Rabu, 25 April 2018

PENGANGKUTAN IKAN HIDUP TEKNIK BASAH DAN KERING

PENGANGKUTAN IKAN HIDUP TEKNIK BASAH DAN KERING


Dalam pengangkutan ikan hidup perlu dilakukan teknik khusus, berbeda dengan ikan mati. Ikan yang sudah mati hanya diharapkan tetap segar untuk sampai ke tujuan namun untuk ikan hidup, ikan harus tetap hidup dan dalam keadaan sehat hingga sampai ke tempat tujuan.Teknik pengangkutan ikan hidup dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : yaitu teknik basah yang menyertakan media air; dan teknik kering, tanpa penyertaan air. Setiap teknik yang digunakan bergantung kepada jarak tempuh dan waktu tempuh yang dibutuhkan hingga sampai ke tempat tujuan.
1.  Pengangkutan ikan hidup dengan teknik basah
Pada pengangkutan ikan hidup dengan teknik basah, ada beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu kandungan oksigen (O2), jumlah dan berat ikan, kandungan amoniak dalam air, karbondioksida (CO2), serta pH air. Jumlah O2 yang dikonsumsi ikan tergantung jumlah oksigen yang tersedia. Jika kandungan O2 meningkat, ikan akan mengonsumsi O2 pada kondisi stabil, dan ketika kadar O2 menurun konsumsi ikan atas O2 akan lebih rendah. Sementara itu, nilai pH air merupakan faktor kontrol yang bersifat teknis akibat perubahan kandungan CO2 dan amoniak. CO2 sebagai hasil respirasi ikan akan mengubah pH air menjadi asam. Perubahan pH menyebabkan ikan menjadi stres, dan cara menanggulanginya yaitu dengan menstabilkan kembali pH air selama pengangkutan dengan larutan bufer.Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pengangkutan ikan hidup menggunakan teknik basah yaitu pengangkutan dengan sistem terbuka dan sistem tertutup.
Pengangkutan dengan sistem terbuka biasanya hanya dilakukan jika jarak waktu dan jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dan menggunakan wadah yang terbuka. Sistem ini mudah diterapkan. Berat ikan yang aman untuk diangkut dengan sistem terbuka tergantung efisiensi sistem aerasi, lama pengangkutan, suhu air, ukuran, dan jenis ikan. Sementara itu, pengangkutan ikan hidup dengan sistem tertutup dilakukan menggunakan wadah tertutup dan memerlukan suplai oksigen yang cukup. Karena itu, perlu diperhatikan beberapa faktor penting yang memengaruhi keberhasilan pengangkutan yaitu kualitas ikan, oksigen, suhu, pH, CO2, amoniak, serta kepadatan dan aktivitas ikan.
2.  Pengangkutan ikan hidup dengan teknik kering
Dalam pengangkutan teknik kering, media yang digunakan bukanlah air. Namun,  ikan harus dikondisikan dalam aktivitas biologis rendah (dipingsankan) sehingga konsumsi ikan atas energi dan oksigen juga rendah. Semakin rendah metabolisme ikan, semakin rendah pula aktivitas dan konsumsi oksigennya. Dengan begitu, ketahanan hidup ikan untuk diangkut di luar habitatnya semakin besar. Terdapat tiga cara pemingsanan yang dapat dilakukan pada ikan, yaitu 
·                             Penggunaan suhu rendah,
·                         Pembiusan dengan zat kimia, dan
·                         Penyetruman dengan arus listrik.

Pemingsanan dengan penggunaan suhu rendah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penurunan suhu secara langsung dan penurunan suhu secara bertahap. Pemingsanan ikan menggunakan penurunan suhu secara langsung dilakukan dengan cara ikan dimasukkan dalam air bersuhu 10-15oC sehingga ikan pingsan seketika. Sementara, Pemingsanan ikan menggunakan penurunan suhu secara bertahap dapat dialkuakn dengan cara penurunan suhu air sebagai media ikan secara bertahap sampai ikan pingsan.Pembiusan dengan ikan zat kimia dilakukan dengan menggunakan bahan anestasi (pembius). Bahan anestasi yang digunakan untuk pembiusan ikan yaitu MS-222, Novacaine, Barbital sodium, dan bahan lainnya tergantung berat dan jenis ikan. Selain bahan-bahan anestasi sintetik, pembiusan juga dapat dilakukan  dengan zat cauler pindan cauler picin yang berasal dari ekstrak rumput laut Caulerpa sp. 


Sumber:
Efendi R (2013). Pengangkutan Ikan Hidup.

Jumat, 13 April 2018

Rahasia Budidaya Lele Panen 8 Kali Lipat

Rahasia Budidaya Lele Panen 8 Kali Lipat


Ikan lele merupakan ikan yang sudah populer dikalangan masyarakat, karena ikan ini sangat mudah kita dapatkan baik di pasar ataupun di tukang pecel lele pinggir jalan.

Selain kemudahan untuk mendapatkannya, harga ikan lele pun tergolong bersahabat dengan kantong masyarakat dan rasa daging yang gurih pun bikin masyarakat ketagihan.

Teknologi budidaya ikan lele tergolong mudah dan tidak sulit. Banyak orang yang tertarik untuk usaha budidaya ikan lele. Dikarenakan peluang usaha ikan lele sangat terbuka lebar, dengan lahan terbatas dan sumber air yang minimpun pembudidaya masih dapat memelihara ikan lele.

Selain itu ikan lele terkenal dengan kemampuan hidup yang tinggi. Tahan terhadap serangan penyakit dan dapat dipelihara dengan kepadatan tebar yang tinggi, konfersi pakan yang baik dapat mencapai 1:1 atau 1:0,9. banyak keunggulan budidaya ikan lele.
Cara budidaya ikan lele sendiri sudah sangat berkembang. mulai dari yang sederhana maupun yang intensif, ada juga yang menerapkan teknik bioflok dan lain-lain. Yang sering menjadi kendala budidaya ikan lele adalah harga pellet yang semakin mahal, banyak sekali pembudidaya ikan lele yang mengeluhkan masalah ini. untuk solusi dari harga pakan lele yang mahal sudah banyak sekali dari menggunakan pakan alternatif atau membuat pakan lele sendiri.

Baca juga : 
·                     Panduan Lengkap membuat pakan lele organik 
·                     3 Prinsip Dasar Penyebab Timbulnya Penyakit pada Ikan
·                     4 Tahap Budidaya Ikan Lele Sistem Aquaponik
·                     4 Tahap Sederhana Budidaya Ikan Nila

Salah satu cara budidaya ikan lele yang dapat menghasilkan keuntungan berlipat ganda sudah ditemukan di Sekolah Tinggi Perikanan. Dengan memanfaatkan sistem filtrasi Biologis yang berfungsi untuk menjaga kualitas air tetap baik, sehingga ikan dapat hidup dengan pertumbuhan yang optimal pula. Untuk 1 m3 kolam lele dapat menghasilkan 250 kg ikan lele, padahal biasanya hanya bisa menghasilkan  31 kg saja. 

Untuk satu kolam ikan lele ukuran 2 x 1,5 x 0,7 meter padat tebarnya 5.000 ekor artinya padat tebar ikan lele per 1 m3 adalah 2.380 ekor/m3 padahal biasanya pembudidaya hanya menggunakan padat tebar sekitar 300 ekor/m3. 

bibit yang digunakan juga sudah berukuran 9-10 cm karena pada ukuran ini, daya adaptasinya lebih tinggi dan ukurannya lebih seragam. Sehingga tidak perlu lagi dilakukan penyortiran ikan.

Kebanyakan pembudidaya ikan lele enggan membudidayakan ikan lele dengan padat tebar tinggi dikarenakan berpotensi terjadi kematian yang tinggi. Kematian yang tinggi ini disebabkan kandungan oksigen dalam air yang rendah sehingga tercipta kondisi anaerob.

dampak dekomposisi bahan organik menimbulkan senyawa beracun seperti amonia, nitrit, dan hidrogen sulfida. Senyawa itu lebih cepat terserap insang dari pada oksigen sehingga menyebabkan ikan mati.

Meskipun padat tebar tinggi, ikan lele yang dipelihara di kolam BAPPL hidup dengan nyaman dan tingkat Survival rate atau kelangsungan hidup mencapai 80%. Rahasianya adalah teknologi Catfish Farming in Recirculation System Tank (C-First) atau budidaya ikan lele dengan sistem resirkulasi.

Kata sinung, kandungan oksigen dengan sistem resirkulasi menjadi lebih baik karena adanya aliran air sepanjang waktu sehingga kondisi menjadi aerob. Dampaknya nitrifikasi alias perubahan amonia menjadi nitrit menjadi nitrat berlangsung dengan baik. Karena itu, senyawa beracun penyebab kematian ikan tidak terbentuk. Dengan itu lele dapat dilakukan dengan padat tebar tinggi. 

TEKNOLOGI FILTER BIOLOGIS

Kepala BAPPL, Dr. TB Haeru Rahayu MSc, yang mempopulerkan istilah C-First 250. Angka 250 mengacu pada hasil panen 250 kg per m3. Penelitian terakhir C-First dilakukan sejak 2004. Sistem itu lahir berkaitan dengan isu budidaya yang berkelanjutan. Prinsipnya mengefisiensikan penggunaan energi dan minimalisir limbah. 

Dengan sistem C-First air kolam itu disirkulasi sepanjang waktu. Margono mengandalkan pompa 125 watt untuk mengalirkan air. Jika listrik padam, ia memanfaatkan genset. Dari kolam air mengalir melewati talang berdiameter 10 cm menuju filter mekanik. Partikel kasar dalam air tersaring di dalam filter mekanik yang berisi susunan papan kayu. Selanjutnya air masuk ke bak pengendapan tempat partikel halus tertangkap. 

Setelah itu air dipompa ke atas melewati filter biologis yang berisi bola-bola hitam atau bioball. Didalam filter biologis itulah terjadi proses nitrifikasi. Terakhir air masuk ke bak kontrol yang selanjutnya mengalirkan air ke masing-masing kolam. Setiap pekan petugas membersihkan filter mekanik untuk menghilangkan kotoran sehingga dapat berfungsi maksimal.
·                     Air dalam kolam keluar melalui pipa 2 inci
·                     selanjutnya air mengalir melewati talang berdiameter 10 cm
·                     Air masuk ke filter mekanik, sisa pakan dan kotoran berukuran besar terperangkap
·                     Air masuk ke bak pengendapan tempat partikel halus tersaring
·                     Air melewati filter biologis berisi bioball
·                     Air dari filter biologis masuk ke bak kontrol
·                     Air bersih mengalir melalui pipa ke masing-masing kolam

PERBEDAAN DENGAN CARA TRADISIONAL

Perbedaan cara budidaya ikan lele tradisional terletak pada enggannya pembudidaya ikan lele menggunakan sistem sirkulasi karena dianggap pemborosan listrik sehingga biaya operasional menjadi tinggi, belum lagi jika listrik padam maka harus menggunakan genset sehingga akan banyak menambah biaya operasional. 

Mereka hanya mengandalkan ketersediaan lahan, padahal dari hari ke hari ketersediaan lahan untuk budidaya semakin berkurang dengan adanya pembangunan infrastruktur yang pesat di daerah-daerah. Mereka lebih memilih untuk memperbesar ukuran kolam dari pada harus dengan sistem sirkulasi, hasil panen pun sekitar 50-75 kg per m2, meskipun pemberian pakan sudah banyak atau maksimal akan tetapi hasilnya pun tetap segitu-segitu saja. ini disebabkan air yang sudah jenuh sehingga ikan menjadi strees dan tidak mau makan sehingga pertumbuhanpun ikut terganggu.


SUMBER : http://www.indoaqua.net/2016/08/rahasia-budidaya-lele-panen-8-kali-lipat.html

Selasa, 03 April 2018

KEBERLANJUTAN PERIKANAN BUDIDAYA MELALUI STANDARDISASI, MONITORING LINGKUNGAN DAN PENGENDALIAN RESIDU




Perikanan budidaya terus didorong untuk meningkatkan kualitas produksinya di samping kuantitasnya, untuk memenuhi kebutuhan pasar. Penekanan pada peningkatan kualitas produksi perikanan budidaya ini selaras dengan di bukanya Pasar Bebas ASEAN (MEA) yang mendorong perlunya peningkatan daya saing, salah satunya dengan kualitas produk yang meningkat dan aman di konsumsi. “Selain produk perikanan budidaya harus bisa memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, harus di dukung dengan kualitas produk yang mampu bersaing baik di pasar regional maupun pasar global. Untuk itu melalui program pembangunan perikanan budidaya yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan, kita harus menerapkan system jaminan mutu dan keamanan mutu hasil perikanan budidaya dari hulu sampai hilir proses produksi perikanan budidaya, baik itu melalui penerapan standardisasi system produksi perikanan budidaya, system monitoring lingkungan maupun pengendalian residu”, demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada saat memberikan arahan dalam acara Rapat Koordinasi Standardisasi Perikanan Budidaya, Monitoring Lingkungan Perikanan Budidaya dan Pengendalian Residu di Yogyakarta.
“Persaingan pasar yang semakin terbuka, menuntut kita untuk menghasilkan produk perikanan budidaya yang sesuai standar, baik itu standar system produksi maupun standar mutu hasil perikanan. Standardisasi harus dilakukan di semua lini, baik itu standar pembenihan, standar prasarana dan sarana budidaya, standar produksi maupun standar pakan yang di dukung dengan penerapan standar metode uji di laboratorium, untuk memberikan jaminan keamanan dan jaminan mutu produk perikanan budidaya”, jelas Slamet.
Saat ini, terdapat 250 buah Standar Nasional Indonesia (SNI) bidang perikanan budidaya (lima diantaranya adalah RSNI) yang digunakan sebagai standar untuk mendukung peningkatan produksi perikanan budidaya dalam memasuki persaingan pasar bebas baik di tingkat regional maupun global.
Pengendalian Residu
“Disamping penerapan standardisasi perikanan budidaya, diperlukan upaya lain untuk dapat menghasilkan produk perikanan budidaya yang berkualitas dan aman dikonsumsi, tanpa mengandung residu antibiotik dan bahan kimia yang dilarang yaitu penerapan sistem monitoring residu nasional”, terang Slamet.
Slamet menambahkan bahwa Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah berhasil melakukan pengendalian residu dan sekaligus melakukan monitoring penggunaan residu pada usaha budidaya sejak tahun 2013, Indonesia telah dimasukkan oleh Direktorat Jenderal Konsumen dan Kesehatan, European Commission melalui Commission Decision 2011/163/EU, ke dalam daftar negara-negara yang diperbolehkan mengekspor produk perikanan budidaya ke Uni Eropa. Kondisi ini membuktikan bahwa Sistem Monitoring Residu perikanan budidaya Indonesia telah dinilai setara dengan standard Uni Eropa. Hal ini harus terus dipertahankan antara lain melalui koordinasi yang berkelanjutan dan semakin baik diantara pihak terkait (stakeholders), baik di tingkat pusat dan daerah dalam pelaksanaan monitoring residu”, papar Slamet.

Slamet lebih lanjut mengatakan bahwa setelah di terbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2015 tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Bahan Kimia dan Kontaminan pada kegiatan Pembudidayaan Ikan Konsumsi, membuktikan keseriusan pemerintah dalam hal peningkatan jaminan keamanan pangan dan mutu produk perikanan budidaya. “Permen ini menjadi acuan dalam monitoring dan pengendalian residu. Ini harus di terapkan untuk meningkatkan daya saing produk perikanan budidaya, sampai ke tingkat daerah,” kata Slamet.
Monitoring Lingkungan Perikanan Budidaya
Pembangunan perikanan budidaya berbasis lingkungan atau ekosistem terus di kembangkan dan di gulirkan. Dengan memperhatikan lingkungan atau ekosistem, perikanan budidaya akan menjadi tumpuan dalam pengembangan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang sekaligus memperhatikan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, agar tetap lestari dan berkelanjutan.
“Untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan budidaya, perlu upaya penerapan pendekatan terhadap lingkungan dalam pengembangan perikanan budidaya atau disebut dengan Ecosystem Approach for Aquaculture (EAA), untuk mengelola perikanan budidaya yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan berdasarkan ekosistem di Indonesia. Program Culture Based Fisheries (CBF) juga sangat sesuai dengan EAA. Ini akan kita coba terapkan di beberapa lokasi, sebagai percontohan”, papar Slamet.
Pengelolaan usaha perikanan budidaya di perairan umum perlu dilakukan. “Usaha perikanan budidaya di Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan umum, perlu di tata ulang sehingga memberikan hasil yang positif baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Penggunan teknologi pakan yang efisien dan ramah lingkungan harus terus di dorong, sehingga meminimalisir dampak negative bagi lingkungan”, tutur Slamet.
Usaha perikanan budidaya yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan akan  menghasilkan keberhasilan usaha. Karena perikanan budidaya tidak bisa terlepas dari kondisi lingkungan baik lingkungan budidaya maupun lingkungan di sekitarnya. “Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti, sangat perhatian sekali dengan permasalahan lingkungan ini. Karena ini akan menjadi warisan ke anak cucu kita di masa depan. Dengan membangun perikanan budidaya yang berwawasan lingkungan saat ini, artinya kita juga sedang membangun masa depan”, pungkas Slamet.


Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/378/KEBERLANJUTAN-PERIKANAN-BUDIDAYA-MELALUI-STANDARDISASI-MONITORING-LINGKUNGAN-DAN-PENGENDALIAN-RESIDU/?category_id=12