitrogen akan membuat bahan baku semakin cepat terurai. Ini dikarenakan jasad renik pengurai memerlukan unsur hara nitrogen untuk perkembangannya. Unsur hara nitrogen digunakan oleh mikroorganisme untuk sintesis protein dan pembentukan protoplasma.

  • Ampas Tahu
Ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein, mengingat kandungan proteinnya dan lemak yang tinggi sekitar 8,66% protein, 3,79% lemak, 51,63% air dan 1,21% abu. maka sangat baik untuk dijadikan bahan baku pembuatan Pakan Lele Organik. 

"Kelemahan ampas tahu cenderung memiliki kandungan protein yang lebih baik dari pada kotoran hewan, apabila proses fermentasi terlambat, maka hasilnya akan menjadi cepat bau sehingga dapat mengganggu lingkungan sekitar. Ampas tahu merupakan bahan yang tidak tahan lama. Karena itu, ketika mendapatkan ampas tahu segera lakukan pencampuran dengan probiotik, untuk dosis probiotik tergantung dari merk dan jenis probiotik yang digunakan" 
  • Dedak
Dedak merupakan limbah pengolahan gabah dan tidak dikonsumsi manusia sehingga tidak bersaing dalam penggunaannya. Kandungan nutrisi dedak yaitu bahan kering 91,0%, protein kasar 13,5%, lemak kasar 0,6%, serat kasar 13,0%, dan kandungan serat kasar 13,6%. 

  • Tepung Ikan
Tepung ikan adalah ikan atau bagian ikan yang dikeringkan dan digiling. Kegunaan utama tepung ikan adalah bahan utama campuran pakan ternak. Tepung ikan yang baik harus mempunyai sifat-sifat : butirannya seragam; bebas dari sisa tulang, mata ikan dan benda asing; berwarna halus bersih, seragam, dan bau khas ikan amis. 

  • Probiotik
Probiotik adalah istilah yang digunakan pada mikro-organisme hidup yang dapat memberikan efek baik atau kesehatan pada organisme lainnya. 

  • Tetes Tebu / Molase
Molase merupakan bahan sisa dari proses pembuatan gula. Molase juga merupakan sumber energi tetapi kandungan proteinnya rendah. Molase mengandung 4,2% protein kasar, 7,7% serat kasar. Molase juga sering digunakan untuk proses fermentasi karena mengandung 1-20% gula yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan inokulum. 

Baca Juga Artikel Terkait :
5 Jenis Ikan Lele Unggul di Indonesia
  • Membuat Pakan Alami dari Kotoran Ternak
Hal pertama yang perlu disiapkan adalah media berupa kolam lele. Kita tidak perlu membuat kolam ikan lele dari tanah, karena nantinya kita menggunakan kompos yang berfungsi sebagai tempat berkembang biak mikro organisme. Kita bisa menggunakan kolam semen atau kolam terpal.

Ukuran bisa disesuaikan dengan kondisi lahan yang kita miliki. Biasanya ukurannya adalah 2 x 3 m dengan tinggi air sekitar 80 cm hingga 1 meter. Jika kolam yang dibuat lebih besar, akan menjadi lebih baik karena padat tebar dan waktu fermentasi pakan lele organik menjadi lebih hemat.

Komposisi Bahan dan Alat

  1. Kotoran ternak yang telah diangin-anginkan selama sekitar seminggu sebanyak 100-150 kg dalam keadaan kering.
  2. Probiotik EM4 Perikanan sebanyak 1 liter
  3. Air matang sekitar 10-20 liter
  4. Tetes tebu (molase) sebanyak 2 liter
  5. Karung dan paranet sesuai ukuran kolam sekitar 1 x 2 m sebagai tempat untuk pemberian pakan organik ke kolam.
  6. Jerigen.
Cara Pembuatan :

Dalam membuat pakan alami untuk lele, terdapat proses fermentasi yang bisa dibilang sangat penting. Karena proses fermentasi bisa meningkatkan nilai gizi, terutama kadar protein, pada bahan baku pakan lele organik yang akan dipakai. Selain itu, bahan pakan akan lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh ikan lele. 

Karena itu, sebelum dipakai untuk pakan lele, sebaiknya semua bahan difermentasikan terlebih dahulu menggunakan pro-biotik. Cara pembuatan pakan alami dari kotoran sapi atau kambing sebagai berikut :
  1. Sebelum seluruh bahan dicampur, aktifkan terlebih probiotik terlebih dahulu, dengan cara mencampurkan probiotik, molase dan air matang. Campuran tersebut diaerasi maksimum 2 jam dengan cara memasang aerator. 
  2. Masukan Kotoran ternak yang telah dikeringkan ke dalam Jerigen yang telah disiapkan
  3. Siramkan campuran probiotik yang telah diaktifkan ke dalam jerigen yang berisi kotoran ternak, lalu aduk hingga tercampur merata. 
  4. Tutup wadah rapat, lalu biarkan bahan-bahan tersebut berfermentasi selama 7-14 hari. Setelah siap, pakan yang telah terfermentasi tersebut dimasukan ke dalam karung. 

"Lakukan pemupukan ulang dari fermentasi kotoran sapi secara rutin setiap 2-3 hari sekali. Hal tersebut terus dilakukan sampai lele mencapai ukuran 5-7 cm dan lele sudah mau mengkonsumsi pakan lele organik dari ampas tahu"
Cara Pemberian Pakan : 

Pakan alami dari kotoran ternak diberikan pada lele yang berumur di bawah 1 bulan dengan ukuran penebaran awal maksimal 4-6 cm. Cara pemberiannya, cukup ambil pakan hasil fermentasi kotoran ternak kemudian masukan kedalam wadah (karung) dan masukan ke dalam kolam lele.

Sedangkan cara lainnya, letakkan pakan alami hasil fermentasi kotoran ternak tersebut ke paranet yang telah di pasang atau diikatkan ke tali di atas kolam ikan lele. 

Apabila menebar benih lele ukuran 2-3 cm atau 3-4 cm, setelah 3-4 hari setelah tebar benih, lakukan penambahan pakan lele organik dari fermentasi kotoran ternak sebanyak 2-3 gayung tergantung dari luas kolam dan jumlah tebar benih.

Selanjutnya, lakukan pemupukan ulang dari hasil fermentasi kotoran ternak tersebut secara rutin setiap 2-3 hari sekali sampai ukuran lele 5-7 cm dan lele sudah mau mengkonsumsi pakan lele organik dari hasil fermentasi ampas tahu.


 Membuat Pakan dari Fermentasi Ampas Tahu
Ampas tahu dapat juga digunakan sebagai pakan ikan lele. Hal tersebut bertujuan agar lele dapat berkembang seperti di habitat aslinya, yaitu memakan makanan yang berasal dari bahan organik dan ikan lele akan tumbuh dengan baik.

Selain itu, bertujuan untuk mengurangi biaya pengeluaran dan mengurangi menumpuknya limbah dari ampas tahu tersebut. 

Bahan Baku :
  1. Ampas tahu sekitar 10 kg
  2. Bekatul jagung, bekatul kulit kacang atau dedak sebanyak 5 kg
  3. Tepung ikan sebanyak 1 kg
  4. Kotoran ayam sebanyak 5 kg
  5. Probiotik SOC (HCS) 15 - 20 ml
  6. Molase atau air tetesan tebu sebanyak 250 ml
  7. Air matang sekitar 1-3 liter
Cara Pembuatan :
  1. Aktifkan terlebih dahulu probiotik SOC (HCS) dengan cara mencampurkan dengan air dan molase yang telah disiapkan terlebih dahulu.
  2. Campurkan probiotik yang telah diaktifkan tersebut dengan seluruh bahan yang telah disiapkan
  3. Aduk rata seluruh bahan yang ada
  4. Masukan bahan yang telah dicampur kedalam wadah bisa berupa ember tertutup
  5. Fermentasikan seluruh bahan tersebut selama minimal 3 jam. 
Setelah proses fermentasi selesai, pakan bisa langsung diberikan kepada lele yang sebelumnya sudah memakan pakan alami selama 15 hari. Pastikan wadah penyimpana fermentasi ampas tahu selalu tertutup. Usahakan sebelum ditutup kembali, aduk pakan fermentasi ampas tahu setiap kali wadah dibuka untuk mengambil pakan. 

Cara Pemberian Pakan :


Cara pemberian pakan lele organik dari hasil fermentasi ampas tahu sangatlah mudah. Pakan bisa diberikan langsung ke ikan lele dengan cara dikepalkan sehingga lele bisa mengkonsumsi secara langsung. Atau bisa juga dengan cara ditempelkan dipinggir pematang kolam. 

Disarankan pakan tersebut diberikan kepada ikan lele yang umurnya di atas 1 bulan dari penebaran, dengan ukuran benih minimum 4-6 cm, sebelumnya bisa diberikan dari hasil fermentasi dan pakan alami pupuk kandang. 

Pemberiannya jangan bersamaan dengan pemberian pellet ikan. Persentase pemberian adalah 5% dari biomassa ikan (1,5-2 kali jumlah pemberian pakan pellet). Frekuensi pemberian pakan lele organik dari ampas tahu ini bisa 2-3 kali sehari. 

"Tips untuk meningkatkan nafsu makan lele"Sebelum diberi pakan ampas tahu, sebaiknya lele diberikan pakan pellet pabrikan yang sudah difermentasikan dengan probiotik, ini berfungsi sebagai pancingan bau tepung ikan yang dapat merangsang nafsu makan lele. Perlakuan ini hanya dilakukan satu kali selama proses pembesaran lele sehingga tidak akan memakan banyak biaya. 

Penerapan Pakan ikan lele organik ini, dapat juga diterapkan pada jenis ikan lainnya seperti ikan mas, nila, dan lainnya. Karena dengan cara ini lebih ramah terhadap lingkungan dan dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan khususnya.
Sekian Penjelasan kali ini, Semoga dapat bermanfaat buat kita semua. Jangan lupa berikan komentar yah.. Terimakasih


Sumber : http://www.indoaqua.net/2016/01/cara-membuat-pakan-ikan-lele-organik.html

Rabu, 17 Oktober 2018

MEWUJUDKAN KEDAULATAN RUMPUT LAUT NASIONAL



Komoditas rumput laut merupakan komoditas yang mempunyai nilai startegis ekonomi yang besar baik sebagai penggerak ekonomi masyarakat maupun sebagai penopang perekonomian nasional. Indonesia sebagai bagian dari Coral Three Angel (segitiga karang dunia) disuguhi begitu besar potensi dan ragam jenis sumberdaya rumput laut. Hasil identifikasi menyebutkan bahwa perairan Indonesia mmempunyai lebih dari 550 jenis rumput laut potensial, hanya saja dalam hal pemanfaatan sampai saat ini tidak lebih dari 5 jenis rumput laut bernilai potensial tinggi yang baru mampu dimanfaatkan.
 Mewaspadai tantangan pada zona hulu
Merujuk pada data statistik, produksi rumput laut selalu mengalami tren positif, dimana produksi rumput laut (untuk Gracilaria dan E. Cottoni) mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tahun 2010 s/d 2013 misalnya produksi rumput laut nasional untuk kedua jenis tersebut mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 27,88%. Namun demikian, kinerja peningkatan produksi tersebut tidak bisa lantas menjadikan semuanya tidak akan mengalami tantangan ke depan. Beragam fenomena permasalahan yang bisa muncul harus sudah menjadi perhatian serius sebagai upaya menjamin usaha budidaya terus berkesinambungan.
Kita bisa lihat misalnya, peningkatan produksi rumput laut saat ini harus dihadapkan pada sebuah tantangan salah satunya adalah fenomena penurunan daya dukung lingkungan perairan dan perubahan iklim global yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pada beberapa lokasi misalnnya telah terjadi pergeseran pola musim tanam yang lebih pendek dari sebelumnya. Berbagai konflik pemanfaatan ruang juga disinyalir menyebabkan usaha rumput laut mulai tereduksi oleh sektor lain semisal parawisata. Kasus ini sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Di Karimunjawa misalnya terjadi penurunan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara signifikan seiring perkembangan sektor parawisata; di Kutai Kartanegara aktivitas usaha budidaya rumput laut harus berbenturan dengan jalur lintasan kapal pengangkut batu bara; sedangkan di Lombok Barat bagian selatan geliat usaha budidaya rumput laut megalami penurunan akibat perubahan lingkungan yang fluktuatif dan degradasi kualitas bibit.  Masih banyak lagi tantangan permasalahan termasuk aspek non teknis yang berkaitan dengan masalah di hilir yang sudah barang tentu berdampak langsung terhadap geliat usaha budidaya di hulu, misalnya posisi tawar dan nilai ttambah yang masih minim dirasakan oleh para pembudidaya.
Ada beberapa hal penting yang harus segera dilakukan sebagai upaya meminimalisir dan mengantisipasi tantangan di zona hulu, yaitu :
Pertama, terkait fenomena produksi yang fluktuatif di beberapa daerah, maka perlu ada upaya : (1) segera melakukan identifikasi untuk menentukan peta kesesuaian lahan budidaya untuk mengantisipasi penurunan kaualitas lingkungan dan perubahan iklim; (2) mempercepat perekayasaan terkait inovasi bioteknologi rumput laut untuk menghasilkan bibit rumput laut unggul dan adaptif dan melakukan percepatan distribusi bibit hasil kultur jaringan ke sentral-sentral produksi dan kawasan potensial.
Kedua, kaitannya dengan potensi konflik penataan ruang, maka perlu segera untuk mendorong Pemda (sesuai kewennangannya) untuk menyusun dan menetapkan Rencana Zonasi Pemanfaatan Willayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil khususnya zonasi kawasan budidaya laut, dimana di dalamnya mencakup zonasi untuk budidaya rumput laut sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di kawasan sentral produksi dan kawasan potensial baru.
Ketiga, dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan posisi tawar pembudidaya, maka perlu didorong upaya : (1) memfasilitasi terbangunnya sebuah kemitraan yang efektif dengan industri di setral-sentral produksi, sebagai upaya dalam mengurangi mata rantai distribusi pasar dan mempermudah kontrol terhadap stabilitas harga dan kualitas produk; (2) menyusun standar produk hasil panen budidaya, untuk kemudian disosialisasikan secara massive dan ditetapkan sebagai aturan yang wajib.
 Hiilirisasi rumput laut nasional belum optimal
 Ada tantangan yang kerap kali menjadi momok dalam mewujudkan kedaulatan industri rumput laut nasional yaitu bahwasannya anugerah sumberdaya rumput laut yang Indonesia miliki pada kenyataannya belum mampu dirasakan dan dimanfaatkan secara optimal, dimana nilai tambah produk rumput laut belum sepenuhnya secara langsung dirasakan di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih sebatas menjadi eksportir raw material, sementara end productlebih banyak dihasilkan oleh negara-negara importir seperti China, sehingga mereka lebih banyak merasakan nilai tambah.  Ironisnya lagi setiap tahun Indonesia harus mengimpor produk setengah jadi seperti Refiine Carrageenan dan sudah barang tentu end product, inilah yang menyebabkan Indonesia mempunyai posisi tawar rendah karena pada kenyataannya harga komoditas rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh negara-negara importir khususnya China.
Disatu sisi, upaya untuk memperkuat dan mengembangkan industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal. Tingginya nilai investasi dalam membangun sebuah industri nasional skala besar menjadi salah satu penghambat pertumbuhan industri rumput laut nasional. Masalah lain adalah belum ada jaminan ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kuantitas maupun kualitas yang dirasakan Industri nasional saat ini. Ketimpangan terjadi manakala di hulu terjadi peningkatan produksi sementara di hilir (industri) kekurangan bahan baku. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Jika diidentifikasi selain permasalahan di hulu, masalah utama yang mengganggu siklus bisnis rumput laut nasional adalah terkait supply chain dan pola tata niaga rumput laut yang tidak tertata dengan baik. Pada setiap sentral produksi misalnya terdapat begitu banyak pelaku yang melakukan kompetisi dagang yang tidak sehat. Begitu banyak peran tengkulak dan spekulan yang melakukan sistem hit and run. Pada beberapa sentral produksi seperti di Lombok para eksportir cenderung menempatkan pedagang pengumpul di setiap lokasi, diimana pengumpul tersebut menjalin kontrak quota, yang terjadi manakala karena dibebani kewajiban pemenuhan quota banyak diantara pengepul yang melakukan hit and run tanpa mempertimbangkan standar kualitas dengan harga yang sama atau bahkan lebih tinggi (diatas standar pasar yang berlaku). Kondisi ini memicu pembudidaya untuk tidak lagi mempertimbagkan kualitas namun lebih mempertiimbangkan harga. Masalah inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab industri nasional kehilanngan kesempatan untuk mendapatkan produk yang sesuai standar kualitas, disamping para pelaku industri nasional tidak cukup kuat untuk bersaing dengan para eksportir raw material karena harga banyak dikendalikan mereka.
Permasalahan lain adalah hampir disetiap sentral produksi belum terbangun sebuah kelembagaan baik Pokdakan maupun kelembagaan penunjang yang kuat dan mandiri. Yang terjadi adalah pembudidaya berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak punya kekuatan posisi tawar. Belum adanya kelembagaan yang kuat juga berpengaruh terhadap pola kemitraan usaha yang rentan pecah kongsi. Padahal sebuah kemmitraan usaha menjadi bagian penting dalam  memutus/mengurangi mata rantai distribusi pasar/pola tata niaga dengan begitu akan tercipta efesiensi dan nilai tambah.
Upaya menciptakan nilai tambah dengan membangun unit-unit pengolahan produk setengah jadi seperti chips yang mulai gencar dilakukan di sentral produksi pada kenyataannya tdak berjalan secara optimal. Jika kita analisa, ada beberapa kekurangan yang mestinya dijadikan pertimbangan utama, yaitu : (1) kapasitas sdm penggelola yang tidak disiapkan dengan baik; (2) SOP teknologi yang tidak dikuasai oleh pengelola sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; (3) jaminan pasar hasil produk yang tidak terkoneksi secara pasti dengan industri nasional; dan (5) pola kemitraan yang tidak dibangun secara kuat.
Ironisnya masalah rantai pasok dan hilirisasi rumput laut sampai saat ini masih urung terselesaikan dengan baik, mungkin secara tidak sadar kita masih menganggapnya sebagai micro problem, padahal semuanya masalah bisnis rumput laut berawal dari sini. Ada beberapa hal terkait upaya pengembangan hilirisasi rumput laut nasional yang perlu segera ditindaklanjuti, yaitu :
Pertama, terkait jaminan kualitas produk raw material, maka harus ada upaya : (a) membangun kelembagaan dan kemitraan usaha, sehingga industri dapat secara langsung melakukan kontrol kualitas, disamping itu akan mempermudah dalam melakukan pembinaan secara langsung; (b) mendorong pemda bekerjasama dengan industri untuk membangun sisitem pergudangan dengan tata kelola yang efektif. Penerapan resi gudang (gudang serah) menjadi salah satu upaya yang dinilai efektif dalam memperbaiki rantai tata niaga rumput laut; (c) optimalisasi unit pengolahan yang telah ada dengan meperbaiki tata kelola dan membuka akses konektivitas produk yang dihasilkan dengan industri nasional.
Kedua, kaitannya dengan masalah rantai pasok, maka perlu ada upaya ; (a) pemerintah pusat menyusun pedoman teknis terkait model tata kelola usaha rumput laut yang efektif dan berkelanjutan; (b) mendorong pemda untuk menyusun sebuah aturan terkait tata kelola usaha rumput laut yang efektif. Aturan mengacu pada model yang ada dalam pedoman teknis dan atau bisa mencontoh pada model yang telah diterapkkan di daerah lain dan berjalan efektif; (c) Pemerintah bersama Asosiasi segera melakukan pendataan (licensi) terhadap pengepul/middle man di masing-masing sentral produksi sebagai upaya kontrol dan treacibility dalam penataan rantai tata niaga rumput laut; (e) pemda perlu mengeluarkan regulasi dalam upaya memperpendek rantai distribusi pasar dengan membangun kelembagaan yang kuat untuk kemudian memfasilitasi terwujudnya pola kemitraan yangg kuat dan berkesinambungan di setiap sentral produksi; dan  (f) meng-counterperan spekulan melalui kontrol dan  pengaturan tata kelola usaha rumput laut yang efektif
Ketiga, polemik tentang ketimpangan terkait supply and demand, maka harus ada upaya : (a) Pemerintah, Pemda dan Asosiasi secara bersama-sama melakukan pemetaan terkait kapsitas produksi, kapasitas terpasang yang mampu diserap industri nasional, kapsitas terpasang untuk ekspor raw material, dan kapsitas terpasang untuk msing-masing segmen pasar berdasarkan tipe produk; (b) Pemerintah melakukan pendataan terhadap pengumpul, para eksportir dan industri nasional beserta kapasitas produksi; dan (c) bersama-sama secara tranasparan menyusun peta realisasi dan kebutuhan rumput laut nasional
Keempat, kaitannya dengan pengembangan industri rumput laut nasional, maka perlu ada upaya-upaya yaitu : (a) memperkuat industri nasional melalui fasilitasi akses terhadap pembiayaan dan pemberian insentif serta penciptaan ikllim usaha dan investasi yang kondusif; dan (b) memfasilitasi kemitraan  usaha langsung dengan industri nasional dan melakukan pengaturan pola tata niaga sebagai upaya dalam menjamin ketersediaan bahan baku baik kualitas maupun kuantitas.
Perlu action plan yang konkrit dan implementatif
Pada era Pemerintahan yang lalu mantan Wakil Presiden Boediono telah mengamanatkan untuk secara fokus menggarap bisnis rumput laut sebagai salah satu potensi strategis ekonomi nasional. Hasilnnya telah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) rumput laut nasional yang melibatkan lintas sektoral terkait. Harus diakui kemudian kinerja Pokja inipun tidak berjalan optimal sebagaimana yang diharapkan, ini bisa kita lihat dari tidak adanya sinergi dalam implementasi program yang ada, kegiatan yang masih bersifat parsial menjadi penyebab program tidak fokus pada upaya-upaya penyelesiaian masalah secara komprehensif, namun yang terjadi justru adanya tumpang tindih kewenangan. Begitupula peran Komisi Rumput Laut Indonesia masih belum optimal, perannya yang masih terbatas pada level dalam memberikan masukan dan rekomendasi dirasa masih kurang kuat karena masih bersifat normatif.
Seiring dengan misi besar kabinet kinerja yaitu dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka komoditas rumput laut menjadi sangat startegis sebagai bagian dalam pengembangan ekonomi maritim. Oleh karena itu, masalah perumput-lautan nasional harus mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Pembentukan semacam Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan Bisnis Rumput Laut Nasional yang langsung dibawah kendali Presiden, mungkin menjadi hal yang bisa dilakukan, sebagai upaya dalam memperkuat dan mempercepat proses industrialisasi rumput laut nasional. Keberadaan Kemenko Kemaritiman harus dijadikan wadah dalam mengkonsolidasikan semua lintas sektoral terkait untuk fokus bersama-sama secara sinergi dalam pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunan dan implementasi road map dan action plan rumput laut skala nasional yang mengakomodir kepentingan stakeholders pada seluruh level secara konkrit (tidak normatif) menjadi hal mutlak yang harus segera dilakukan.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/272/MEWUJUDKAN-KEDAULATAN-RUMPUT-LAUT-NASIONAL/?category_id=13


Selasa, 09 Oktober 2018

MENGENAL KEPITING BAKAU



Di Indonesia dikenal ada 2 macam kepiting sebagai komoditi perikanan yang diperdagangkan/komersial ialah kepiting bakau atau kepiting lumpur; dalam perdagangan internasional dikenal sebagai “Mud Crab” dan bahasa Latinnya Scyla serrata dan ada juga kepiting laut atau rajungan yang nama internasionalnya “Swimming Crab” dengan nama Latin: Portunus pelagicus. Kedua macam kepiting tsb nilai ekonominya sama , dan keduanya diperoleh dari penangkapan dialam.
Kepiting bakau ditangkap dari perairan estuaria yaitu muara sungai , saluran dan petak-petak tambak , diwilayah hutan bakau dimana binatang ini hidup dan berkembangbiak secara liar. Kepiting bakau lebih suka hidup diperairan yang relative dangkal dengan dasar berlumpur, karena itu disebut juga Kepiting Lumpur (Mud Crab).
Sedangkan rajungan , ditangkap oleh nelayan dilaut dekat pantai sampai sejauh 1-2 mil dari pantai, karena rajungan hidup pelagis (di badan air laut). Namun demikian Kepiting Bakau juga dapat tertangkap di laut dekat pantai, karena kepitng bakau yang hendak kawin dan bertelur, juga berpindah di wilayah laut dekat pantai.
Bentuk (habitus) kepiting bakau badannya yang didominasi oleh tutup punggung (karapas) yang berkulit chitin yang tebal.
Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi dibawah karapas itu. Anggota badannya berpangkal pada bagian dada (cephalus) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 pasang kaki jalan.
Kaki jalan terdepan (nomer 1) berbentuk capit yang besar ; kaki jalan nomer 2,3 dan 4 berujung runcing yang berfungsi untuk berjalan ; kaki jalan nomer 5 berbentu pipih berfungsi sebagai dayung bila ia berenang. Pada cephalus (dada) terdapat organ2 pencernaan, organ reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan). Sedangkan bagian tubuh (abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen itu bermuara saluran cerna (dubur).
Pada kepiting jantan , bentuk abdomen itu segitiga meruncing, terbentuk dari deretan beberapa ruas. Sedangkan kepiting betina bentuk abdomen seperti segitiga juga tetapi lebar, dibawahnya terdapat bulu-bulu (umbai-umbai) dimana telur-telurnya melekat ketika dierami.

HABITAT DAN PENYEBARAN

Kepiting Bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuaria dengan kadar garam 0 sampai 35 ppt. Menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air yang tidak terlalu dalam sekitar 10- 80 cm dan terlindung,seperti di wilayah hutan bakau. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak.
Dilaut dekat pantai, seringkali nelayan dapat menangkap kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur. Agaknya kepiting bakau menyukai laut sebagai tempat melakukan perkawinan , namun kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak didaerah pertambakan dan hutan bakau yang berair tak terlalu dangkal ( lebih dari 0,5 m).
Habitat hutan bakau itulah habitat utama bagi kepiting untuk tumbuh dan berkembang, karena memang subur dihuni oleh organisme kecil yang menjadi makanan dari kepiting bakau itu. Jadi cocok sebagai “ breeding gound” ( tempat memijah) dan “nursery ground”(tempat anak-anak kepiting berkembang/tumbuh) .
Kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis yang sangat luas , yaitu pantai wilayah Indo Pasific barat, dari pantai barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah utara : dari Jepang bagian selatan sampai pantai utara Australia. Dan di pantai barat Amerika bagian selatan. (Moosa et al., 1985 dalam Mardjono et al., 1994).

DAUR HIDUP DAN PERKEMBANGBIAKAN

Kepiting bakau ialah binatang Kelas Krustasea sama halnya dengan Udang. Badannya beruas-ruas yang tertutup oleh kulit tebal dari zat khitin. Karena itu secara periodik berganti kulit (moulting) yang memungkinkan binatang ini tumbuh pesat setelah ganti kulit . Binatang yang masih muda berganti kulit lebih sering dibanding dengan yang tua. Sehingga yang muda tumbuh lebih cepat dari pada yang telah tua.
Mekanisme ganti kulit itu sejalan pula dengan periodisitas dari saat perkawinannya. Bila Kepiting (juga Udang) sedang tumbuh kembang gonadnya terjadi ketika kulitnya sedang keras (intermoult) . sedangkan menjelang perkawinan, pasti terjadi proses ganti kulit (mating moult) sehingga kulit yang betina lunak memudahkan bagi pejantannya melakukan proses perkawinan, memasukkan sperma kedalam thelycum alat kelamin) betinanya.
Kepiting betina yang sudah kawin dan memijah (melepaskan telur-telurnya), telur lalu dibuahi (fertilisasi oleh sperma yang sudah disimpan ketika perkawinan terjadi. Telur yang sudah terfertilisasi tidak dilepaskan kedalam air melainkan segera menempel pada rambut-rambut yang terdapat pada umbai-umbai di bagian bawah abdomen. Di Indonesia yang beriklim tropika telur itu “dierami” selama 20 - 23 hari sampai menetas tergantung tingginya suhu air. Seekor induk betina kepiting bakau yang beratnya 100 gram (lebar karapas 11 cm) menghasilkan telur 1 – 1,5 juta butir. Semakin besar /berat induk kepiting, semakin banyak telur yang dihasilkan.
Telur yang baru difertilisasi ( dibuahi) berwarna kuning –oranje . Semakin berkembang embrio dalam telur, warna telur akan berubah menjadi semakin gelap yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman ketika hampir menetas.
Induk yang mengerami telur biasa sedikit atau tidak makan sama sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya dan sering tampak berdiri tegak pada kaki dayungnya , agar telur-telur mendapat aliran air segar yang cukup oksigen.
Bila waktunya telur menetas, induk kepiting itu menggarukkan kaki-kaki jalan dan kaki dayungnya terus menerus dengan cepat , untuk memudahkan pelepasan larva yang segera menyebar kesekelilingnya. . Disini fungsi kaki-kaki jalan itu penting, jika jumlahnya tidak lengkap atau cacat, akan mengganggu proses penetasan tsb.
Hanya sebagian kecil saja telur yang tidak menetas dan akhirnya rontok tidak menetas. Proses penetasan telur lamanya 3-5 jam.
Telur yang baru menetas disebut stadia pre-zoea hanya dalam waktu 30 menit berubah menjadi stadia Zoea 1 . Ada 5 sub stadia Zoea yaitu Zoea-1, Zoea-2, Zoea-3, Zoea -4 dan Zoea-5. Semakin lanjut sub –stadia, terjadi penambahan organ tubuh sehingga semakin sempurna untuk pergerakan, menangkap makanan dan metabolisme tubuhnya.
Setiap sub-stadia memerlukan waktu 3-4 hari untuk berubah menjadi sub-stadia selanjutnya. Sehingga tingkat Zoea seluruhnya memerlukan waktu 18-20 hari untuk menjadi stadia selanjutnya yaitu megalopa.
Zoea-1 warna tubuh transparan, panjang tubuhnya 1,15 mm, matanya tidak bertangkai.
Zoea-1 geraknya masih lamban, makanannya fitoplankton . dan zooplankton yang lamban geraknya yaitu Brachionus plicatilis.
Zoea-2 geraknya lebih gesit sejalan dengan semakin berkembangnya anggota tubuh baik dalam ukuran maupun jumlahnya.. Panjang tubuhnya 1,50 mm . Mata bertangkai.
Makananya masih berupa fitoplankton yang ukurannya lebih besar seperti Tetraselmis chuii , Chaetoceros calcitran. Kedua jenis fitoplankton itu selain sebagai pakan untuk Brachionus juga menyerap gas hasil metabolisme (metabolit) dari larva itu sendiri. Jadi sebagai pembersih air.
Sub-stadia Zoea-3 , ukurannya lebih besar 1,93 mm .Dapat memangsa nauplii Artemia. Beberapa organ tubuhnya disajikan pada Seekor Zoea-3 dapat memakan nauplii artemia sebanyak 30 ekor per-hari.
Sub-stadia Zoea-4 ,panjang tubuhnya 2,4 mm. Pada stadia ini telah terbentuk pleopoda (kaki renang) dan pereiopoda (kaki jalan). Tampak aktif berenang karena itu lebih aktif menangkap pakannya.
Sub-stadia Zoea-5 panjang tubuhnya 3,4 mm, lebih efektif menangkap mangsanya dan geraknya lebih gesit.
Stadia berikutnya ialah Megalopa . Ukuran tubuhnya semakin besar, sehingga tidak lagi diberi pakan nauplii artemia melainkan dapat memakan artemia instar-5 .
Panjang karapas 2,18 mm (termasuk duri rostral), lebar karapas 1,52 mm ; panjang abdomen 1,87 mm panjang tubuh total (termasuk duri rostral) 4,1 mm. Mempunyai pereopoda 5 pasang . Abdomen terdiri 7 segmen memanjang kebelakang.
Stadia berikutnya ialah Stadium Crab (kepiting muda). Bentuk dan anggota tubuhnya sudah seperti pada kepiting dewasa. Kebiasaannya cenderung di dasar perairan. Memakan makanan yang ada didasar atau yang tenggelam. Makanan yang diberikan berupa cacahan cumi-cumi, udang kecil dsb. Tetapi juga dapat memakan nauplii artemia yang planktonis. Biasanya juga diberi pakan buatan berupa mikro pellet yang kaya nutrisi, seperti yang biasa untuk larva udang.

Pada kondisi normal di Panti Pembenihan (Hatchery) , lama waktu perubahan dari menetas sampai menjadi stadium Megalopa 21-23 hari. Dari Megalopa menjadi Stadium Crab-5 ialah 10-12 hari . Sehingga lama waktu pemeliharaan larva sejak telur menetas sampai menjadi benih kepiting (crab-5) siap jual hanyalah 30 – 35 hari.

SUMBER:

Suyanto S.R., 2011. Budidaya Kepiting Bakau. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Nomor: 008/TAK/BPSDMKP/2011. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.