Rabu, 22 Februari 2017

NEGARA MARITIM YANG BERDAULAT DALAM PERSPEKTIF PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

NEGARA MARITIM YANG BERDAULAT DALAM PERSPEKTIF PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


KENDARI (14/3/2016) www.pusluh.kkp.go.id
“Indonesia kaya”.  Kita mengakui itu.  Bagaimana tidak, wilayah daratannya merupakan tanah yang subur dengan berbagai tanaman yang dapat tumbuh subur, ditambah lagi lautannya yang kaya dengan sumber daya alam, baik di permukaan laut, kolom laut hingga ke dasar laut.  Selain itu, jumlah populasi penduduk Indonesia adalah yang terbesar se-ASEAN, yakni sebesar 40% dari populasi ASEAN (Harian Rakyat Sultra, Edisi 6 November 2014). Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki sumber daya manusia yang juga tidak sedikit.  Ini terbukti pada setiap ajang kompetisi baik dalam skala nasional, ASEAN ataupun internasional, yang diikuti oleh putra-putri Indonesia, tidak jarang memboyong piala kemenangan.  Ya, kita kaya dengan sumberdaya alam dan SDM yang mumpuni.
Benarkah???  Mari sejenak mereview.  Sejak 2009 hingga 2014 rata-rata pertumbuhan ekonomi kita hanya 5,7% dengan pendapatan perkapita sebesar USD 4.700, yang masih sangat jauh dibawah negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dengan pendapatan perkapita sebesar USD 10.000, Malaysia sebesar USD 15.000 dan Singapura yang mencapai USD 50.000 (Harian Rakyat Sultra, Edisi 6 November 2014). Sementara, pada Workshop SIMLUH KP di Semarang Tanggal 28 Mei 2015, sebagaimana paparan Kepala Bidang Program Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, bahwa indeks ketahanan pangan Asia dan Afrika, Indonesia berada pada ranking 10 ASEAN dan ranking 64 dunia (Indonesia berada dibawah Vietnam).
Uraian diatas memunculkan satu pertanyaan.  “Sebagai negara maritim dengan potensi kelautan dan perikanan yang besar, dapatkah negara tercinta ini disebut sebagai negara maritim yang berdaulat???”.   Padahal, sebagai negara agraris sekaligus negara maritim yang besar dengan potensi sumber daya alam yang beragam, Indonesia mempunyai berbagai peluang untuk mencapai kesejahteraan.
Menurut Yusni, I.S (2015) bahwa, banyak kajian dan laporan tentang potensi kekayaan laut hayati dan non hayati Indonesia telah dipublikasikan, diantaranya:
1.     Laut Indonesia merupakan wilayah Marine Mega-Biodiversity  terbesar di dunia, memiliki 8.500 spesies ikan, 555 spesies terumbu karang dan 950 spesies biota yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang.
2.    Laut Indonesia dan selat-selatnya merupakan alur transportasi Internasional yang ramai, menghubungkan antara Benua Asia, Pantai Barat Amerika dan Benua Eropa.
3.    Tiga lempeng tektonik (Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik) bertemu diwilayah Indonesia.  Pertemuan lempeng tektonik tersebut memicu terjadinya gunung api, serta gempa bumi.  Secara bersamaan, keadaan ini merupakan prasyarat pembentukan sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas di darat maupun laut.
Potensi kelautan Indonesia diperkirakan 1.2 trilliun USD, yang dapat menyerap tenaga 40 juta tenaga kerja. Dari potensi tak tereksploitasi (sleeping potency), kontribusi seluruh sektor kelautan (11 sektor)   terhadap PDB Indonesia terhitung 20 %. Diperhitungkan sekitar   Rp 300 trilliun potensi ini hilang karena Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF), yang merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia. Selanjutnya  dikatakan  70%  produk  Indonesia  dieksport  melalui  Negara  Singapura (Dahuri, 2014).
Sumber lain menyebutkan bahwa, Indonesia memiliki sumberdaya perikanan meliputi, perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun. Budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kekerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, budidaya air payau (tambak) yang potensi lahan pengembangannya mencapai sekitar 913.000 ha, dan budidaya air tawar terdiri dari perairan umum (danau, waduk, sungai, dan rawa), kolam air tawar, dan mina padi di sawah, serta bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang serta industri bahan pangan. Besaran potensi hasil laut dan perikanan Indonesia mencapai 3000 triliun per tahun, akan tetapi yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 225 triliun atau sekitar 7,5% saja.
Pemulihan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan diperkirakan sebesar US$82 miliar per tahun.  Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi penghasil produk perikanan terbesar dunia, karena kontribusi perikanan pada 2004-2009 terus mengalami kenaikan. 
Literatur lain juga menyebutkan bahwa, potensi perikanan yang mencapai 82 millar U$D yang dimiliki negara ini, jika dikelola dengan baik, bertanggung jawab dan berkelanjutan akan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dengan membuat regulasi yang tepat dan berpihak kepada para pelaku usaha kecil (nelayan dan pembudidaya) akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Issue peningkatan kesejahteraan melalui kemandirian pangan menjadi issue sangat strategis, setelah Bapak Joko Widodo menginginkan Indonesia menjadi negara yang mandiri dan berdaulat dalam pemenuhan kebutuhan pangan.  Menurut Sri Raharjo, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) periode 2004-2006, suatu negara yang tidak memiliki kemampuan secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan, akan semakin tergantung pada negara lain.
Sehingga sangat tepat jika seorang pemimpin negara seperti Bapak Joko Widodo, yang menginginkan kedaulatan negara dengan basis ketahanan pangan.  Disisi lain, ada sosok ibu Susi Pudjiastuti menteri kelautan dan perikanan yang memiliki visi misi besar menegakan kedaulatan maritim dengan pemberantasan IUU Fishing-nya.
Dua tokoh besar tersebut diatas menjadi inspirator dalam menegakan negara maritim ini menjadi berdaulat dan berkepribadian.  Nah, bagaimana mendukung visi misi tersebut dalam perspektif penyuluhan kelautan dan perikanan ???

Menanti Penyelenggaraan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan yang Berdaulat

Pasca terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang salah satunya menyebutkan bahwa urusan penyelenggaraan penyuluhan kelautan dan perikanan menjadi kewenangan pemerintah pusat,  menjadi sebuah angin segar bagi penyelenggaraan penyuluhan terutama oleh penyuluh perikanan itu sendiri.  Sebab, selama ini penyelenggaran penyuluhan kelautan dan perikanan yang berlangsung di daerah, ibarat urusan yang di nomor sekiankan.  Sesuatu yang bisa disebut tidak penting.  Ditambah lagi dengan embel-embel otonomi daerah, dimana hampir di setiap daerah mengutamakan pembangunan infastruktur dan peningkatan produksi.
Bahwa jika pembangunan jalan raya dan gedung-gedung tidak terlihat nyata, maka dikatakanlah tidak terjadi pembangunan.  Atau jika produksi pertanian/perikanan menurun, sibuklah dengan penyediaan saspras yang diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian/perikanan.  Tetapi kemudian melupakan satu hal kecil yang sangat urgen (sesungguhnya, red).  Yakni, bagaimana menata pola pikir, sikap dan pengetahuan para pelaku dilapangan (pelaku utama dan pelaku usaha).  Inilah peran penyelenggaraan penyuluhan.
Penyuluh seringkali disebut sebagai “ujung tobak”.  Menurut Bapak Wakil Walikota Kendari, saat acara Gempita di Kota Kendari Tahun 2015 lalu, mengatakan bahwa penyuluh perikanan merupakan “ujung tombak”.    Maknanya adalah bahwa tombak yang baik memiliki mata tombak yang tajam, artinya setiap penyuluh perikanan harus jeli dalam melihat kondisi sekitarnya, terutama kondisi pelaku utama perikanan yang merupakan sasaran penyuluhannya.
Kejeliannya akan menghasilkan sebuah identifikasi masalah yang baik, untuk selanjutnya mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh pelaku utama perikanan.  Selain memiliki mata tombak yang tajam, sebuah tombak yang baik, idealnya memiliki tangkai yang kokoh yang dapat dilempar tanpa patah ketika terbentur benda lain.  Mata tombak dan tangkainya dianalogkan sebagai seorang penyuluh perikanan.  Bahwa selain memiliki ketajaman intelektual, penyuluh perikanan juga seharusnya memiliki mental baja, sebab tidak dipungkiri medan tugas penyuluh perikanan bukanlah mudah.
Jika sebuah tombak yang utuh diasumsikan sebagai seorang penyuluh perikanan, maka harus ada seseorang yang akan memegang tombak tersebut untuk selanjutnya melemparkannya menuju sasaran.  Dalam konteks penyuluhan kelautan dan perikanan, seseorang tersebut adalah lingkup PUSLUHDAYA KP dalam ruang lingkup yang kecil atau BPSDMP KP dalam ruang lingkup yang lebih besar, atau bahkan KKP sebagai “suhu” pelempar tombak tersebut.  Seorang pelempar tombak, idalnya memiliki tenaga yang kuat dan tangkas dalam membidik sasaran.
Sasaran kita adalah pelaku utama perikanan.  Data SIMLUHDAYA KP  yang diantaranya memuat data kelompok pelaku utama, menunjukkan bahwa secara kuantitas jumlah pelaku utama perikanan yang kita miliki sangat besar.  Untuk satu provinsi saja seperti Sulawesi Tenggara, terdapat lebih dari seribu kelompok pelaku utama perikanan dengan jumlah anggota antara 10 s/d 25 orang perkelompok.  Dengan asumsi dari 1000 kelompok, terdapat 20 orang anggota perkelompok saja, total pelaku utama untuk satu provinsi adalah 20.000 orang pelaku utama.  Data ini hanya menghitung jumlah anggota kelompok, belum menghitung jumlah anggota keluarga setiap orang dalam satu kelompok, yang umumnya mereka juga merupakan pelaku utama perikanan (istri dan anak-anak, red).
Jika diasumsikan jumlah rata-rata anggota keluarga pelaku utama perikanan adalah 5 orang saja, maka total pelaku utama perikanan persatu provinsi adalah 100.000 orang pelaku utama.   Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan jika rata-rata perprovinsi memiliki 100.000 orang pelaku utama maka untuk Indonesia memiliki 3.400.000 orang pelaku utama perikanan.
Data diatas umumnya adalah pelaku utama perikanan dengan skala usaha kecil.  Jumlah ini cukup fantastis, dan sangat mampu untuk menggerakkan roda pembangunan kelautan dan perikanan.  Tinggal bagaimana menyelaraskan antara kualitas dan kuantitas.  Jika kegiatan pemberdayaan benar-benar menyentuh pelaku utama perikanan, bukan mustahil mampu meningkatkan pemanfatan SDA yang baru sekitar 7,5% sebagaimana diuraikan sebelumnya, hingga “mimpi” berjaya terhadap kelautan dan perikanan Indonesia menjadi kenyataan.
Jika menelaah makna kata “berdaulat”, yang berarti berkuasa, berjaya, berhak ataupun otonom, maka ketika kedaulatan itu telah dipegang oleh BPSDMP KP dan PUSLUHDAYA KP, tentunya penyelenggaraan penyuluhan kelautan dan perikanan, bukan lagi dipandang sebagai kegiatan yang di nomor sekiankan seperti ketika otonomi daerah.
Saat ini Pusluhdaya KP tengah gencar-gencarnya menyuarakan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan, seiring dengan berubahnya nomenklatur Pusluh KP menjadi Pusluhdaya KP.  Suara memberdayakan masyarakat KP menggaung di telinga setiap penyuluh perikanan, sehingga saat ini hampir disetiap momen diskusi para penyuluh adalah dengan topik yang nyaris seragam yakni “Pemberdayaan Masyarakat KP”.  Gelar “Garda Pembangunan Kelautan dan Perikanan” juga merupakan satu dari sekian gelar yang telah terpatri pada penyuluh perikanan.  Sehingga sebagai “garda” untuk menuju pada bangunan pemberdayaan masyarakat KP, mutlak untuk terlebih dahulu memberyakan penyuluh perikanan itu sendiri.
Bisa dibanyangkan jika penyuluh perikanan yang jumlahnya sekitar 14.484 orang (data simluhdaya kp), telah berdaya, baik dari aspek teknis maupun ekonomisnya, maka pemberdayaan pelaku utama bukanlah hal sulit untuk dilakukan.  Layaknya dalam sebuah pesawat terbang, kita sering kali dituntun oleh pramugari, untuk lebih dulu menolong diri sendiri baru kemudian menolong orang lain (anak, red).
Penulis membayangkan suatu saat pelaku utama bisa melakukan apa saja untuk usahanya, mulai dari budidayanya, pengolahannya hingga produk-produknya yang menguasai pasar dalam daerah atau bahkan dalam negeri sendiri, dan pada saat itu lah penyuluh perikanan tepat menyandang gelar sebagai “agen perubahan”.  Dan saat yang bersamaan, kedaulatan negara maritim tercipta, sebab pelaku industri perikanan adalah warga lokal yakni pelaku utama perikanan.  Untuk kesana, hanya ada KERJA, KERJA dan KERJA dibarengi dengan meluruskan niat untuk benar-benar memberdayakan masyarakat kelautan dan perikanan.

Kontributor:
Mirnawati Firdaus,
 Penyuluh Perikanan Muda Pada Sekretariat.Bakorluh PPK Prov. Sulawesi Tenggara
Daftar Pustaka
Yusni, I.S.,  (2015).  Menggali Potensi Sumberdaya Laut Indonesia.  Makalah. USU Medan.
http://www.kompasiana.com/robin_kfc/sumber-daya-perikanan-sebagai-tulang-punggung-perekonomian-indonesia_55111a3b8133116b41bc5feb


Senin, 20 Februari 2017

KONDISI MASYARAKAT PESISIR DAN TANTANGAN BAGI PENYULUH PERIKANAN

KONDISI MASYARAKAT PESISIR DAN TANTANGAN BAGI PENYULUH PERIKANAN


KENDARI (7/2/2016) www,pusluh.kkp.go.id
Masalah kemiskinan merupakan persoalan yang dihadapi diseluruh daerah perkotaan di Indonesia yang hingga kini belum dapat ditanggulangi. Ketidakmampuan setiap pemerintah kota di Indonesia dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini, disebabkan karena strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan belum mampu menjawab atau menyentuh akar persoalan kemiskinan,  kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh. Untuk itu, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditenggarai oleh tidak terpenuhinya hak-hakmasyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur dan lain-lain.  Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
Melimpahnya potensi perikanan yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam garis kemiskinan.Hal  tersebut, sesuai dengan kondisidilapangan, dimana pada pagi hari dapat ditemui pada nelayan yang telah giat bekerja untuk turun ke laut guna menangkap ikan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang mengangkut hasil tangkapannya dengan memakai sepeda menuju tempat pelelangan ikan untuk memasarkan langsung hasil tangkapannya. Disamping itu, nelayan seringkali dijadikan objek eksploitasi oleh para pemilik modal. Misalnya ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka, dikendalikan oleh para pemilik modal atau para juragan atau ponggawa. Hal ini, tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan pendapatan yang rendah atau berada pada posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat meraup keuntungan yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian halnya dengan gejala modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat membantu, bahkan sebaliknya membuat nelayan utamanya nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan, seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Penggunaan kapal besar yang berteknologi modern oleh pemilik modal sudah barang tentu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.
Kemiskinan yang dialami oleh komunitas nelayan, sesungguhnya juga tak lepas dari pengaruh atau budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Terlepas dari sadar atau pun tidak sadar, budaya atau kebiasaan hidup seperti sikap malas dan pasrah terhadap nasib telah menjadi bagian dari kebiasaan mereka, sehingga secara psikologis, individu dari komunitas nelayan akhirnya merasa kurang bahkan tidak memiliki motivasi  kerja yang tinggi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Akibat dari sikap hidup di atas, pada akhirnya menyebabkan tingkat pendapatan dari seorang nelayan tidak menentu bahkan terkadang nihil, sehingga pada saat tingkat pendapatan dari nelayan rendah, maka tingkat pendidikan anak-anaknya pun rendah. Tidak sedikit anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Umumnya mereka disuruh bekerja untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni kebutuhan pangan untuk dapat bertahan hidup.
Demikian penjelasan di atas yang menunjukkan adanya benang merah bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti adanya distribusi pendapatan yang tidak merata, kebijakan dari pemerintah yang tidak adil dan cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu, juga dari sikap hidup mereka atau sekelompok masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya mereka seperti sikap malas, dan pasrah terhadap nasib.  Namun Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan program-program strategis yang berhubungan langsung dengan nelayan diantaranya Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN), sertifikat hak atas tanah nelayan (SEHAT), Minapolitan dan Industrialisasi Perikanan, program tersebut sangat membantu kehidupan nelayan dan keluarganya (Pelaku Utama Perikanan. Disisi lah peran penyuluh perikanan begitu penting dalam menanamkan semangat untuk berubah ke arah lebih baik
Kontributor:
Jon Dahlan, S.Pi

 Penyuluh Perikanan Prov. Sulawesi Tenggara

Rabu, 15 Februari 2017

PENDEKATAN KEAGAMAAN DALAM PENYULUHAN PERIKANAN

PENDEKATAN KEAGAMAAN DALAM PENYULUHAN PERIKANAN


LANGKAT (7/2/2016) www.pusluh.kkp.go.id
Sebelum kita membahas pendekatan keagamaan dan penyuluhan perikanan, penting kiranya terlebih dahulu kita memahami pebedaan antara metode dan pendekatan. Metode dalam penyuluhan perikanan adalah cara-cara yang digunakan oleh penyuluh perikanan kepada sasarannya dalam menyampaikan materi penyuluhan melalui sebuah media komunikasi agar proses komunikasi berjalan efektif, sedangkan pengertian pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam http://kbbi.web.id adalah proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya). Dengan kata lain pendekatan adalah proses, cara dan perbuatan yang sederhana namun berkesinambungan dalam mewadahi, menginsipirasi, menguatkan serta melatari metode penyuluhan dengan cakupan tertentu. Ada macam – macam pendekatan yang umum kita dengar seperti antara lain pendekatan individu, pendekatan kelompok sasaran/binaan, pendekatan induktif, pendekatan proses, pendekatan konsep dan pendekatan sains/teknologi. Pendekatan keagamaan dalam hal ini adalah proses, cara dan perbuatan yang sederhana namun berkesinambungan dalam mewadahi, menginsipirasi, menguatkan pelaku usaha dan pelaku utama perikanan yang mencakup kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Secara umum, agama selalu mengajak semua orang untuk berbuat baik sesuai  keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan dalam menginterpretasi serta memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan/diyakini. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran, eksistensi manusia, petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu, agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan serta pendorong/pengontrol tindakan-tindakan untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agama. Hal tersebutlah yang mendasari mengapa pendekatan keagamaan sangat penting dirangkaikan selain sains teknis perikanan dalam penyuluhan perikanan.
Kegiatan penyuluhan perikanan dengan berbagai metode dan teknik pengembangannya merupakan sarana dalam mengajak masyarakat agar dapat mengelola suberdaya perikanan dan lingkungannya sehingga memberikan hasil yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui pendekatan keagamaan, seorang penyuluh perikanan diharapakan dapat menjadikan kegiatan penyuluhan sebagai kegiatan integral dari kehidupannya secara utuh yang dapat menentukan arah kehidupan masa depan dan nasibnya dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai mahluk Tuhan di muka bumi. Oleh karena penyuluhan perikanan harus dapat menyampaikan aturan permainan yang harus dipatuhi seseorang sesuai dengan agama yang diyakininya misalnya tidak boleh merusak sumberdaya perikanan, tidak boleh menyesatkan, tidak boleh memutarbalikkan ke benaran dan juga tidak mengelabui masyarakat. Keterbukaan, kejujuran dan rasa tanggung jawab harus dimiliki oleh penyuluh perikanan yang senantiasa mendampingi masyarakat perikanan (pelaku utama/pelaku usaha) dalam menjalankan usahanya. Pendekatan keagamaan bisa dilakukan dengan mengutip/menyampaikan beberapa ayat pada Kitab Suci yang berisikan kebaikan, bagimana harusnya pelaku usaha/pelaku utama perikanan menjaga sumberdaya perikanan dan ekosistemnya supaya letari serta berkelanjutan (disesuaikan dengan kominitas masyarakat/agamanya dan penyuluh yang melakukan pendekatan keagamaan harus beragama yang sama dengan yang disuluh).
Penyuluh perikanan sebagai suatu profesi merupakan amanah yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Amanah tersebut tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan golongannya saja dan menelantarkan kepentingan umum, sehingga amanah harus terus mengarahkan penggunaan profesi. Profesi penyuluh perikanan mengandung pertanggungjawaban secara moril terhadap tugas-tugasnya atara lain peningkatan kemampuan pelaku usaha dan pelaku utama perikanan  dalam mengelola sumberdaya secara amanah. Kesadaran akan tanggung jawab sangat menentukan penyelenggaraan penyuluhan perikanan yang berkualitas tinggi. Dimana tanggung jawab tersebut bukan hanya terhadap insitusi atau kelembagaan yang bersangkutan tetapi juga di hadapan Tuhan. Kesadaran akan tanggung jawab yang kuat memiliki kendali diri yang juga kuat.
Kegiatan penyuluhan perikanan juga berprinsip persamaan diatara manusia yang melampaui batas-batas etnis, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Masalahnya setiap orang dari latar belakang manapun ia berasal jika dipukul pasti merasakan sakit, oleh karena itu penyuluhan perikanan harus menghindari gaya konfrontatif yang penuh dengan konflik, melainkan pengembangan saling pengertian dan membangun kerjasama keduaniaan seoptimal mungkin dalam menunaikan tugas-tugas penyuluhan sebagai manusia di muka bumi.
Catatan  :     
                 Pendekatan keagamaan dalam tulisan ini hendaknya disesuaikan dengan kominitas masyarakat (agamanya) serta penyuluh yang melakukan pendekatan keagamaan harus beragama yang sama dengan yang disuluh.

Kontributor :
Markus Sembiring,S.Pi.,M.I.L
Penyuluh Perikanan Muda

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat

Senin, 13 Februari 2017

Kisah Sukses Peternak Lele Dengan Keuntungan 10 juta / hari



Kisah Sukses Peternak Lele Dengan Keuntungan 10 juta / hari

Peluang pasar ikan lele di Indonesia masih tergolong besar, jika ditekuni, budidaya ikan lele akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar dan menggiurkan. Seperti dialami Kelompok Pembudi Daya Ikan Lele Kersa Mulia Bakti, yang menerima permintaan mencapai 6 ton setiap hari.

Seorang pembudidaya ikan lele warga Cirebon, Jawa Barat, Suganda mengaku dengan budidaya ikan lele Ia bisa menghasilkan keuntungan yang sangat lumayan besar, bisa menghasilkan ratusan juta pertahuan. “Karena dalam satu hari hasil panen bisa mencapai 4-5 ton perhari atau dengan keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta, bila harga satu kilogram lele sebesar Rp 12 ribu per kg,” katanya di tempat kolam budidaya Kelompok Kersa Mulia Bakti di Cirebon.
Atas keuntungan tersebut, ia bisa membayar premi asuransi sebesar Rp15 juta per bulan karena membudidayakan ikan lele. Menurut pria berusia 43 tahun ini, bisnis budi daya lele yang dijalaninya sejak 15 tahun lalu membuahkan hasil yang lebih dari lumayan sehingga mampu membayar premi sebesar itu.
Sebelum budidaya lele Suganda pernah membudidayakan ikan emas, namun gagal karena kesulitan mencari pakan dan banyak yang terkena wabah sehingga sering gagal panen. Setelah gagal barulah Ia pindah ke budidaya lele.
Pada awalnya Suganda hanya sendiri dalam membudidaya, tapi karena perkembanganya bagus shingga mendapatkan untung yang besar maka teman teman lainya ikut dalam kelompok Suganda.
Kesuksesan ini pun ia tularkan ke para pembudi daya yang tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Lele Kersa Mulia Bakti yang beralamatkan di Desa Kertasura Blok 3, Jalan Sunan Gunungjati, Kapetakan, Cirebon.
Saat ini jumlah anggota kelompok pembudidaya lele Kersa Mulia sebanyak 29 orang. Dari 29 anggota yang juga menuai sukses, 95% sudah mempunyai asuransi. Menurut Suganda itu wajar karena omzet harian kelompok bisa mencapai Rp39 juta. Satu peternak bisa memperoleh untung bersih Rp6 juta hingga Rp10 juta per hari.
“Dulu usaha budidaya lele belum ada yang berminat. Saya saja sendirian. Lalu lima tahun kemudian muncul yang ikut dan dari yang hanya puluhan kolam, sekarang sudah ada 400 kolam di lahan seluas 35 hektare,” ungkap Suganda.
Diceritakan, 400 kolam dalam sehari bisa panen sekitar 4-5 ton dan dibeli oleh pelanggan yang berasal dari Jakarta, Bandung, dan Tegal. Namun Suganda me¬ngatakan sering kali pihaknya justru tidak bisa memenuhi kebutuhan pelanggan. Permintaan rata-rata dalam satu hari sebenarnya bisa mencapai 6 ton.
“Untuk bisa tingkatkan produksi, tentu harus ada tambahan kolam. Nah, masalahnya adalah ketersediaan lahan. Warga sekitar biasanya hanya kalau butuh uang banyak saja baru mau jual tanah,” kata Suganda.
Sementara jika mencari lahan di luar Kabupaten Cirebon, Suganda mengatakan ia dan para rekannya harus memastikan kondisi lingkungan.
“Maksudnya kalau misalnya budidaya di Semarang, masyarakat di sana belum tentu cocok. Selain itu juga pertimbangannya soal keamanan,” tandasnya.
Dengan hasil budi daya Suganda bisa menyekolahkan anaknya ketingkat Sekolah Menengah Atas terfavorit di kota Cirebon. Selain menyekolahkan anak Suganda juga sudah mempunyai sebuah mobil dan beberapa kendaraan roda dua yang telah ia beli.
(Sumber : InfoPublik)