Senin, 26 September 2016

Skala Ekonomi Usaha Pengolahan Patin Nir Limbah




Usaha pengolahan patin akan lebih  menguntungkan jika dilakukan dengan menerapkan zero waste concept.  Dengan konsep ini, usaha pengolahan patin diarahkan dengan memproduksi  fillet patin sebagai produk utama. Sisanya yang berupa kepala, tulang,  dan kulit yang jumlahnya mencapai 60% dari berat patin dapat diolah  menjadi produk olahan seperti tepung ikan, kerupuk dan krispi yang  masing-masing dapat diusahakan dalam usaha terpisah yang menguntungkan.  Jika usaha pengolahan fillet patin ini dilakukan secara terintegrasi  dengan memanfaatkan hasil samping tersebut akan lebih menguntungkan.  Pemanfaatan semua bagian tubuh patin yang nir limbah ini dapat  memberikan keuntungan tambahan yang sekaligus mengimplementasikan zero  waste concept yang merupakan salah satu prinsip utama dalam blue economy  sehingga usaha ini dapat dikatagorikan sebagai usaha yang sangat ramah  lingkungan.     
LATAR BELAKANG  
Patin merupakan salah satu komoditas  unggulan ikan budidaya yang dikembangkan di Indonesia (di sungai, danau,  waduk, maupun kolam) karena memiliki pangsa pasar sangat besar baik di  dalam maupun di luar negeri, budidayanya mudah, pertumbuhannya cepat,  dan mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan. Produksi patin  Indonesia (Anon, 2012a) meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007  produksi patin nasional mencapai 47.594 ton meningkat 5 kali lipat lebih  menjadi 243.419 ton pada tahun 2011 (Gambar 1). Ditargetkan pada tahun  2014 nanti produksi menjadi 1,8 juta ton (Anon., 2013a). Peningkatan  produksi yang luar biasa ini menuntut tindakan yang tepat, tertutama  untuk memanfaatkan nilai tambah semaksimal mungkin di dalam negeri  sekaligus memenuhi permintaan dalam negeri yang tinggi. Di sisi lain,  permintaan ekspor akan ikan ini pun terus meningkat, terutama dari pasar  Eropa dan Amerika Serikat. Namun demikian, di pasar ekspor harga ikan  patin Indonesia belum dapat bersaing dengan patin Vietnam yang saat ini  menguasai 80% pasar dunia.   Peluang ekspor patin bagi Indonesia  semakin terbuka lebar setelah Amerika Serikat mulai menutup impor patin  dari Vietnam karena disinyalir mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan  manusia. Amerika Serikat mengimpor patin hingga 1,1 juta ton per tahun,  terutama dalam bentuk fillet, yang didominasi oleh patin Vietnam. Pasar  potensial lainnya adalah pasar Eropa (terutama pasar Uni Eropa) yang  diperkirakan kebutuhan pasarnya jauh di atas kebutuhan patin di pasar  Amerika Serikat (Anon., 2013b). Saat ini 25% pangsa pasar patin di pasar  Eropa dikuasai patin Vietnam. Potensi ekspor patin ke pasar Eropa ini  makin meningkat dengan dikeluarkannya kebijakan untuk membatasi  perburuan ikan cod. Sebagai gantinya, masyarakat Eropa mulai beralih ke  patin yang daging dan teksturnya mirip dengan ikan cod. Pasar potensial  lainnya adalah Timur Tengah khususnya Dubai (Uni Emirat Arab) yang  menginginkan patin ukuran 2 ekor/kg (Anon., 2013b).   Dengan mempertimbangkan potensi serta  keunggulan yang dimiliki dalam mengembangkan produksi patin nasional  maka bukanlah hal yang mustahil jika Indonesia mampu menjadi salah satu  eksportir patin terbesar dunia. Program industrialisasi menjadi salah  satu usaha nyata dalam rangka mewujudkan harapan tersebut. Ditambah lagi  dengan peluang pemasaran patin baik untuk konsumsi dalam negeri maupun  untuk memenuhi permintaan impor dari beberapa negara di dunia. ?  
Masalah yang dihadapi untuk  mengembangkan potensi patin Indonesia adalah harga jual yang masih  tinggi dan bagaimana meningkatkan nilai tambah patin itu sendiri di  dalam negeri agar patin Indonesia mampu bersaing di tingkat  internasional. Usaha pengolahan fillet patin untuk memenuhi pasar dalam  maupun luar negeri merupakan usaha yang menguntungkan. Usaha ini akan  makin menguntungkan jika diikuti dengan pemanfaatan hasil samping  seperti kepala, tulang, sisa daging dan kulit sehingga tidak terdapat  bagian tubuh patin yang terbuang (nir limbah). Upaya ini merupakan  implementasi dari zero waste concept yang merupakan salah satu jiwa dari  prinsip blue economy.   Secara parsial, usaha pengolahan hasil  samping menjadi produk olahan merupakan usaha yang menguntungkan untuk  dikerjakan dalam skala besar maupun UKM, bahkan hingga skala mikro.  Usaha tersebut akan makin menguntungkan jika dilakukan secara  terintergrasi dengan memproduksi fillet sebagai produk utama dan hasil  samping sebagai produk tambahan untuk usaha skala besar hingga UKM.  Produk-produk olahan hasil samping dari pengolahan fillet patin telah  dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan  Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, seperti kerupuk tulang  patin, krispi kulit patin dan tepung ikan dari hasil samping lainnya  (Suryaningrum et al., 2012).   Usaha pengolahan lain yang biasa dan  telah lama dilakukan di Indonesia namun tidak menghasilkan hasil samping  adalah salai patin (patin asap) yang secara finansial menguntungkan.  Salai patin ini lebih ditekankan untuk memenuhi permintaan dalam negeri  yang tinggi, namun demikian, dengan perbaikan cara pengolahan dan  peningkatan mutu, tidak tertutup kemungkinan produk ini untuk diekspor  terutama ke pasar Asia dan Afrika yang memiliki selera serupa dengan  Indonesia.             
      
PENGEMBANGAN USAHA PATIN TERINTEGRASI NIR LIMBAH  
Diversifikasi pengolahan patin menjadi  beberapa produk siap olah dan siap saji akan meningkatkan nilai tambah  produk patin itu sendiri. Produk diversifikasi ini dapat memberikan  pilihan yang lebih luas bagi konsumen untuk memenuhi minat akan produk  yang praktis dan menarik. Disamping itu, produk tersebut memiliki pangsa  pasar yang sangat terbuka baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan  domestik maupun kebutuhan ekspor ke beberapa negara di dunia.  Pengembangan usaha pengolahan patin dengan zero waste concept ini sangat  mungkin untuk diterapkan mengingat patin dapat dimanfaatkan secara  menyeluruh mulai dari daging, kepala, tulang, kulit, sirip dan isi  perut. Penerapan zero waste concept dalam usaha pengolahan patin yang  terintegrasi dapat meningkatkan margin usaha jika dibandingkan usaha  masing-masing secara parsial.   Salai patin merupakan salah satu bentuk  olahan patin tradisional yang telah dilakukan di beberapa daerah  (terutama di Kampar, Sumatera) dalam bentuk utuh tanpa menyisakan bagian  tubuh yang lain kecuali isi perut. Usaha pengolahan salai patin ini  umumnya dilakukan di pedesaan yang hasil produksinya dikumpulkan oleh  pedagang pengumpul dan selanjutnya didistribusikan ke daerah pemasaran.  Namun demikian, mekanisme pemasaran untuk ekspor belum berfungsi,  sedangkan masalah sanitasi dan higiene belum diterapkan dengan ketat.  Hal ini menjadi kendala utama untuk pemasaran salai patin ke luar  negeri. Teknologi pengolahan salai patin cukup sederhana sehingga  potensial sebagai alternatif pengembangan pengolahan di sentra produksi  patin di Indonesia. Pasar domestik yang sangat besar dapat menjadi  alasan penting untuk terus mengembangkan salai patin. Pasar domestik  salai patin antara lain Jakarta, Medan, Pekanbaru, Aceh, Padang, dan  Batam. Sedangkan pasar ekspor salai patin adalah negara tetangga seperti  Malaysia dan Singapura, atau bahkan Afrika yang memiliki selera yang  serupa terhadap produk ini. Sejak tahun 2010 hingga 2012 diperkirakan  ekspor salai patin ke kedua negara Asia tersebut mencapai tiga ton  (Anon., 2013b). Pengolahan salai patin ini dapat diusahakan secara  komersial dengan skala produksi 22 ton per tahun dengan investasi Rp.  87.000.000,- yang dapat kembali investasi (ROI) dalam 1,25 tahun  (keuntungan bersih Rp. 71.000.000,-/tahun). Rincian analisis finansial  seperti pada Tabel 1.   Daging patin dapat dimanfaatkan menjadi  berbagai produk olahan seperti fillet, surimi, kerupuk maupun abon  patin. Pengembangan pengolahan fillet patin (40% dari berat patin) dapat  dijalankan secara terpisah maupun terintegrasi dengan pengolahan  lainnya (60%) seperti kerupuk, krispi dan tepung ikan dengan fillet  sebagai produk utama. Jumlah UPI fillet patin yang ada di Indonesia pada  tahun 2012 berjumlah 8 (delapan) unit yang ada di Jakarta, Surabaya dan  Banjarmasin. Pada tahun 2013, Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP)  telah membangun 6 UPI fillet patin serta pabrik dan pengolahan tepung  ikan yang tersebar di Kab. Muaro Jambi, Kab. Kampar, Kab. Tulung Agung,  Kab. Banjar, Kab. Karawang dan Kab. Purwakarta (Anon., 2013c). Dengan  mempertimbangkan jumlah produksi patin nasional, usaha pengolahan fillet  patin masih terbuka. Pengolahan fillet ini dapat diusahakan dengan  investasi Rp. 1.000.000.000,- (skala produksi 480 ton/tahun) dengan  kemampuan balik investasi (ROI) 1,9 tahun (Tabel 1).                   
Tabel 1. Analisis keuntungan finansial usaha pengolahan patin          
Usaha pengolahan tepung ikan merupakan  usaha sampingan yang memanfaatkan sebagian besar (93%) hasil samping  usaha pengolahan fillet. Nilai produksi tepung ikan berbahan baku patin  mengalami peningkatan dimana pada tahun 2012 dihasilkan 164 ton tepung  ikan sedangkan di tahun 2013 menjadi 3.305 ton, pada tahun 2014 produksi  tepung ikan berbahan baku patin diharapkan mencapai 7.070 ton (diolah  dari Anon., 2012b). Pengolahan tepung ikan berbahan patin membutuhkan  investasi Rp. 800.000.000,- dengan skala produksi 133 ton per tahun dan  kemampuan balik investasi (ROI) dalam 1,5 tahun (Tabel 1).                                                  
      
Produksi krispi kulit dan kerupuk tulang  patin dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi UMKM. Kerupuk tulang  patin maupun krispi kulit patin merupakan produk yang mempunyai umur  simpan yang cukup lama karena produk ini dapat disimpan dalam bentuk  kering. Meskipun pemasarannya hampir kebanyakan untuk pasar domestik,  namun tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan produk ekspor ke Asia,  Timur Tengah dan bahkan Amerika Serikat maupun Eropa dengan syarat  diproduksi dengan mengikuti kaidah GMP yang ketat dan mutu yang tinggi.  Pengolahan krispi kulit patin secara komersial membutuhkan investasi Rp.  260.000.000,- untuk skala produksi 49 ton per tahun dan kemampuan balik  investasi (ROI) dalam 1,9 tahun dengan laba bersih Rp.  141.000.000,-/tahun (Tabel 1). Untuk usaha pengolahan krupuk tulang  patin dapat dilakukan dengan skala produksi 28 ton/tahun yang memerlukan  investasi Rp. 238.000.000,-. Usaha ini mampu menghasilkan laba Rp.  232.000.000,-/tahun dan jangka waktu pengembalian investasi (ROI) 1,1  tahun (Tabel 1).                   
Disamping produk diatas,  bentuk olahan lainnya yang dapat dihasilkan dengan menggunakan daging  patin adalah produk surimi dan produk berbasis surimi. Surimi merupakan  produk setengah jadi, berupa daging lumat yang dibersihkan dan mengalami  pencucian berulang-ulang sehingga sebagian besar bau, darah, lemak dan  pigmen telah hilang. Dari surimi dapat dibuat berbagai macam produk  berbasis surimi seperti nugget, bakso, sosis, fish cake maupun kamaboko  yang dapat meningkatkan nilai tambah dari patin. Pemasaran produk-produk  tersebut dalam bentuk beku yang tersebar di berbagai supermarket yang  ada di Indonesia. Teknologi pengolahan produk produk tersebut telah  dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan  Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (Suryaningrum et al.,  2012).       
REKOMENDASI   Perlu adanya pengembangan usaha pengolahan patin yang terintegrasi  untuk skala UKM yang lebih menguntungkan sekaligus untuk  mengimplementasikan zero waste concept. Perlu dibangun usaha pengolahan patin terintegrasi di sentra  produksi patin sebagai model usaha skala UKM yang menerapkan prinsip GMP  (terutama aspek sanitasi dan higiene) sehingga peluang ekspor produk  yang dihasilkan makin terbuka luas. Perlu dilakukan upaya yang lebih tepat mulai dari budidaya hingga  pemasaran untuk mengambil peluang ekspor patin baik dalam bentuk segar  maupun bentuk olahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari  patin. Mekanisme pemasaran ekspor perlu difungsikan dengan baik sehingga  hasil produksi olahan ikan patin dapat terserap seluruhnya oleh pasar.      IMPLIKASI KEBIJAKAN   Nilai tambah patin akan dapat dinikmati lebih besar di dalam negeri,  terutama oleh usaha skala UKM. Disisi lain, diperlukan langkah-langkah  tegas untuk meningkatkan efisiensi budidaya patin untuk menjamin  ketersediaan bahan baku yang kontinyu dengan harga terjangkau. Potensi kerugian yang mungkin timbul dari usaha pengolahan patin  yang parsial dapat ditekan dengan penerapan pengolahan terintegrasi. Potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat berkembangnya  usaha pengolahan patin (fillet) dapat dikurangi atau bahkan dihindari. Peluang ekspor produk olahan patin dan hasil sampingnya dapat dimanfaatkan. Diperlukan penguatan SDM pengolahan dan alih teknologi pengolahan  produk ikan patin dalam menerapkan prinsip GMP secara konsisten. Penguatan kelembagaan dalam pemasaran sangat diperlukan untuk mendukung kesempatan dalam meraih pasar ekspor.      
DAFTAR PUSTAKA  
Anon. 2012a. Statistik Perikanan KKP. Kementerian Kelautan dan Perikanan.  
Anon. 2012b. Bahan diskusi sinkronisasi dengan Litbang Pengolahan  Produk dan Bioteknologi. Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran  Hasil Perikanan.  
Anon. 2013a. Budidaya Patin Butuh 1,3 Juta Ton Pakan Ikan. . Diakses 15 Januari 2014  
Anon. 2013b. Pengembangan Usaha Ikan patin. Warta Ekspor. Ditjen  PEN/MJL/004/10/2013 Oktober. Kementerian Perdagangan RI. Hal. 3 – 11.  Diakses 15 Januari 2014  
Anon. 2013c. Produksi Ikan Patin Ditergetkan 1,1 juta ton. Antara News. . Diakses 15 Januari 2014.  
Suryaningrum, TD., Suryanti, dan Muljanah, I. 2012. Membuat filet ikan patin. Penebar Swadaya.
http://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/skala-ekonomi-usaha-pengolahan-patin-nir-limbah

Sumber: http://www.balitbangkp.kkp.go.id/dev3/skala-ekonomi-usaha-pengolahan-patin-nir-limbah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar