Minggu, 24 Januari 2016

Geliat Lele MUTIARA di Tanah Air

Geliat Lele MUTIARA di Tanah Air

Ikan lele merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya air tawar yang diprioritaskan pengembangan produksinya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka mendukung pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya. Budidaya ikan lele telah lama berkembang di Indonesia, diawali dengan menggunakan spesies ikan lele lokal. Indonesia memiliki cukup banyak spesies ikan lele. Hingga saat ini terdapat 17 spesies ikan lele lokal Indonesia yang telah diidentifikasiIkan. Diantara spesies-spesies ikan lele lokal Indonesia tersebut, Clarias batrachus merupakan spesies yang telah lama berhasil dibudidayakan, mulai teknologi pembenihan hingga pembesarannya diikuti oleh Clarias meladerma. Namun demikian, secara umum spesies-spesies ikan lele lokal tersebut memiliki laju pertumbuhan yang rendah dan tidak toleran terhadap patogen, sehingga budidayanya tidak berkembang.

Sejarah Introduksi Lele di Indonesia

Selain spesies-spesies ikan lele lokal tersebut, introduksi spesies ikan lele dari luar negeri ke Indonesia juga telah dilakukan. Introduksi tersebut diawali dengan introduksi spesies ikan lele Afrika, yakni Clarias gariepinus Burchell pada tahun 1985 dari Belanda ke Universitas Brawijaya, Malang. Pada tahun 1985 juga telah terjadi introduksi ikan lele Afrika melalui Taiwan yang dilakukan oleh PT Cipta Mina Sentosa di Jakarta, yang selanjutnya populer sebagai ikan lele Dumbo. Selanjutnya, introduksi spesies ikan lele Afrika Clarias gariepinus tersebut banyak dilakukan, baik secara langsung maupun melalui negara-negara lain. Introduksi spesies ikan lele yang lain adalah spesies ikan lele Indochina (Asia), yakni Clarias macrocephalus Gunther pada tahun 2010 dari Thailand yang dilakukan oleh PT Matahari Sakti di Mojokerto, Jawa Timur. Spesies ikan lele Clarias macrocephalus tersebut masih dalam tahap domestikasi dan riset di hatchery ikan lele PT. Matahari Sakti. Spesies ikan lele Afrika Clarias gariepinus merupakan spesies ikan lele yang sangat potensial sebagai komoditas perikanan budidaya. Hal ini dikarenakan spesies ikan lele Afrika tersebut memiliki banyak keunggulan, antara lain:

Daya adaptasinya tinggi sehingga bersifat kosmopolitan, yakni dapat hidup di daerah tropis hingga subtropis, dapat hidup di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, di perairan tawar hingga sedikit payau,
Dapat hidup dalam air yang kualitas dan kuantitasnya terbatas,
Dapat hidup dalam perairan yang beroksigen rendah dan memanfaatkan gas oksigen langsung dari udara,
Pemakan segala (omnivora) yang oportunis, memiliki jenis makanan yang berspektrum luas, termasuk limbah pertanian, rumah tangga dan industri makanan,
Efisiensi pemanfaatan pakannya tinggi, sehingga laju pertumbuhannya tinggi, jauh melebihi pertumbuhan spesies-spesies ikan lele lokal Asia,
Relatif tahan terhadap patogenitas,
Tahan terhadap padat penebaran yang tinggi maupun terhadap stress,
Berfekunditas tinggi sehingga mendukung dalam produksi massalnya,
Mudah memijah secara alami dan buatan,
Dapat dipijahkan sepanjang tahun,
Harganya relatif tinggi, dapat dijual dalam kondisi hidup,
Rasa dagingnya enak dan dapat diterima serta diminati oleh konsumen.
Introduksi spesies ikan lele Afrika Clarias gariepinus ke Indonesia telah banyak dilakukan. Namun sayangnya, introduksi-introduksi tersebut hampir tidak pernah tercatat dalam dokumentasi ataupun laporan-laporan ilmiah, sehingga ketidakjelasan riwayat, silsilah dan status strain-strain tersebut seringkali membuat kebingungan diantara para pelaku budidaya di lapangan. Strain-strain spesies ikan lele Afrika hasil introduksi di Indonesia tersebut selanjutnya populer dan dikenal dengan nama-nama tertentu, yakni:

Lele DUMBO: diintroduksi oleh PT Cipta Mina Sentosa di Jakarta pada tahun 1985 melalui Taiwan. Budidayanya dengan cepat segera berkembang luas, tetapi dikarenakan kurangtepatnya manajemen induk, maka mutu genetisnya telah mengalami penurunan, ditandai dengan penurunan laju pertumbuhannya serta ketidakberaturan morfologisnya (cacat). Karena mutu genetisnya telah menurun serta tidak jelasnya silsilah dan status ikan lele dumbo yang saat ini berada di masyarakat, maka budidaya strain ikan lele tersebut mulai kurang diminati.
Lele PAITON: diintroduksi melalui Thailand pada tahun 1998 oleh Charoen Pokphand Group dan ditempatkan di hatchery PT. Surya Windu Pertiwi di daerah Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Perkembangan budidayanya cukup pesat di daerah Jawa Timur. Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Model Pembenihan Ikan Lele (MPIL) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur di Mojokerto.
Lele CP atau Lele SUPER ’99: sama dengan ikan lele paiton, diintroduksi melalui Thailand pada tahun 1998 oleh Charoen Pokphand Group dan ditempatkan di hatchery PT. Central Pangan Pertiwi di daerah Pabuaran, Subang, Jawa Barat. Pengembangan budidayanya dikerjasamakan dengan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (BALITKANWAR) Sukamandi. Strain ikan lele ini pernah populer di kalangan pembudidaya ikan lele di Jawa Barat. Diproduksi hingga sekitar tahun 2005, kemudian terhenti. Stok induk yang tersisa berada di salah satu pembudidaya ikan lele di daerah Karawang, Jawa Barat. Saat ini mulai digunakan untuk kegiatan produksi kembali di Pabuaran oleh PT. Central Pangan Bahari.
Lele MASAMO: diintroduksi melalui Thailand pada tahun 2010 oleh PT. Matahari Sakti ke Mojokerto, Jawa Timur. Masamo merupakan singkatan dari “Matahari Sakti Mojokerto”. Budidaya strain ikan lele ini berkembang pesat di daerah Jawa Timur serta mulai berkembang ke daerah-daerah lain, seperti Tabanan (Bali), Jawa Tengah, Yogyakarta dan daerah-daerah yang lain. Pesatnya perkembangan tersebut dikarenakan para pembudidaya mengakui keunggulan tingginya laju pertumbuhannya. Saat ini strain ikan lele MASAMO telah mencapai generasi kedua (F2).
Lele MESIR: diintroduksi dari Mesir pada tahun 2007 oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Tetapi, upaya pengembangan strain ikan lele ini masih kurang dan stok calon-calon induk yang ada kurang mendapat perhatian, sehingga selanjutnya upaya penelitian dan pengembangannya (domestikasi) dilakukan oleh Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi dan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Saat ini ikan lele tersebut telah mencapai generasi kedua (F2).
Lele KENYA: diintroduksi dari Kenya pada tahun 2011 oleh BBPBAT Sukabumi melalui program pertukaran dengan ikan lele sangkuriang. Hingga saat ini strain ikan lele ini masih dalam upaya domestikasi dan upaya ke arah pemuliaan.
Lele BELANDA: diintroduksi dari Belanda pada tahun 1985 ke Malang, Jawa Timur melalui kerjasama antara Agricultural University of Wageningen dengan Universitas Brawijaya. Tetapi, setelah berakhirnya kerjasama tersebut kurang mendapat perhatian. Saat ini stok induk yang tersisa berada di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen, Malang, Jawa Timur yang merupakan UPT Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, sebagian kecil juga ada di pembudidaya ikan lele di daerah Kediri, Jawa Timur serta di daerah Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Namun demikian, terdapat kemungkinan stok-stok tersebut telah tercampur dengan strain-strain ikan lele Afrika yang lain, terutama dengan ikan lele dumbo dan paiton. Selain itu, strain ikan lele Belanda juga pernah diintroduksi dari hatchery perusahaan milik Belanda di Kenya oleh BBPBAT Sukabumi pada tahun 2011. Saat ini strain ikan lele tersebut masih dalam tahap domestikasi dan upaya ke arah pemuliaan.
Lele SANGKURIANG: merupakan hasil persilangan balik (backcrossbred) antara jantan ikan lele dumbo generasi keenam (F6) dengan betina generasi kedua (F2) yang selanjutnya jantan hasil silang balik tersebut kembali disilangbalikkan dengan betina F2 sehingga dihasilkan strain ikan lele sangkuriang yang dirilis oleh BBPBAT Sukabumi pada tahun 2004 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.26/MEN/2004. Secara umum, ikan lele sangkuriang lebih unggul daripada stok-stok ikan lele dumbo yang ada di masyarakat pembudidaya. Saat ini ikan lele sangkuriang yang disebarkan merupakan generasi keempat (F4).
Lele PHYTON: merupakan hasil persilangan (crossbred) antara betina ikan lele CPdengan jantan ikan lele dumbo yang dilakukan oleh kelompok pembudidaya ikan lele di Pandeglang, Banten di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang.
Lele SANGKURIANG 2: merupakan benih sebar hasil persilangan antara betina ikan lele sangkuriang dengan jantan ikan lele CP yang dihasilkan oleh BBPBAT Sukabumi, telah dirilis berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/KEPMEN-KP/2013.
Lele MANDALIKA: merupakan benih sebar hasil persilangan antara betina ikan lele SANGKURIANG dengan jantan ikan lele masamo yang dihasilkan oleh Balai Benih Ikan (BBI) Batu Kumbung, Nusa Tenggara Barat, telah dirilis berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/KEPMEN-KP/2014.
Lele SUKHOI: serupa dengan ikan lele mandalika, merupakan hasil persilangan antara betina ikan lele sangkuriang dengan jantan ikan lele masamo yang dihasilkan oleh Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang.
Lele MASAMO Generasi Kedua dan Lele BURMA: merupakan hasil pemuliaan strain ikan lele masamo hasil introduksi dari Thailand (generasi pertama) melalui persilangan dengan strain-strain ikan lele yang lain.
Meskipun terdapat banyak strain ikan lele Afrika di Indonesia, para pembudidaya masih mengeluhkan bahwa strain-strain tersebut belum memenuhi harapan, karena belum ada strain yang benar-benar memiliki keunggulan performa budidaya secara menyeluruh (lengkap). Beberapa strain memiliki keunggulan performa pertumbuhan yang cepat, tetapi variasi ukurannya masih tinggi. Beberapa strain yang lain memiliki variasi ukuran yang relatif rendah, tetapi pertumbuhannya lambat dan efisiensi pakannya rendah. Belum lagi permasalahan ketahanan terhadap penyakit yang masih rendah. Oleh karena itulah, upaya pemuliaan untuk menghasilkan strain baru ikan lele Afrika yang memiliki keunggulan performa budidaya secara lengkap masih perlu dilakukan.

Kehadiran Lele MUTIARA

Untuk memperkaya jenis dan varietas Ikan Lele yang beredar di masyarakat, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menghasilkan Ikan Lele Mutiara sebagai jenis ikan baru yang merupakan hasil kegiatan pemuliaan Ikan Lele melalui hasil kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi. Diharapkan lele mutiara akan menjadi komoditas unggul baru dalam perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya serta peningkatan produksi Ikan Lele nasional, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan. Oleh karena itu sejak tahun 2010 melalui Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi sebagai unit pelaksana teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, melakukan penelitian pemuliaan ikan lele Afrika. Upaya pemuliaan ikan lele Afrika tersebut dilakukan melalui program seleksi individu dengan target karakter utama berupa peningkatan laju pertumbuhan bobot. Upaya pemuliaan tersebut diawali pada tahun 2010 melalui koleksi, karakterisasi dan evaluasi populasi-populasi induk pembentuk, dilanjutkan dengan pembentukan populasi dasar sintetis pada tahun 2011, pembentukan populasi generasi pertama pada tahun 2012, pembentukan populasi generasi kedua pada tahun 2013 dan pembentukan populasi generasi ketiga pada tahun 2014.

Rangkaian kegiatan penelitian seleksi individu tersebut telah menghasilkan peningkatan pertumbuhan dari generasi ke generasi. Populasi generasi ketiga telah mengalami peningkatan pertumbuhan bobot secara kumulatif sebesar 50,64% dibandingkan populasi dasarnya, sehingga dinilai layak untuk dirilis (dilepas) sebagai strain baru ikan lele unggul. Populasi generasi ketiga ikan lele hasil pemuliaan BPPI Sukamandi tersebut telah dinyatakan lulus pada Penilaian Pelepasan Jenis/ Varietas tanggal 27 Oktober 2014, dengan nama ikan lele MUTIARA (“Mutu Tinggi Tiada Tara”). Hasil karakterisasi dan evaluasi performa menunjukkan bahwa ikan lele mutiara memiliki keunggulan performa budidaya yang lengkap sesuai dengan harapan para pembudidaya, antara lain:

Laju pertumbuhan tinggi: 20-70% lebih tinggi daripada benih-benih lain.
Lama pemeliharaan singkat: lama pembesaran 45-50 hari pada kolam tanah dari benih tebar berukuran 5-7 cm atau 7-9 cm.
Keseragaman ukuran relatif tinggi: tahap produksi benih diperoleh 80-90% benih siap jual dan pemanenan pertama pada tahap pembesaran tanpa sortir diperoleh ikan lele ukuran konsumsi sebanyak 70-80%.
Rasio konversi pakan (FCR = Feed Conversion Ratio) relatif rendah: 0,5-0,8 pada pendederan dan 0,6-1,0 pada pembesaran.
Daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi: sintasan (SR = Survival Rate) 60-70% pada infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (tanpa antibiotik).
Toleransi lingkungan relatif tinggi: suhu 15-35oC, pH 5-10, amoniak < 3 mg/l, nitrit < 0,3 mg/l, salinitas 0-10 ‰.
Toleransi terhadap stres relatif tinggi.
Produktivitas relatif tinggi: produktivitas pada tahap pembesaran 15-70% lebih tinggi daripada benih-benih strain lain.
Proporsi daging relatif tinggi.
Porsi keuntungan usaha pada tahap pembesaran 200-900% lebih tinggi daripada benih-benih strain lain.
Adapun deskripsi ikan lele mutiara dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Variabel                                 Parameter                                          Keterangan/ Nilai
Morfometrik                           Panjang kepala                                24,33-30,59 %
Lebar kepala                                      14,87-20,06 %
Jarak antarmata                                 39,03-46,33 %
Diameter mata                                   5,01-6,55 %
Panjang predorsal                             28,31-35,93 %
Panjang sirip punggung                    63,58-73,79 %
Panjang prepektoral                          5,67-21,93 %
Panjang prepelvis                             39,55-55,76 %
Panjang preanal                               48,36-58,18 %
Panjang sirip anus                           33,11-48,33 %
Tinggi badan maksimum                 11,63-17,43 %
Tinggi batang ekor                           6,19-8,70 %
Meristik                                  Jumlah jari-jari sirip punggung      59-79
Jumlah jari-jari sirip anus                 47-59
Jumlah jari-jari sirip dada                 9-11
Jumlah jari-jari sirip perut                 5-6
Jumlah jari-jari sirip ekor                  19-22
Pemeliharaan larva                          20 hari menghasilkan
                                                         benih dominan berukuran
                                                         2-3 cm dan 3-4 cm
Pendederan                                     1 bulan menghasilkan
                                                         benih dominan berukuran
                                                         5-7 cm dan 7-9 cm
   sebanyak 80-90%
Pertumbuhan                       Pembesaran                                   1,5-2 bulan tanpa sortir
   menghasilkan ikan lele
   ukuran konsumsi sekitar
   70-80%
Toleransi Lingkungan        DO                                                     > 0 mg/l
Suhu                                                 15-350C
pH                                                      5-10
Amoniak                                            < 3 mg/l
Nitrit                                                   < 0,3 mg/l
Salinitas                                            0-10‰
Kualitas Daging                   Porsi termakan (edible portion)       61,11±8,40%
Kadar protein                                    18,36%
Kadar lemak                                      1,73%
Reproduksi                           Umur awal matang gonad               5 bulan
Warna oosit intraovarian                   hijau-kekuningan (91,11%)
    dan kuningkecokelatan
   (8,89%)
Diameter Oosit intraovarian             1,31±0,08 mm
Indeks gonadosomatik jantan          0,74±0,25%
Indeks ovisomatik betina                 13,21±2,42%
Fekunditas relatif                             104.550±24 butir/kg
   bobot induk
Derajat fertilisasi                              91,89±5,89%
Derajat penetasan                           86,49±7,81%
Waktu rematurasi                             induk betina 1,5 bulan,
   jantan 3 minggu
Ketahanan Aeromonas      LD50                                                 3,89×108 CFU/mL
Hydrophila                            Mortalitas uji tantang 24 jam          13%, 60 jam: 30%
Sintasan pendederan benih             60-70%
tanpa antibiotik        
Peningkatan Genetis          Respon seleksi pertumbuhan          52,64%
(bobot) kumulatif     
Keragaman Genetis           Heterozigositas teramati                   0,50
Indeks fiksasi                                    0,42
Warna                                Normal (Abu-abu gelap)                    99,63%

Teknologi budidaya ikan lele mutiara di BPPI Sukamandi secara garis besar terdiri dari teknologi pemeliharaan induk, pemijahan (alami dan buatan), pemeliharaan larva, pendederan dan pembesaran. Teknologi pemeliharaan induk merupakan teknik penanganan induk-induk yang akan digunakan dalam proses pemijahan dan terutama berkaitan dengan proses pematangan gonad induk. Teknologi pemijahan merupakan teknik untuk memilih dan memijahkan induk-induk hingga menghasilkan larva, baik melalui proses pemijahan alami maupun buatan. Teknologi pemeliharaan larva dilakukan hingga benih berumur sekitar 16-20 hari, berukuran 1-2 cm, 2-3 cm dan 3-4 cm. Tahap pembenihan pada ikan lele Afrika disebut juga sebagai tahap pendederan pertama. Teknologi pendederan dilakukan selama 4 minggu atau 1 bulan, hingga dominan menjadi benih berukuran 5-7 cm dan 7-9 cm. Tahap pendederan pada ikan lele Afrika kadang juga disebut sebagai tahap pendederan kedua. Teknologi pembesaran merupakan teknik pemeliharaan benih hasil pendederan hingga mencapai ukuran konsumsi hingga mencapai ukuran 100-150 gram atau hingga menjadi calon induk.

Sebagai strain baru ikan lele Afrika unggul, rilis dan diseminasi ikan lele mutiara ke para pelaku usaha budidaya ikan lele di Indonesia perlu didampingi penyuluh perikanan dengan petunjuk teknis cara budidayanya. Namun demikian, teknis budidaya ikan lele mutiara secara garis besar tidak berbeda dari teknis budidaya strain-strain ikan lele Afrika yang lain. Artinya, budidaya ikan lele mutiara tidak memerlukan teknologi maupun persyaratan budidaya yang baru dan bersifat khusus (spesifik), sehingga dapat dengan mudah dilakukan menggunakan teknologi budidaya yang telah ada dan berkembang di masyarakat pembudidaya ikan lele Afrika. Oleh karena itu, petunjuk teknis budidaya ikan lele mutiara pada dasarnya hanya merupakan panduan dasar yang berisi prinsip-prinsip dasar (pokok) budidaya ikan lele mutiara hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh BPPI Sukamandi. Oleh karena merupakan teknologi yang standar (dasar), maka sifatnya sederhana dan dapat diterapkan dengan mudah di masyarakat (aplikatif). Dalam penerapannya di masyarakat masih dapat dikembangkan lagi atau dimodifikasi sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih baik lagi. (NDK107).


 Dirangkum dari berbagai sumber:

Prosedur Operasional Standar Budidaya Ikan Lele. 2014. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT). Sukamandi.

Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Lele Mutiara Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi. 2014.


Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 77/Kepmen-KP/2015 tentang Pelepasan Ikan Lele Mutiara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar